PETAHANA VS Warga Sipil
Oleh Novi Kusuma Wardhana, Ketua LBH Bolosaif
Pemilihan umum adalah bagian yang tak terpisahkan dalam sistem demokrasi di mana calon-calon memperkenalkan gagasan-gagasan mereka kepada masyarakat luas, meliputi visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan jika terpeilih menjadi pemimpin. Tetapi perlu diawasi dengan ketat agar semua prosedur kampanye berlangsung dengan transparan serta bebas dari segala bentuk pelanggaran, termasuk penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan peserta lainnya.
Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah melarang penggunaan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu misalnya, yang melarang pelaksana dan/atau tim kampanye untuk tidak menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye, dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini bahwa Fasilitas negara yang dimaksud meliputi gedung, kendaraan, dan sarana lainnya yang dibiayai oleh anggaran negara atau daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota juga mengatur, bahwa pasangan calon dilarang menggunakan fasilitas negara selama kampanye, dimana pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dikenakan sanksi. Serta dengan tegas dalam PKPU 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum Pasal 69 menegaskan bahwa fasilitas negara tidak boleh digunakan oleh pasangan calon atau tim kampanye untuk kegiatan kampanye.
Pelarangan penggunaan fasilitas negara untuk kampanye didasarkan pada prinsip keadilan dan netralitas dalam proses pemilu. Beberapa alasan utama mengapa hal ini dilarang adalah :
- Mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dimana penggunaan fasilitas negara oleh kandidat yang memiliki akses ke sumber daya negara dapat memberikan keuntungan tidak adil yang merusak prinsip kesetaraan dalam pemilu.
- Menghindari Pemborosan Anggaran Negara, dimana Fasilitas negara dibiayai oleh anggaran yang berasal dari pajak rakyat. Penggunaan fasilitas ini untuk kepentingan pribadi atau politik dianggap sebagai pemborosan dan penyalahgunaan anggaran negara.
Selain itu yang tak kalah penting adalah menjaga netralitas aparatur sipil negara (ASN). ASN harus tetap netral dalam proses pemilu. Keberpihakan ASN kepada salah satu kandidat memungkinkan penggunaan fasilitas negara oleh ASN untuk kampanye, dimana hal tersebut dapat merusak kepercayaan publik terhadap netralitas dan profesionalisme ASN. Ini juga diatur dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menegaskan larangan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memberikan dukungan kepada calon peserta pemilu, termasuk menggunakan fasilitas negara untuk kampanye.
LALU SIAPA YANG BERPOTENSI MELAKUKAN PELANGGARAN / KECURANGAN ?
Penggunaan fasilitas Negara merupakan modus yang paling sering dilakukan kepala daerah pada saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Wewenang dan kekuasaan yang melekat pada kepala daerah berpotensi besar digunakan untuk kepentingan kepala daerah dalam memenangkan pemilihan. Dengan adanya kewenangan tersebut, sangat memungkinkan bagi kepala daerah untuk membujuk, memengaruhi,memerintah, bahkan mungkin menekan para bawahannya untuk berpihak dan memberikan dukungan untuk kepentingan kepala daerah.
Menurut Catherine Needham, Kepala Daerah memiliki keuntungan melakukan kampanye permanen. Istilah kampanye permanen berarti seorang kepala daerah telah mempersiapkan diri untuk pemilihan jauh hari sebelum lawan-lawannya dengan menggunakan program kerja pemerintah sebagai sarana kampanye secara langsung maupun tidak langsung.
