SIAPA MENARI DI TALANGSARI ?
CELOTEH REDAKSI
Publik Jember tiba-tiba dikejutkan dengam beredarnya surat Bupati Jember yang tertuju kepada DPRD tentang Permohonan Persetujuan Hibah Tanah dan Bangunan Pagar untuk Kantor Pertanahan Kabupaten Jember.
Sekilas surat tersebut seperti surat biasa dengan isi yang biasa saja dalam peristiwa penyelenggaraan pemerintahan. Dan seandainya dokumen-dokemen itu tidak beredar diruang public, maka semuanya hanya akan menjadi peristiwa biasa. Namun, karena objek dalam surat itu menyebutkan Lapangan Talangsari, maka surat tersebut tak lagi bisa disebut biasa. Berbagai pihakpun kontan mereaksi keberadaan surat permohonan hibah sebuah lokasi yang sudah dikenal publik Jember sebagai saksi bisu sejarah Kabupaten Jember.
Upaya mengalihfungsikan satu-satunya lapangan sepakbola ditengah-tengah kota ini dinilai bisa berpotensi menimbulkan implikasi dan problem sosial yang mungkin akan disesali banyak pihak dikemudian hari. Maka menjadi menarik untuk mendiskusikan, mengulas, menganalisa bahkan meningkat menjadi mengkritisi dan mempersoalkan isi yang terkandung dalam surat tersebut dengan mempelajarinya secara mendalam, komprehensif dari semua sudut pandang, dan mengkaitkannya dengan perkembangan kondisi kultural, sosial, ekonomi, dan politik kekinian.
Semua yang terjadi seputar peristiwa surat-menyurat ini sangat menggelitik, aneh, dan malah menjurus pada ketidaknormalan norma dan nilai moral yang dipraktekkan oleh para aktornya, terutama mengingat kedududukan dan tanggungjawab mutlak aktor-aktor yang terlibat dalam urusan surat-menyurat tersebut. Sehingga penting untuk diulas berbagai aspek yang terkait yaitu mulai dari Tugas dan tanggungjawab para aktor yang terlibat, Tata cara hibah Barang Milik Daerah, Fungsi yang terkandung dalam obyek hibah sebagai barang Milik Daerah, Tujuan pelaksanaan hibah, Implikasi sosial, politik, kultural dan ekonomi serta yang terakhir tentang Indikator terpenuhinya tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan hibah.
Menyimak surat-menyurat yang beredar, setidaknya telah diketahui peran aktor-aktor yang terlibat diantaranya Kepala BPN Kabupaten Jember (lama dan baru), Bupati Jember, DPRD Kabupaten Jember, Pengelola Barang Milik Daerah (Sekda) bersama Tim yang mempersiapkan kelayakan pelaksanaan hibah, tokoh kultur dan tokoh ekonomi seputar lokasi obyek hibah.
Latar belakang kegaduhan dari terbitnya surat menyurat antara Kepala BPN Jember, Bupati dan DPRD berpangkal pada persoalan hibah Barang Milik Daerah berupa Ruang Terbuka Hijau yang dikenal dengan sebutan Lapangan Talangsari. Seandainya obyek surat tersebut menyebut lapangan lain, dipastikan kegaduhannya tidak akan seheboh ini, atau bisa jadi bahkan tidak perlu ada kegaduhan.
Bahwa secara turun temurun, Lapangan Talangsari telah dimanfaatkan untuk lapangan sepakbola bagi warga sekitar dan juga berfungsi sebagai penunjang kegiatan kultural keagamaan yang dimotori oleh keluarga besar Bani Shiddiq yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun bahkan sejak zaman penjajahan belanda.
Lalu bagaimanakah Tata Cara Hibah Barang Milik Daerah berupa tanah tersebut seharusnya dilakukan ?
Jawaban Sekretaris Daerah Kabupaten Jember yang mengklaim produk surat Bupati Jember tentang permohonan persetujuan kepada DPRD telah memenuhi semua kelengkapan dan persyaratan sebagaimana ketentuan Permendagri 19 Tahun 2016 perlu diuji berdasar prinsip-prinsip pelaksanaan hibah Barang Milik Daerah berupa tanah Ruang Terbuka Hijau/ Lapangan Olah Raga sebagaimana ketentuan yang telah disebutkannya.
