Perjuangan Ketua PGRI di Bulan Kemerdekaan RI
Rabu, 12 Agustus 2020
PosXfile Jember – Pemeriksaan Ketua PGRI Supriyono oleh Inspektorat Pemkab Jember atas kritik yang disampaikan melalui akun facebook Selasa (11/8) siang kemarin menjadi sebuah Ironi dibulan Kemerdekaan.
Bulan Agustus yang kita peringati bersama sebagai simbol kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial, seolah tidak bermakna samasekali dimata penguasa Pemerintah Kabupaten Jember (atau jangan-jangan Kerajaan Jember ? ).
Kemerdekaan menjadi sesuatu “kemewahan” yang sulit dimiliki oleh kalangan ASN Jember justru ketika kita semua sedang merayakan bulan Kemerdekaan. Teror dan ancamannya memang tak lagi secara fisik seperti zaman kolonial penjajah Belanda, tetapi ditengah kultur kehidupan pragmatisme yang melanda, ketakutan psikologis terhadap terhambatnya karier sebagai ASN sepertinya jauh lebih menakutkan dibanding kematian itu sendiri.
Sebelumnya, masih segar dalam ingatan kita semua, bagaimana kemudian (semua) wakil-wakil rakyat sebagai penyambung lidah rakyat terbungkam mulutnya meski hanya satu lidah yang dieksekusi. Kriminalisasi menjadi pilihan efektif bagi siapapun penguasa yang tak ingin kekuasaanya terganggu. Tak ada bedanya dengan mindset para petinggi dan kelompok ningrat zaman kolonial.
Kalau merujuk pada sejarah perjalanan bangsa ini, kita harus akui bahwa bangsa ini ada karena perjuangan para pahlawan yang berjuang tanpa pamrih. Bukannya pahlawan yang mengaku-ngaku jadi pahlawan. Kalau saja para pahlawan itu tidak fokus dan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, saya yakin sampai saat ini kita masih akan tetap terjajah oleh bangsa asing.
Saat ini berkembang istilah dan fenomena “Londo ireng”, di mana anak bangsa sendiri ikut-ikutan menjajah anak bangsa lainnya sesama bangsa. Fenomena “Londo ireng” ini sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, yang dikenal dengan nama KNIL atau het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, yang secara harafiah artinya Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Yang menarik, hampir 71% anggotanya adalah Bumiputra – orang Indonesia.
Baru pada tahun 1950, KNIL dibubarkan, berdasarkan keputusan kerajaan Belanda tertanggal 20 Juli 1950. Dan, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00 WIB, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan dibubarkan. Lalu, berdasar hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), mantan tentara KNIL yang saat itu jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000, yang ingin masuk ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian, pada tahun 1970-an, mencapai pangkat Mayor Jenderal TNI. Jumlah orang KNIL dari Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang. (Sumber: wikipedia.org)
Secara logika, tidak mungkin Belanda dengan jumlah penduduknya yang terbatas akan bisa membuat tentara sendiri dan mengawasi negara jajahannya. Makanya mereka perlu orang-orang Bumiputra, atau penduduk jajahan untuk dijadikan tentara. Tentu dengan proses dan metode yang tidak gampang, karena harus berhadapan dengan saudara sebangsanya sendiri. Namun, ternyata hal ini bisa dilakukan. Inilah hebatnya penjajah.
Sebagai bangsa yang merdeka, dilihat dari perspektif manapun, seharusnya tidak satupun anak bangsa yang boleh menjajah anak bangsa lain, karena Kemerdekaan adalah hak bagi segenap bangsa Indonesia yang sudah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945.
Namun realitas lapangan, terkadang masih banyak kita lihat perilaku imperialis dalam berkegiatan, berkarya, dan aktivitas hidup berbangsa dan bernegara. Pilihannya hanya dua, pemenang atau pecundang. Jarang sekali yang memosisikan diri sebagai orang yang dapat berkompromi dengan kekalahan, semua ingin jadi pemenang.
