Plt (untuk) Mempercepat APBD ?

0
584

Plt (untuk) mempercepat APBD ?
Oleh : Hermanto Rohman
Dosen Pemerintahan dan Keuangan Daerah FISIP UNEJ

Jalan pemerintahan saat ini tidak akan semulus yang dibayangkan karena menjalankan warisan pemerintahan sebelumnya salah satunya adalah menyelesaikan pekerjaan APBD 2021 dan Penataan Organisasi.

Kedua pekerjaan ini saling terkait karena pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2004 dan PP No 17 Tahun 2017 menekankan perlunya Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan nasional yang menekankan bahwa kriteria pelaksanaan perencanaan pembangunan harus sinkron dengan pelaksanaan penganggaran.

Dalam pelaksanaannya pada Pasal 14 Permendagri No 70 Tahun 2019 memberikan panduan bahwa hasil penyusun dokumen perencanaan pembangunan daerah dan dokumen perangkat daerah harus berbasis pengelolaan data dan dilakukan secara elektronik. Dokumen tersebut meliputi perangkat dokumen anggaran daerah seperti KUA, PPAS, rancangan APBD sampai menjadi APBD yang dilaksanakan berbasis elektronik.

Oleh karena itu penyusunan dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud harus menggunakan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah yang telah ditetapkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 90 Tahun 2019 Tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah.

Implementasi Permendagri No 90 Tahun 2019 mengatur tentang; 1) urusan, bidang urusan, program, kegiatan, dan sub kegiatan; 2)fungsi; 3) organisasi; 4) sumber pendanaan; 5) wilayah administrasi pemerintahan; dan 6) Rekening. Jika mengacu ini maka dapat dipastikan bahwa ada sekian Pekerjaan Rumah yang harus dijalankan pemerintah kabupaten Jember ketika bahas APBD 2021 salah satunya adalah penataan organisasi.

Kenapa penataan organisasi?

Kabupaten Jember pada awal memulai pembahasan APBD 2021 masih menggunakan KSOTK 2016. Ini sangat berbeda dengan daerah lain setelah keluar Permendagri no 90 tahun 2019 daerah tersebut melakukan penataan kelembagaan dengan menerbitkan KSOTK Baru yang akan digunakan sebagai dasar APBD 2021, dan rata rata daerah sudah menyelesaikannya di tahun 2019 dan 2020. Sementara Kabupaten Jember harus memetakan kembali perumpunan organisasi dan urusan yang otomatis ini akan berdampak pada perubahan nomenklatur dan struktur organisasi yang tentunya berimplikasi harus merubah KSOTK 2016 menjadi KSOTK Baru.

KSOTK 2016 harus dilakukan perubahan karena ada perubahan ketentuan perundang undangan diatasnya yaitu PP No 18 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah dengan PP No 72 Tahun 2019 yang mengharuskan dilakukan perubahan kelembagaan. Selain itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur khusus perumpunan perangkat daerah, antara lain: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 106 Tahun 2017 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.010/8/2016 tentang Pedoman Nomenklatur, Tugas dan Fungsi Dinas Urusan Pangan dan Dinas Urusan Pertanian Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Jadi perubahan KSOTK 2016 menjadi KSOTK baru merupakan keharusan yang dijalankan sebelum membahas APBD 2021, jika tidak akan menjadi masalah bagi APBD 2021 dan kasus ini pernah terjadi di kabupaten Bondowoso bahwa DPRD menolak membahas dan mengembalikan KUA PPAS karena masih menggunakan SOTK lama. Perubahan dengan penetapan KSOTK Baru akan berdampak penataan organisasi dengan penyesuaian pejabat dan jabatan.

Implementasi KSOTK Baru.

Proses perubahan KSOTK lama menjadi KSOTK baru harus mengikuti Permendagri No 120 tahun 2018 tentang perubahan Permendagri No 80 tahun 2015 tentang pembentukan produk hukum daerah. Dalam pasal 42 ayat 3 disebutkan bahwa rancangan Perkada yang telah disusun disampaikan kepada biro hukum provinsi atau nama lainnya dan bagian hukum kabupaten/kota atau nama lainnya untuk dilakukan pembahasan.

