Peran Penting Ulama NU Mengawal Kelahiran & Menjaga Keutuhan NKRI

0
627

Oleh Sholahudin

Membaca dokumen teks Pidato KH Hasyim Asy’arie di Muktamar NU ke 11 Tahun 1936 Banjarmasin, membuka wawasan saya tentang sejarah bangsa Indonesia. Begitu besar ternyata peran ulama NU dalam perjalanan bangsa ini yang lepas dari perhatian mayoritas generasi milenial.

Berbekal pengalaman pribadi, dan bertepatan dengan bulan kemerdekaan ini, saya terdorong untuk mengutipkan tulisan tulisan tersebut untuk anda semua. Semoga kutipan ini bermanfaat dan menjadikan kita bisa lebih menghargai jasa-jasa para pahlawan dan pendahulu-pendahulu kita.

Berikut adalah teks pidato KH. Hasyim Asy’ari dalam Muktamar NU ke-11 dalam bahasa arab yang telah diketik ulang dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berisi nasehat-nasehat untuk kaum nahdiyin.

Nasehat ini disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin 1936 dan Muktamar NU ke-15 di Surabaya 1940. Menurut sumbernya, pidato nasehat ini sudah sulit ditemukan walaupun di rak buku kaum nahdliyyin sendiri. Ada yang mengatakan sengaja disimpan tidak diedarkan dan ada yang mengatakan telah dibakar. Untungnya, pidato ini masih disimpan dengan baik oleh KH. Muhammad Jazuli Hanafi, salah seorang santri Hadlrat al-Syaikh di Malang.

Teks asli berbahasa Arab, ditulis ulang dan diterjemahkan oleh Ibnu Hasan Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura.

Terdapat hal yang sangat urgen untuk kita hidupkan kembali dari nasehat KH. Hasyim Asy’ari, yaitu semangatnya dalam membela Islam dan sikap kelembutannya dalam menghadapi perbedaan madzhab.

Nasehat dan Pesan Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dari paling kecilnya makhluk, bahkan dalam hakikatnya bukan apa-apa; Muhammad Hasyim Asy’ari (semoga Allah mengampuninya dan kedua orang tuanya dan semua kaum Muslimin, Amin ) kepada saudara-saudara kami yang terhormat dari masyarakat Jawa dan sekitarnya, baik kalangan ulama maupun awam.

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa barakatuh…

Telah sampai kepada saya, bahwa di kalangan kalian berkobar api fitnah dan pertentangan. Setelah saya fikir penyebabnya adalah apa yang ada dalam masyarakat zaman ini bahwa mereka telah mengganti Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya SAW.

Allah SWT berfirman ”Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudara kalian…”tapi kenyataannya mereka menjadikan saudara-saudaranya sesama mukmin sebagai musuh. Mereka tidak melakukan perdamaian, tetapi justru melakukan kerusakan terhadap saudara-saudara mereka itu.

Rasulullah SAW, bersabda ”Janganlah kalian saling iri hati, benci, bertolak belakang, dan bersaing, tetapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”. Tetapi kenyataannya mereka saling dengki, benci, bertolak belakang, bersaing, dan bermusuhan.

Wahai ulama yang fanatik terhadap sebagian madzhab atau terhadap sebagian pendapat ulama, tinggalkanlah kefanatikan kalian dalam furu’ dalam mana ulama menjadi dua pendapat: satu pendapat mengatakan bahwa setiap mujtahid adalah benar. Pendapat lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu tetapi yang salah tetap diberi pahala. Tinggalkanlah sifat fanatik dan kecintaan yang dapat mencelakakan ini.

Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan al-Qur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah yang sesat. Berjihad terhadap orang semacam ini adalah wajib. Mengapa kalian tidak menyibukkan diri dalam jihad ini.

Wahai kaum Muslimin, di tengah-tengah kalian orang-orang kafir telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapakah dari kalian yang mau bangkit untuk … dan peduli untuk membimbing mereka ke jalan petunjuk?