Contoh yang paling sering terjadi penggunaan fasilitas negara oleh petahana adalah menggunakan banner atau baliho, baik di tempat publik maupun pada instansi – instansi pemerintah, dimana semua alat peraga yang mestinya bertujuan untuk mengenalkan program pemerintah, informasi publik, maupun promosi daerah dan lainnya namun digunakan sebagai alat untuk berkampanye secara terselubung. Dugaan ini sebenarnya sulit dibantah, terlebih menggunakan parameter kandungan didalam berbagai alat peraga tersebut hanya menonjolkan sosok mereka dibanding substansi informasi publik mengenai program pemerintah, namun hal ini sering luput oleh sebagai tindakan pelanggaran, karena bias dan memang sulit dipisahkan dengan pelaksanaan tugas sebagai kepala daerah. Persoalan ini tentu perlu mendapatkan perhatian dan pengawassan yang serius, demi terciptanya Pemilu yang bersih, jujur dan adil.
Peneliti dan akademisi Prof. Eko Prasojo mengaitkan penggunaan fasilitas negara untuk kampanye dengan korupsi politik. Penggunaan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi atau politik dianggap sebagai bentuk korupsi yang harus dicegah. Beliau menekankan bahwa tindakan ini mengkhianati amanah rakyat dan melanggar hukum.
Namun banyak tindakan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye yang tidak dilaporkan ke ranah hukum, hal ini adalah akibat tidak adanya sosialisasi dan informasi yang cukup dari pihak Bawaslu kepada instansi stake holder, yakni KPU, Pemda, Kepolisian dan Satpol PP.
Terkait dengan penggunaan fasilitas negara, Bawaslu mempunyai tugas dan kewenangan yang lebih besar, walaupun secara peraturan perundang-undangan Bawaslu hanya berhak merekomendasikan terkait putusan sanksi pelanggar jika terbukti oleh KPU maupun peserta pemilu. Namun ditinjau dari segi fungsi, Bawaslu mempunyai kewenangan lebih besar, sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu melaporkan pelanggaran kepada pihak yang berwenang, seperti Kepolisian dan Kejaksaan, untuk penegakan hukum lebih lanjut untuk memastikan aura pemilukada secara demokratis, jujur, dan adil.
Masyarakat, Organisasi Masyarakat, LSM, NGO dan seluruh stekeholder kepemiluan termasuk media juga harus ikut berperan lebih aktif, karena kampanye terselubung dan penggunaan fasilitas Negara akan membuat petahana leluasa melakukannya demi mendapatkan suara terbanyak disaat pelaksanaan Pemilu terlebih Pilkada Jember 2024 diikuti oleh dua pasangan calon yaitu PETAHANA dan warga sipil. Apabila terindikasi melakukan tindak pidana penyelewengan fasilitas negara LAPORKAN.
Sejak awal masa kepemerintahan PETAHANA, Ormas Topi Bangsa, LBH Bolosaif, dan beberapa LSM Jember banyak menemukan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Kepala Daerah Kabupaten Jember dalam menjalankan roda keperintahannya, sehingga Kami LBH Bolosaif menduga bahwa penyalahgunaan kewenangan berupa menggunakan fasilitas termasuk perangkat negara akan kembali dilakukan dalam kontestasi Pilkada 2024 ini untuk kemenanfan PETAHANA, tentu saja itu tidak boleh dilakukan karena selain melawan hukum, merugikan lawan yang notabenenya adalah warga sipil, juga merupakan bentuk penghianatan kepada rakyat atas prinsip keadilan, kejujuran, dan kebaikan yang juga berpengaruh pada legitimasi kepemimpinan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebenarnya adalah sarana bagi rakyat daerah untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah yang tengah menjabat. Pilkada juga merupakan kesempatan bagi rakyat untuk memberikan hukuman bagi pemimpin yang dipandang gagal menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai aturan dengan jalan tidak memilihnya kembali sebagai kepala daerah. Sebaliknya bagi pemimpin yang berhasil, rakyat dapat memberikan ganjaran berupa dukungan bagi pemimpin itu agar memimpin daerah lima tahun ke depan.
STOP POLITIK IDENTITAS, STOP POLARISASI SENTIMEN SARA, GO IDE GO GAGASAN, PLAY FAIR.
Untuk Jember yang Lebih Baik.
NOVI KUSUMA