Mari kita cermati pasal demi pasal dari ketentuan Permendagri 19 Tahun 2016.
- Pasal 10 menegaskan bahwa Sekretaris Daerah selaku Pengelola Barang berwenang dan bertanggungjawab mengajukan usul pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah yang memerlukan persetujuan Bupati.
- Pasal 396 (1) Hibah barang milik daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan : sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial, penyelenggaraan pemerintahan pusat/pemerintahan daerah.Makna dalam Pasal 396 (1) ini sangat jelas menegaskan, bahwa hibah barang milik daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, budaya, keagamaan dan pendidikan yang bersifat non komersial lebih diprioritaskan daripada kepentingan penyelenggaraan pemerintahan pusat/pemerintahan daerah.Norma yang telah digariskan dalam ketentuan pasal 396 ayat(1) Permendagri 19 Tahun 2016 seharusnya menjadi pertimbangan moral utama bagi Bupati selaku pemimpin daerah yang memegang mandat sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Pengelolaan Barang Milik Daerah).
Seharusnya sebelum melayangkan surat permohonan persetujuan hibah kepada DPRD, Bupati mengajak bicara unsur-unsur yang merepresentasikan kepentingan sosial, budaya, keagamaan dan pendidikan bersifat non komersial yang justru secara faktual lebih dominan berkepentingan dalam memanfaatkan keberadaan Lapangan Sepakbola Talangsari daripada BPN sejak negara ini berdiri.
Kelalaian semacam ini memunculkan kesan bahwa Bupati telah dengan sengaja melecehkan dan/atau meremehkan keberadaan unsur-unsur yang merepresentasikan kepentingan sosial, kultural, keagamaan dan pendidikan non komersial diwilayah Talangsari.
Resiko besar yang muncul akibat kebijakan tersebut pastinya akan memantik kecurigaan bahwa Bupati atau BPN atau bisa jadi kedua-duanya memiliki “agenda tersembunyi” dibalik permohonan dan persetujuan hibah tersebut.
- Disisi lain, ketika BPN diera kepala BPN sebelumnya mengajukan permohonan dengan cara langsung menunjuk obyek permohonan lapangan sepakbola Talangsari untuk kepentingan pembangunan kantor BPN yang lebih representative, secara vulgar menunjukan bahwa Pejabat BPN tidak paham tentang tugas dan tanggungjawabnya serta tida memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya.
Bahwa BPN sejak awal diketahui berkantor di kawasan Talangsari. Dan BPN mestinya telah lama “bertetangga” dengan kawasan Pondok Pesantren atau kawasan pendidikan non komersial. Pastinya, BPN telah sering menjumpai kegiatan-kegiatan sema’an, sholawatan, haul dan kegiatan kultur keagamaan lainnya yang menggunakan sarana penunjang yang telah disediakan dengan keberadaan lapangan Talangsari. Baik sekedar untuk keperluan parkir, tempat transit atau tempat istirahat para jama’ah, atau juga untuk kegiatan-kegiatan kultural keagamaan yang diselenggarakan di Lapangan Talangsari.
Dapat dibayangkan seandainya benar terjadi lapangan olah raga Talangsari dipergunakan untuk bangunan gedung perkantoran BPN yang baru, maka kegiatan haul, sema’an, shlawatan dan sebagainya akan memanfaatkan kebutuhan parkir di kawasan sekitarnya yang sudah tidak representative lagi. Artinya potensi terjadinya kekacauan, konflik kepentingan, dan ketidaktertiban kawasan akan semakin meningkat dan rawan bentrok antar komponen yang berkepentingan.Apabila potensi resiko ini sama sekali tidak masuk dalam mitigasi resiko ketika Pejabat BPN mengajukan permohonan hibah Tanah Lapangan Olah Raga Talangsari maka bisa disimpulkan bahwa Pejabat BPN sebelumnya tidak memahami secara utuh tentang tugas dan tanggungjawab yang sudah digariskan dalam Peraturan Presiden RI nomor 48 Tahun 2020 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga wajib dievaluasi dan kalau perlu diberi sanksi.