Maka, wahai para ulama, dalam keadaan seperti ini kalian harus berjihad dan fanatik. Kefanatikan kalian dalam masalah furu’ dan perbuatan kalian menggiring seseorang ke satu madzhab atau satu pendapat ulama maka hal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Dan tidak diridhai oleh Rasul-Nya SAW.

(Sebenarnya) yang mendorong hal itu hanyalah sifat fanatik, nafsu persaingan dan kedengkian. Seandainya as-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Ibnu Hajar, dan Ramli hidup pasti mereka sangat tidak menyukai kalian dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan kalian itu. Apakah akan diingkari perbedaan pendapat di kalangan ulama ? Kalian melihat melihat banyak orang awam yang jumlahnya hanya Allah Yang tahu, tidak melaksanakan shalat yang balasan atas orang yang tidak melaksanakannya al-Syafi’i, Malik, dan Ahmad adalah dipancung lehernya dengan pedang, sedangkan kalian membiarkan mereka. Bahkan jika salah seorang dari kalian melihat banyak dari tetangganya tidak melaksanakan shalat dia diam saja. Kemudian mengapa kalian mengingkari masalah furu’ dalam mana fuqaha’ berbeda pendapat sementara perbuatan yang secara ijma’ diharamkan seperti zina, judi, dan minum minuman keras dibiarkan? Jika demikian kalian tidak punya ghirah untuk Allah. Ghirah kalian hanya untuk al-Syafi’i dan ibn Hajar sehingga hal ini menyebabkan terpecahnya kalian, terputusnya silaturrahim, berkuasanya orang bodoh, dan jatuhnya wibawa kalian di mata orang banyak. Juga hal tersebut dapat menyebabkan orang bodoh berani berkata yang melecehkan kalian.

Wahai para ulama, apabila kalian melihat ada orang yang mengamalkan suatu amalan berdasarkan pendapat seorang imam yang boleh ditaqlidi dari imam mazhab yang mu’tabarah, sekalipun pendapat itu kurang kuat, jika mereka tidak sependapat dengan kalian, maka kalian jangan bersikap kasar terhadap mereka melainkan bimbinglah mereka secara halus. Jika mereka tidak mau mengikuti kalian jangan jadikan mereka sebagai musuh. Jika ini dilakukan maka perumpamaannya sama dengan orang yang membangun sebuah istana dan pada saat yang sama menghancurkan kota. Janganlah perbedaan itu kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan. Ini sungguh merupakan kejahatan umum dan dosa besar yang dapat merobohkan bangunan ummat dan menutup pintu-pintu kebaikan.

Demikianlah, Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari pertentangan dan memperingatkan dari hal-hal yang berakibat buruk dan menyakitkan. Allah berfirman ”…dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian…”

Wahai kaum muslimin, sesungguhnya dalam peristiwa yang terjadi selama ini terdapat banyak pelajaran dan pesan yang dapat diperoleh oleh orang yang berfikir dewasa, lebih banyak dari apa yang dia peroleh dari khutbah dan nasehat para muballigh dan da’i.

Peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya merupakan ujian setiap saat. Maka apakah sudah saatnya mengambil pelajaran dan peringatan? Dan apakah sudah saatnya kita kembali sadar dari kemabukan dan kelalaian kita dan menyadari bahwa kemenangan kita bergantung pada tolong-menolong dan persatuan diantara kita, juga kesucian hati dan ketulusan di antara kita ? Atau kalau tidak, kita akan tetap dalam perpecahan, sikap tidak mau tolong-menolong, kemunafikan, dengki dan iri serta kesesatan yang abadi. Padahal agama kita satu yaitu Islam, mazhab kita satu yaitu Syafi’iyah, daerah kita satu yaitu Jawa, dan kita semua termasuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Maka demi Allah sungguh ini adalah cobaan yang nyata dan kerugian besar.