Proses perubahan ini sebenarnya sudah dilakukan di jaman Plt Bupati ( Wabup Kiyai Mukit) namun saat itu terkendala penetapan dan pengundangan dimana Plt Bupati bisa mengundangkan perkada harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri. Dalam perkembangannya hasilnya menjadi semakin kabur dan runyam setelah Bupati (Faida) menjabat kembali dan kemudian menetapkan Perbup SOTK 2021 yang disertai dengan keputusan mengangkat Plt disemua jabatan saat itu. Keputusan yang dilakukan Faida ini menimbulkan gonjang ganjing dan mosi tidak percaya di ASN Jember.

Penetapan Perbup KSOTK 2021 yang dilakukan oleh Bupati Baru (Hendy) sebenarnya bagian proses perbup yang diajukan Plt Bupati (Wabub Kiyai Mukit) setelah proses konsultasi dengan provinsi. Proses Pengundangan perbup KSOTK 2021 sekarang mempunyai kemiripan dengan yang dilakukan Bupati Faida saat itu dengan demisioner seluruh jabatan dan mengangkat Plt.

Pembedanya adalah apa yang dilakukan Faida saat itu masih menyisakan masalah dengan belum dijalankannya rekomendasi surat Mendagri serta proses pengundangan SOTK yang cacat secara hukum karena dilakukan Plh Sekda tampa melalui konsultasi dengan Gubernur.

Pertanyaannya apakah langkah pendeminisioneran dengan membiarkan kosong jabatan tampa jabatan definitif dengan mekanisme Plt ini merupakan langkah yang semestinya harus dilakukan?

Beberapa praktik di kabupaten lain bahwa perubahan KSOTK tidak harus berimplikasi dengan mengisongkan jabatan dan mengisi dengan Plt disemua jabatan seperti dilakukan Jember saat ini.

Sebagai contoh Bupati Bogor seiring dengan perubahan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) beberapa dinas sebagai konsekuensi Permendagri 90 Tahun 2019, tentang klasifikasi, kodefikasi dan nomenklatur perencanaan pembangunan keuangan daerah. Bupati mengambil langkah dengan tidak menempuh jalan mutasi rotasi bahkan memPlt kan pejabat definitif, yang dilakukan adalah dengan mengukuhkan kembali pejabat lama untuk jabatan dengan ketentuan SOTK baru.

Mungkin langkah yang dilakukan Bupati Jember dengan melakukan demisioner pejabat definitif dan membiarkan kosong dengan mengisinya melalui Plt. Ini terkesan bahwa alasan beberapa pejabat diposisi tertentu dirasa “menghambat” atau “tidak sejalan” dengan visi dan misi bupati lebih dominan. Harapannya Bupati tidak mendapatkan kesulitan dan hambatan dalam pembahasan APBD jika timnya adalah Pejabat pejabat OPD yang diharapkan dan dipilih melalui Plt.

Langkah Plt ini diasumsikan sebagai formula yang bisa dilakukan disaat upaya membangun tim yang solid melalui pejabat pejabat OPD dengan cara Plt 3 bulan kedepan, karena larangan untuk melakukan mutasi dan rotasi jabatan selama 6 bulan setelah dilantik ( Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 273/487/SJ.

Dalam klausul surat edaran Mendagri tersebut menyebutkan bahwa pengisian jabatan dapat dilakukan jika terjadi kekosongan jabatan dengan sangat selektif, serta tidak melakukan mutasi/rotasi dalam jabatan. Kalaupu dilakukan Proses pengisian jabatan harus dilaksanakan melalui seleksi terbuka sebagaimana ketentuan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Bupati dengan tidak melakukan mutasi namun melakukan pendeminisioneran pejabat lama serta tidak melakukan pengukuhan kembali dalam jabatan definitif namun mengosongkan semua jabatan sebagai implikasi KSOTK 2021 merupakan implikasi ketentuan tersebut.

