NU, Ormas Masa Depan ?

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

NU, atau Nadlatul Ulama, dalam kajian akademis maupun dialektika politis, dilekati label tradisionalis. Sejauh ini.

Sebuah gambaran ormas dengan praktek keagamaan kuno, tidak sesuai dan tidak adaftif terhadap nilai-nilai barat yang dianggap modern.

NU juga diberi label “kaum sarungan”. Merujuk pakaian kesehariannya. Baik untuk peribadatan maupun kegiatan kemasyarakatan. Itu dulu.

Terbelakang secara ekonomi dan pendidikan formal. Kumuh, kusut, kotor. Pondok Pesantren sebagai tempat pendidikan mereka banyak dihuni siswa berpenyakit kulit. Korengan.

Merupakan prototipe masyarakat kelas bawah, rendah secara ekonomi, dan jauh dari kemoderenan.

Itulah stereotif yang dilekatkan kepada NU selama ini.

Sebagai ormas keagamaan, NU mengusung spirit kebangkitan ulama. “Nahdlah” artinya kebangkitan.

Didirikan Kyai Hasim Asyári beserta kolega-koleganya. Kyai Hasyim merupakan pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Didirikan pada tahun 1926, atau 14 tahun setelah ormas keagamaan Muhammadiyah berdiri. Tahun 1912.

Kebangkitan ulama: bangkit dalam melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam otentik. Islam yang original. Sebagaimana diajarkan Rasulullah Muhammad SAW,.

Ajaran itu diwariskan secara turun temurun melalui salafus sholih. Ulama terdahulu yang sholih dan pengikut-pengikutnya.

Secara fiqh, NU berpedoman 4 madzhab Mu’tabar. Imam Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Secara tauhid, mengacu konsepsi ijtihad Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan secara tasawuf merujuk Imam Ghozali.

Gerakan NU, hingga satu abad pertama berdiri, bertumpu gerakan pendidikan non formal dan kultural. Gerakan pendidikan dilakukan melalui pondok-pondok pesantren, madrasah diniyah. Ataupun pelajaran-pelajaran keagamaan di masjid dan surau-surau.

Gerakan pendidikan NU melestarikan ajaran Islam bersanad. Sebuah rantai ajaran Islam sambung menyambung hingga Rasulullah Muhammad Saw., dan generasi salafus sholih.

Pesantren tidak terintegrasi dengan lembaga-lembaga pendidikan formal. Sebelum akhirnya bermunculan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Institut Agama Islam yang disetarakan dengan pendidikan formal.

Output pendidikan pondok pesantren dan madrasah diniyah tidak bisa untuk melanjutkan ke sekolah formal ataupun bekerja pada institusi modern. Baik pemerintah maupun swasta.

Itulah kenapa komunitas ini diberi label sebagai tradisionalis. Sebuah komunitas keagamaan yang anggotanya tidak adaptif dengan kemoderenan.

Selain gerakan pendidikan, NU melakukan gerakan kultural. Melalui sholawatan, yasinan, khataman Al-Qur’an, tahlilan, atau haul orang meninggal.

Kegiatan-kegiatan ini membentuk kantong-kantong kultural. Menyebar hampir di semua wilayah.

Berbeda dengan Muhammadiyah. Sejak berdirinya mengusung tajdid, atau pembaharuan. Salah satu amal usahanya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal.

Outputnya terintegrasi dengan institusi modern. Baik swasta maupun pemerintahan.

Muhammadiyah juga mengembangkan rumah-rumah sakit maupun lembaga-lembaga usaha dengan manajemen modern.

Kelemahan Muhammadiyah terletak pada minimnya konten pendidikan ke-Islaman. Tergerus porsinya oleh asupan menu keilmuan modern. Corak pandangan keagamaan anggotanya menjadi berjarak dari sumber-sumber ke-Islaman klasik.

Spirit ijtihad menjadikan pandangan keagamaan anggotanya heterogen. Maka mudah goyah ketika menghadapi infiltrasi gerakan manhaj keagamaan berbeda. Seperti masuknya Salafi-Wahabi ke Muhammadiyah.

Gerakan tajdid-nya bersifat elitis. Pada amal usaha sektor-sektor modern. Tidak memiliki gerakan kultural yang dominan. Keanggotaan ormas ini menjadi kurang mengakar jika dibanding NU.