Wahai kaum muslimin bertakwalah kepada Allah, kembalilah kepada Kitab Tuhan kalian, ber-amal-lah sesuai dengan Sunnah Nabi kalian. Teladanilah orang-orang saleh sebelum kalian, niscaya kalian akan beruntung dan berbahagia seperti mereka. Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian. Dan tolong-menolonglah kalian dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, niscaya Allah melimpahkan Rahmat dan Ihsan-Nya kepada kalian. Janganlah kalian seperti orang-orang (munafik) yang berkata: ”kami mendengar” padahal mereka tidak mendengarkan.

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-11.

Banjarmasin, 19 Rabiul Awwal 1355 H. / 9 Juni 1936 M.


Sumber :

http://gufrondotcom.blogspot.com/2016/08/kh-hasyim-asyarie-pidato-muktamar-nu-ke.html

Dikutip dari laman web http://laduni.id tentang jawaban dari pertanyaan Nama Negara Indonesia, pertanyaan No.192. Nama Negara Kita Indonesia

Pertanyaan nomor 192 :

Apakah nama negara kita menurut syara’ agama Islam?.

Jawab :

Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama negara Islam tetap selamanya.

Keterangan, dari kitab:

  1. Bughyah al-Mustarsyidin [1]

(مَسْأَلَةُ ي) كُلُّ مَحَلٍّ قَدَرَ مُسْلِمٌ سَاكِنٌ بِهِ … فِيْ زَمَنٍ مِنَ اْلأَزْمَانِ يَصِيْرُ دَارَ إِسْلاَمٍ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُهُ فِيْ ذَلِكَ الزَّمَانِ وَمَا بَعْدَهُ وَإِنْ انْقَطَعَ امْتِنَاعُ الْمُسْلِمِيْنَ بِاسْتِيْلاَءِ الْكُفَّارِ عَلَيْهِمْ وَمَنْعِهِمْ مِنْ دُخُوْلِهِ وَإِخْرَاجِهِمْ مِنْهُ وَحِيْنَئِذٍ فَتَسْمِيَّتُهُ دَارَ حَرْبٍ صُوْرَةً لاَ حُكْمًا فَعُلِمَ أَنَّ أَرْضَ بَتَاوِي بَلْ وَغَالِبَ أَرْضِ جَاوَةَ دَارُ إِسْلاَمٍ لِاسْتِيْلاَءِ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهَا قَبْلَ الْكُفَّارِ.

Semua tempat di mana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang syariat Islam berlaku pada pada masa itu dan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah kafir harbi” hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar tanah Jawa adalah “daerah Islam” karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir.

[1] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M), h. 254.

Bunyi hasil keputusan hasil muktamar 1936 adalah sebagai berikut :

“ sesungguhnya Negara kita Indonesia dinamakan Negara Islam karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam, walaupun pernah direbut kaum penjajah kafir (belanda) tetapi nama Negara Islam masih melekat selamanya. Sebagaimana keterangan dari kitab Bughyatul mustarsyidin , setiap kawasan dimana orang muslim mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka kawasan tersebut menjadi dar islam. Yang ditandai dengan berlakunya hukum syariat islam pada masanya. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (belanda), dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika Dalam keadan seperti itu maka dinamakan dar al  harb (Negara musuh). Hanya merupakan bentuk formlnya, tetapi bukan hukumnya (tidak menafikan dar al islam). Maka dengan demikian perlu diketahui bahwa kawasan Batavia, bahkan seluruh tanah jawa (nusantara) adalah dar al islam. Karena pernah dikuasai umat islam sebelum dikuasai oleh orang-orang kafir belanda “

Ahkamul Fuqaha no. 192 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-11

Keputusan Muktamar NU ke 11 di Banjarmasin 1936, memutuskan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan dar al islam, Saat dar al islam dirumuskan saat itu indonesia merupakan Negara jajahan Belanda dan Jepang. Maka dengan semangat dar al islam NU mengobarkan semangat setiap muslim di Indonesia untuk melawan penjajah atau dengan kata lain berjihad melawan penjajah adalah kewajiban.

Namun pemahaman dar islam ala NU berbeda dengan pemahaman dar islam pada umumnya, terutama aliran-aliran yang menginginkan terjadinya dar islam, NU mempunyai pemahaman dar islam dengan sumber yang kuat.