Menurut surat edaran Mendagri tersebut bupati membiarkan terjadi kekosongan dan tidak melakukan seleksi terbuka namun mengisi kekosongan jabatan dapat diangkat Pelaksana Tugas (Pit.) dan ini diperbolehkan dalam surat edaran tersebut.

Namun yang perlu diperhatikan dalam surat edaran Mendagri tersebut menegaskan bahwa Fungsi Plt harus mempedomani Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 2/se/vii/2019 tanggal 30 Juli 2019 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian.

Sampai disini sudah jelas bahwa apa yang dilakukan bupati tidak salah menurut ketentuan, namun juga bukan satu satunya jalan atau langkah yang ditempuh.

Langkah ini ( demisioner dan mengangkat Plt) dilakukan sekali lagi lebih pada alasan untuk membersihkan pejabat di Jember yang tidak sejalan dan juga sesuai dengan visi dan misi sejak dini. Bisa jadi bupati sudah merasakannya saat menghadapi pembahasan APBD 2021 yang masih belum kelar dan terlambat saat ini sehingga langkah pengukuhan pejabat sama untuk di definitif kan tidak dilaksanakan.

Opsi Plt apakah pilihan terbaik?

Dalam konteks normal untuk membangun budaya birokrasi yang baik, mendeminisionerkan dan mengisongkan jabatan dan mengisi dengan Plt merupakan langkah yang kurang tepat.

Jika mengacu pada Undang-undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) terdapat batasan-batasan untuk Plt dalam melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat 2 UU tersebut.

Ketentuan yang jelas yang harus dijadikan pedoman sebagaimana SE Mendagri larangan mutasi adalah surat edaran bkn nomor 2/se/vii/2019. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa Plt adalah pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran. Artinya keputusan strategis ini masih melekat pada pemberi mandat dalam hal ini Bupati selaku kepala daerah. Jabatan Plt hanya berlaku untuk 3 bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 3 bulan berikutnya.

Konteks ini yang harus diperhatikan di Jember saat ini. Pada posisi pembahasan Anggaran yaitu APBD 2021 pastinya bupati tidak bekerja sendiri dalam setiap rangkaian pembahasan. Bupati dalam setiap rangkaian pembahasan mulai dari pembahasan KUA PPAS, serta RKA yang akan dikonsultasikan bersama Komisi di DPRD semuanya harus melibatkan pejabat yang berwenang biasanya adalah TAPD dan Kepala OPD yang pastinya adalah pejabat definitif(bukan Plt). Kenapa pejabat definitif karena setiap rangkaian pembahasan tidak semuanya dilakukan oleh Bupati selaku pemberi mandat pada Plt tapi biasanya dilakukan kepala TAPD yang berisi Kepala OPD definitif yang atas jabatannya dapat mengambil kebijakan strtegis dan terkait anggaran.

Sedangkan saat ini kepala OPD di Jember semuanya adalah Plt dan tentunya memiliki kewenangan terbatas ( tidak memiliki kewenangan) karena jabatan mandatori. Ini masalah yang harus dipikirkan dan pak bupati harus hati hati dalam melangkah. Kasus di beberapa daerah ada DPRD menolak membahas karena OPD adalah Plt yang tidak memiliki kewenangan bicara perubahan anggaran.

Bagaimana dengan di Jember? Jika di dalami pilihan langkah yang diambil bupati ini nilai plusnya adalah bisa menggeser orang yang dirasa menghambat proses dengan menggganti sementara orang yang dirasa bisa mempercepat proses. Sedangkan nilai minusnya adalah mengosongkan dan mengangkat Plt disemua jabatan yang tentunya memiliki keterbatasan wewenang membahas anggaran.

Namun semua akan tergantung dinamika politik di Jember. Sebagai penutup Jember Koyoke Wis Wayahe Mikir Maneh.

Oleh :
Hermanto Rohman
Dosen Pemerintahan dan Keuangan Daerah FISIP UNEJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.