Kalau dalam berkegiatan Anda lebih mengandalkan teman ketimbang usaha sendiri, dan memaksa teman untuk menyelesaikan tanggung jawab yang seharusnya anda juga bertanggung jawab di sana, berarti anda termasuk kategori “Londo ireng”. Karena begitulah sifat “Londo ireng”: memberikan tanggung jawab kepada saudara sendiri dan memanfaatkan teman apakah “terpaksa” atau “ikhlas” untuk menyelesaikannya. Lalu, Anda mengklaim bahwa Anda adalah bagian dari pekerjaan dan tanggung jawab itu. Akan lebih parah kalau mengaku mengerjakannya sendiri, itu lebih biadab lagi.
Sementara itu, kalau dalam proses kegiatan dan tanggung jawab Anda cuek saja, pura-pura tidak tahu, dan kalau sudah ada hasilnya Anda akan memposisikan diri sebagai orang yang paling berkontribusi besar dan berperan luar biasa, malah keluar sederet teori-teori yang menjustifikasi kalau itu adalah usaha Anda, bahwa Anda sudah lakukan sebelum yang lain memikirkannya, hebat! Dan, Anda akan dianggap jadi pahlawan bagi orang yang tidak tahu realitas dan bergaul dengan anda. Anda akan langsung dinobatkan jadi pahlawan di mata orang luar. Ini termasuk kategori “Pahlawan kesiangan” .
Kalau Anda termasuk kategori ini, mungkin tidak hanya manusia yang Anda “jajah” akan marah, tapi Tuhan pun akan marah. Dan jika Tuhan marah, tempat pulang Anda adalah “neraka”. Iiih, ngeri!
Sementara yang ketiga adalah kategori “pahlawan sejati”, dimana dalam berkegiatan tidak ada aksesoris kehidupan duniawi yang dibawa. Lebih fokus mengejewantahkan dan mengejar substansi. Tanpa peduli pada kebutuhan akan pujian dan apresiasi manusia dan apa yang dikerjakan lebih dianggap sebagai nilai ibadah di mata Penciptanya. Apa yang kita jalani dalam pekerjaaan dapat bernilai ibadah di mata Tuhan.
Cuma pertanyaanya, masih adakah tempat bagi orang seperti ini, dimana kini orang lebih sibuk membicarakan yang fisik saja. Tidak percaya dengan yang metafisik. Berapa persen jugakah pimpinan bangsa ini yang lebih punya jiwa pahlawan sejati ketimbang pahlawan kesiangan? Jangan-jangan jiwa “Londo ireng”-nya lebih dominan.
Menyampaikan fakta, data dan kebenaran yang tidak bisa disangkal, adalah salah satu ciri-ciri yang dilakukan oleh seseorang bersifat “pahlawan sejati”. Apa yang ditulis oleh Ketua PGRI Jember dalam akun facebooknya, menurut saya adalah sebuah keberanian yang hanya dimilki oleh orang-orang berjiwa “pahlawan sejati”.
SK pangkat bagi guru selalu diajukan setiap periode
yakni periode april dan periode oktober,
April 2016 , Oktober 2016 ( nihil )
April 2017 , Oktober 2017 ( nihil )
April 2018 , Oktober 2018 ( nihil )
April 2019 ,Oktober 2019 ( nihil )
April 2020 , Oktober 2020 ( ….. )
Lima tahun proses kenaikan pangkat hampir2 nihil , ya kalau besuk ada pembagian SK Guru …ya lumayan dari pada tidak sama sekali
Terlebih dengan kalimat “Saya tergelitik ketika bupati menyatakan sudah tanda tangan seribu SK Kenaikan Pangkat untuk Guru. Dari yang saya pahami, ternyata itu bukan SK Kenaikan Pangkat, tetapi SK Penetapan Angka Kredit (PAK), jelas itu berbeda” . Saya meyakini, kalimat seperti itu tidak akan pernah mampu terucap dari manusia manusia bersifat “KNIL” dan kelompok “londo ireng”.
Selamat Berjuang Pak Supriyono. Indahnya Kemerdekaan hanya akan bisa dirasakan oleh orang-orang yang Merdeka Jiwa dan Raganya. (*)