Dar islam menurut aliran-aliran keras, dimaknai dengan Negara islam yang di dalamnya menggunakan alquran dan hadist sebagai dasar konstitusinya, dengan mengusung bentuk negara khilafah.

Dar al islam yang di maksud NU bukanlah demikian adanya, bukan pula rancangan untuk membangun negara teokrasi dan bukan pula Islam secara formal di formulasikan dalam system Negara.

Tapi konteks dar al islam yang di maksud NU adalah terkait wilayah islam (alwilayah ad daaulah).  

Adalah KH. Achmad Shiddiq (1926-1991) menjelaskan maksud dari dar islam dalam muktamar tersebut, beliau menafsirkan  bahwa dar al islam dalam muktamar tersebut bukanlah merujuk pada tatanan politik kenegaraan. Melainkan sepenuhnya merupakan istilah keagamaan, yakni lebih tepat di artikan sebagai wilayat al islamiyyah, Penafsiran ini beliau jelaskan berdasarkan  hasil keputusan dalam muktamar yang didasarkan pada penjelasan Abdurrahman ba’alawi (1371 H/1952 M) dalam memaknai kafir harbi didalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, h. 254.

Hasil Keputusan ini dan dari pidato KH. M. Hasyim asy’ari dalam Muktammar ini bahkan menunjukkan bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, NU telah mengambil sikap tegas bahwa Negara Indonesia merupakan wilayah Islam yang sedang dijajah kolonial. Maka disebabkan Indonesia merupakan wilayah Islam, maka menjadi kewajiban bagi semua muslim di Indonesia untuk berjuang dan melawan penjajah mengusir dari bumi pertiwi.

Selain itu di istilahkan dar al islam berdasar sejarah walisongo dalam meng-islamkan masyarakat jawa. Meskipun Belanda menjajah wilayah nusantara berabad-abad, namun cita rasa Islam di bumi nusantara tetap kuat. Budaya nusantara tetap aktif symbol keagamaan semakin banyak bahkan semakin hari gerakan kiayi dan santri semakin masif.

Pendapat ini diperkuat oleh statemen KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009). Ia mempertanyakan, apakah tanah yang dikuassai Belanda harus dipertahankan dan dibela dari serangan luar? Jawabannya adalah ya, sebab kendati wilayah dikuasai belanda namun melawan serangan luar yang berupaya mengambil bumi pertiwi ini merupakan dar al islam. Sebab dulunya Negara Indonesia ini merupakan kerajan-kerajaan islam yang penduduknya sebagaian besar penganut ajaran islam.

Melalui gerak pikir brilian inilah, maka keputusan muktamar 11 telah berhasil mengusung konsep dar  al islam sebagai kesepakatan kolektif. Tidak sebatas menegakkan symbol-simbol agama untuk kepentingan kelompok atau aliran tertentu.

Bahkan hasil keputusan ini memperkuat dan meneguhkan nilai-nilai agama sebagai spirit perjuangan melawan dan mengusir penjajah sampai Indonesia meraih kemerdekan

Kutipan pernyatan KH. Achmad Shiddiq, beliau menyatakan :

“Pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah dar al islam, sebagaimana keputusan Muktamar NU di Banjarmasin 1936 . Kata dar al islam di situ bukanlah system politik ketatanegaran, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (islam), yang lebih tepatnya wilayah islam, motif utama dirumuskannya pendirian (sikap) itu adalah bahwa di wilayah islam, maka kalau jenazah yang identitasnya tidak jelas non muslim, maka ia harus diperlakukan sebagai muslim. Maka semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan dan sebagainya. Namun demikian NU menolak ikut milisi Hinia Belanda, karena menurut Islam membantu penjajah hukumnya haram “

Semoga kutipan ini bermanfaat bagi kita semua dalam menjalani kehidupan sebagai anak bangsa serta  dapat menambah motivasi dan semangat kita merajut persatuan dalam menjaga keutuhan NKRI.

Wasalam.
Sholahudin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.