Kuat dalam amal usaha. Akan tetapi basis masa keanggotaannya tidak mengakar merata.

Kembali ke NU.

Label tradisionalisnya telah dan sedang mengalami titik balik. Realitas ini jarang disadari banyak pihak.

Titik balik itu dipicu bebera hal.

Pertama, booming SDM NU berpendidikan formal. Hingga pendidikan tinggi.

Merupakan buah keberhasilan transformasi lembaga-lembaga pendidikan NU bersinergi dengan lembaga-lembaga pendidikan formal. Seiring pula keberhasilan negeri ini membangun lembaga-lembaga pendidikan.

Generasi pelajar NU semakin banyak memiliki kesempatan melanjutkan studi pada jenjang perguruan tinggi. Menjadikan SDM-nya mampu bersaing dan diterima pada institusi-institusi modern. Baik pada lembaga pemerintah maupun swasta.

Kedua, demokratisasi politik melalui reformasi tahun 1998. Sistem politik berubah menjadi kompetisi elektoral secara terbuka.

Situasi ini menguntungkan NU dengan penguasaannya pada kantong-kantong elektoral. Jumlah massa NU yang relatif besar menjadi bargaining kanalisasi transformasi struktural warga NU pada kelembagaan politik formal.

Dua perubahan itulah: transformasi pendidikan formal dan demokratisasi sistem politik, melambungkan banyak warga NU dari posisinya tradisionalis menjadi modernis. Label tradisionalis tidak lagi akurat disematkan padanya lagi.

NU bahkan memiliki potensi menjadi ormas masa depan. Bagi Indonesia maupun komunitas muslim global.

Pertama, kesetiaannya pada keilmuan ke-Islaman bersanad. Menjadikannya memiliki basic hujjah keagamaan kuat. Berdasar sumber-sumber otentik ajaran Islam. Sebagaimana kalangan salafus sholih memahami ajaran Islam.

NU akan dikenal sebagai pintu memasuki ajaran Islam yang otentik itu. Oleh ketaatannya terhadap sumber-sumber ke-Islaman klasik bersanad dalam memahami ajaran Islam.

Kedua, integrasinya dengan kelembagaan pendidikan formal, akan mendorong mobilitas intelektual warga NU melahirkan output SDM berpendidikan modern. Sekaligus memiliki wawasan ke-Islaman yang luas.

Mobilitas warga NU dalam memasuki pendidikan formal akan mengantarkannya sebanyak mungkin menjadi pelaku pembangun peradaban di banyak sektor kehidupan.

Ketiga, gerakan inklusif secara kultural menjadikan NU susah dipisahkan dengan grassrot. Melalui tahlilan, sholawatan, khataman/ semaan Al-Qurán, Yasinan, menjadikan NU sebagai gerakan budaya. Gerakan rakyat.

Realitas ini akan memperkuat reposisi NU dalam perpolitikan bangsa. Memiliki cengkeraman akar rumput yang kuat.

Keempat, reposisi nasionalisme penjaga Pancasila dan NKRI. Reposisi itu bukan keterpaksaan oleh hegemoni state. Penerimaan NU terhadap Pancasila dan NKRI memiliki pijakan teologis.

Perjuangan mempertahankan dan melestarikan NKRI dan Pancasila merupakan bagian dari keberagamaan atau ke-Islaman itu sendiri. Reposisi itu menjadikan NU semakin dibutuhkan oleh negara. Keduanya (NU dan Negara) tidak bisa dipisahkan.

Kelima, corak keagamaan NU secara fiqh, tauhid dan tasauf, merupakan bagian sisiran terbesar corak keagamaan muslim dunia. NU bisa menjadi salah satu simpul pemersatu komunitas muslim internasional itu. Khususnya komunitas dengan corak keagamaan yang sama.

Peran ini seiring peningkatan kapasitas kelembagaan NU dan kemajuan Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi potensial di dunia. Ormas NU akan menjadi model pengembangan Islam otentik dan moderat, bagi komunitas muslim internasional.

Statusnya sebagai ormas Islam dengan keanggotaan terbesar di dunia akan menggiring peran itu hadir dengan sendirinya. Pada saat banyak ormas keagamaan mengalami krisis keanggotaan dan kepercayaan. NU memiliki sisi-sisi yang menempatkannya semakin strategis. Termasuk krisis kepercayaan oleh ajaran intoleran dan tidak otentik.

ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 15-06-2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back To Top