Mengukur Keadilan “Pampasan Perang” Pilkada Jember

0
656

Wes Wayahe Mbenahi Jember pasca roda pemerintahan yang penuh dengan kegaduhan politik era Bupati Faida, tak ubahnya seperti kondisi pasca perang. Kerusakan dan kehancuran tidak hanya terjadi di infrastrukturnya, tatanan politik dan birokrasinya pun dipaksa keluar dari pakem yang “baik-baik saja”.

Sebelumnya, dalam suasana “perang”, maka norma yang dianutpun bukan lagi norma yang berlaku saat kondisi normal. Kondisi darurat, menjadikan kita semua bisa permisif terhadap tindakan-tindakan menyimpang. ASN yang seharusnya dilarang berpolitik, dipaksa dan bisa jadi terpanggil ikut masuk dalam gerakan politik menumbangkan rezim. Dan “anehnya” sikap terlarang itu justru dinilai sebagai PAHLAWAN dimata kelompok diluar rezim, sebaliknya ASN pendukung rezim dicap sebagai PENGHIANAT. Yang profesional sebagai ASN malah dituduh kelompok abu-abu, kelompok MUNAFIQ.

Diakui atau tidak, peran ASN aktif saat itu, menurutku menjadi salah satu faktor utama tumbangnya rezim Faida. Dari ASN aktif itulah informasi dan data-data kebusukan, kebobrokan dan kemunafikan penguasa  bisa sampai ke telinga publik. Fakta Faida kalah telak dalam Pilkada lalu, yang seperti membantah prediksi dan hasil survey berbagai pihak yang meramalkan Faida hanya akan menang tipis atau hanya kalah tipis, menjadi bukti kuat peran ASN aktif bergerak dibawah tanah didetik-detik terakhir untuk mempengaruhi pemilih.

Tugas berat bagi pemimpin “Pemenang Perang” adalah menyadarkan semuanya untuk kembali menggunakan norma yang ada dalam setiap aktifitasnya sebagai warga negara maupun abdi negara. Dan satu lagi yang terberat dan paling sensitif, adalah tentang pengelolaan pampasan perang.

Perlakuan terhadap pasukan perang pastinya berbeda dengan perlakuan kepada warga biasa apalagi yang hanya sebagai penonton peperangan. Kesalahan memanage harta pampasan perang, sejarah telah mengajarkan kita semua, cepat atau lambat akan menjadi bibit peperangan berikutnya.

Yang jadi soal, Haji Hendy dan Gus Firjaun sebagai “Panglima Perang” pemenang pilkada kemarin, tidak seperti Panglima Perang zaman nabi atau zaman kerajaan dahulu yang lebih jelas siapa pasukan perangnya. Pasukan perang resminya, pastinya terbentuk secara sistematis melalui tim kampanye, tim relawan dan jaringan partai-partai pengusungnya. Namun, bisa jadi, sebagai Panglima perang, mereka tidak mengetahui pasukan “siluman” tak kasat mata yang telah membantunya dengan berdarah-darah bahkan habis-habisan membelanjakan harta, tenaga dan waktunya demi kemenangan besarnya. Disinilah potensi terbesar munculnya kegaduhan baru pasca perang.

Mayoritas ASN aktif yang ikut berjuang dalam pertempuran berdarah itu dipastikan bergerak dibawah tanah. Otomatis tidak terlihat, bahkan kemungkinan besar mereka ini tidak dikenal oleh sang panglima perang itu sendiri. Dan realitasnya, kelompok pejuang bawah tanah ini tidak hanya dari kalangan ASN. Ada juga dari kalangan GTT/PTT, Karyawan BUMD/BUMN, wartawan dan kalangan politisi yang tidak sejalan dengan garis partainya yang mendukung calon lainnya. Juga berbagai kalangan lainnya yang secara norma umumnya dilarang terlibat dalam politik praktis dukung mendukung seperti ini.

Sebagian kecilnya tidak akan menjadi soal, karena didasari niat mereka ikut berjuang hanya karena keterpanggilan nurani melawan kedzoliman, tanpa embel-embel keinginan mendapatkan hasil pampasan perang. Pertanyaannya, seberapa banyak manusia seperti itu ditengah faham materialistik yang melanda dunia ? pastinya minimalis pakai banget.

Bicara soal kondisi pasca perang, kita bisa belajar dari sejarah yang ada, salah satunya dari sejarah Jepang. Pembangunan Politik Negara Jepang pasca kalah telak di perang dunia ke 2 berhasil dijalankan dengan baik akibat peran pemerintah dalam menciptakan birokrasi yang baik serta kultur masyarakat Jepang itu sendiri.

Akibat kekalahan pada perang dunia II. Jepang mengalami permasalahan besar di dalam negeri, diantaranya permasalahan ekonomi yang lumpuh akibat pengeboman yang dilakukan Amerika Serikat. Pada kurun waktu 1945-1952 Jepang berada dibawah pendudukan Amerika Serikat, dimana beberapa pengaruh yang diberikan AS selama masa pendudukan dalam beberapa hal sedikit membantu Jepang untuk bertahan. Namun secara garis besar pembangunan Politik di Jepang dipengaruhi proses modernisasi negara Jepang yang telah terjadi sejak Restorasi Meiji yang kemudian berhasil membuat Jepang menyetarakan diri dengan negara barat. Karakteristik sosial orang-orang Jepang yang memiliki kelebihan dalam semangat kelompok dan kemampuan mereka untuk menyerap pengetahuan dan melakukan inovasi, ditambah dengan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai adalah nilai lebih yang dimiliki bangsa Jepang dan membuat negara Jepang tidak hanya menjadi setara namun juga mampu menyaingi negara-negara barat.

Kembali ke Jember, pengundangan KSOTK 2021 dan penyerahan SK Plt 631 pejabat Pemkab Jember kemarin, seharusnya bisa menjadi momentum kebangkitan Jember dalam segala hal. Prosesi tersebut dimata ASN, diakui atau tidak, persis seperti ajang pembagian pampasan perang. Keadilan sosok pemimpin benar-benar akan diuji disitu. Baik dimata pendukungnya, maupun dimata lawan politiknya. Kekeliruan sekecil apapun, akan berpotensi menjadi bara api yang sulit padam ketika terasa adanya ketidak adilan dari sang pemimpin. Sebaliknya, sebesar apapun kesalahan apalagi hanya sekedar kesalahan adminstratif, ketika kebijakan tersebut dipenuhi dengan Rasa Keadilan dari sang pemimpin, maka bahan bakar manapun didunia ini akan kesulitan menghidupkan bara api untuk membakar emosi siapapun.

Wallahu a’lam bishowab.

Oleh : Kustiono Musri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.