- Pasal 397 (1) Barang milik daerah dapat dihibahkan apabila memenuhi persyaratan antara lain, bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; atau tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah.Diabaikannya pertimbangan atas syarat sebagaimana diatas menunjukkan bahwa Pengelola Barang beserta Tim peneliti serta Bupati lebih mengedepankan aspek kewenangan dibandingkan pertimbangan obyektif yang wajib dipenuhi dalam memutuskan suatu kebijakan. Kombinasi policy dan wisdom yang menjadi karakter khas pemimpin adil dan bijaksana sulit terlihat dalam peristiwa ini.Manakala menilik dari riwayat pemanfaatan Lapangan Talangsari selama berpuluh-puluh tahun telah dimanfaatkan sebagai sarana olah raga, sarana rekreasi, sarana penunjang ekonomi, sarana penunjang kegiatan kultur keagamaan masyarakat sekitar, maka sangat jelas bahwa Lapangan Talangsari merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Pemanfaatan oleh masyarakat sekitar atas Tanah Lapangan Olah Raga Talangsari tersebut juga memberi kontribusi bagi pemenuhan syarat dalam Pasal 397 ayat (1) huruf c yaitu bahwa Tanah Lapangan Olah Raga Talangsari masih digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 65 ayat (1), bahwa Bupati mempunyai tugas untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Namun, fakta dengan terungkapnya rencana hibah ini jelas telah memunculkan gerakan penolakan bahkan perlawanan.
Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa suasana tentram dan situasi tertib yang semestinya merupakan tugas Bupati justru berpotensi sebaliknya manakala kebijakan hibah tersebut akan tetap dilanjutkan. Bupati yang seharusnya memiliki kewajiban menciptakan ketentraman dan ketertiban justru menjadi penyebab timbulnya potensi kekacauan dan keresahan ditengah masyarakat.
- Pasal 403 mengatur ; Pengelola Barang mengajukan permohonan persetujuan hibah kepada Gubernur/Bupati/Walikota dan dalam hal hibah memerlukan persetujuan DPRD, Gubernur/Bupati/Walikota terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan.Dari kronologis yang diungkap media, sebenarnya patut diragukan apakah Pengelola Barang benar-benar telah mengajukan permohonan pesetujuan hibah kepada bupati. Karena persetujuan hibah atas permohonan BPN diduga lebih merupakan inisitaif Bupati daripada kerja professional Tim Peneliti dan Pengelola Barang.
Melihat banyaknya aspek yang menjadi pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah sebagaimana ketentuan Permendagri 19 tahun 2016 yang diabaikan, menunjukkan bahwa Tim Peneliti dan Pengelola Barang tidak sedang bekerja secara independen dan obyektif sehingga menjadikan surat permohonan persetujuan hibah kepada DPRD bisa lolos ditandatangani bupati dan dilayangkan ke DPRD.Atau sebaliknya, kuat dugaan bahwa surat tersebut lebih merupakan kepentingan Bupati dengan menggunakan kewenangannya daripada pertimbangan-pertimbangan obyektif berdasar ketentuan regulasi dan kondisi faktual di masyarakat.
Sekarang, bola panas sudah di tangan DPRD, semua bergantung kepada langkah-langkah politis 50 anggota dewan. Tarian apa yang akan mereka mainkan nanti diruang-ruang gedung DPRD, publik sedang berharap-harap cemas untuk bisa menikmati tarian mereka.
Kecuali, ditengah gelombang protes berbagai tokoh, tiba-tiba Bupati kembali bermanuver dengan menyampaikan permohonan maaf seperti sebelumnya lalu mencabut surat yang terlanjur dilayangkan, maka panggung dewan di gedung DPRD tidak perlu lagi digelar. Urusan selesai sementara waktu.
Atau bisa jadi Kepala BPN mencabut surat permohonan produk dari Kepala BPN sebelumnya. Kalau skenario ini yang terjadi, maka panggung politikpun akan berubah setting. BPN akan terhindar dari potensi besar menjadi sasaran tembak menghadapi kemarahan publik dan selamat dari arus pertarungan politik kepentingan para pihak.
Namun faktanya “SURATANTANGAN” sudah ditangan DPRD, semua dokumen pun sudah vulgar telanjang di mata publik yang sedang menyorot tajam. Bagaimana endingnya ? Kita tunggu saja manuver-manuver para pihak yang berkepentingan.
Namun jangan lupa, bahwa dalam setiap situasi, selalu saja ada pihak yang sengaja ingin mengail di air keruh. Maka, siapkan dari sekarang kopi dan rokoknya. Biar makin asyik menikmati Tarian di Talangsari.