Memahami Polemik Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Jember
Oleh :
HERMANTO ROHMAN
Peneliti Keuangan Daerah pada Public Finance and Public Affairs Governance
Baru baru ini ada berbagai polemik pernyataan dan opini yang menyikapi pasca gagalnya pembahasan Sidang Paripurna Pengesahan Perda Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2021 Kabupaten Jember. Hal ini disebabkan sidang tersebut hanya dihadiri hanya 28 orang, jumlah ini tak memenuhi persyaratan jumlah kuorum dua pertiga anggota DPRD Jember. Menjadi “menarik” bahwa tidak tercapainya kuorum ini terjadi pada saat sidang sudah injury time deadline waktu yaitu pada Minggu malam tanggal 31 Juli 2021.
Secara ketentuan Pasal 320 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa waktu pembahasan yang diberikan kepada DPRD adalah 1 (satu) bulan sejak diterimanya Ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dari Kepala Daerah, Sedangkan Persetujuan bersama rancangan Perda sebagaimana dimaksud dilakukan paling lambat 7 (tujuh) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dari kepala daerah, DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Masalahnya yang terjadi di kabupaten Jember bahwa proses Rapat paripurna digelar dengan agenda penyampaian nota pengantar Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPP) APBD Tahun Anggaran 2021 oleh Bupati Jember baru dilaksanakan pada Senin 18 Juli 2022.
Jika mengacu pada ketentuan proses ini sangat terlambat sekali dan ini mengharuskan bahwa dimulainya pembahasan Raperda LPP APBD, DPRD hanya mendapatkan ruang waktu kurang dari satu bulan sebagaimana aturan atau lebih tepatnya 13 hari. Padahal dalam kurun waktu 13 hari pembahasan tersebut menurut ketentuan bahwa DPRD idealnya melakukan beberapa hal terkait Raperda LPP APBD yang disampaikan eksekutif.
Pertama yang harus dilakukan adalah DPRD bersama Eksekutif menguji kesesuaian angka-angka dalam rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2021 dan rancangan Perkada tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2021 dengan Perda tentang APBD 2021, serta Perda/Perkada tentang perubahan APBD 2021, dan Perkada tentang penjabaran perubahan APBD 2021.
Proses ini dilakukan dengan mencermati angka-angka dalam rencana pendapatan, belanja dan pembiayaan yang tidak berkesesuaian dengan realisasi pendapatan, belanja dan pembiayaan secara keseluruhan. Proses ini diperlakukan sebagai bagian dari evaluasi agar tidak terjadi penyimpangan dalam implementasi anggaran pada tahun berjalan dan tahun yang akan datang yang tidak sesuai dengan target dan kesepakatan yang dicapai pada saat penetapan APBD 2021 maupun perubahan APBD 2021.
Kedua DPRD melakukan pembahasan Tindak lanjut atas temuan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa. Kenapa pembahasan ini perlu dilakukan?, karena berdasarkan Pasal 320 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pembahasan akan tindak lanjut atas temuan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan ini merupakan bagian dari kewenangan DPRD dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
Secara substansi dalam permendagri tersebut mengatur beberapa hal sebagai berikut diantaranya
- DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan BPK,
- DPRD melakukan pembahasan atas laporan hasil pemeriksaan BPK melalui rapat panitia kerja atas :
- Laporan hasil pemeriksaan keuangan jika didapatkan opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion); opini tidak wajar (adversed opinion); atau pernyataan menolak memberikan Opini (disclaimer of opinion).
- Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pembahasan dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut:
- Pembahasan atas laporan hasil pemeriksaan BPK dilakukan oleh DPRD paling lambat 2(dua) minggu setelah menerima laporan hasil pemeriksaan BPK,
- Pembahasan oleh DPRD diselesaikan dalam waktu paling lambat 1 (satu) minggu,
- Dalam pelaksanaan pembahasan, DPRD dapat melakukan konsultasi dengan BPK dengan meminta BPK untuk Melakukan pemeriksaan lanjutan, dalam hal menemukan aspek-aspek tertentu dan /atau temuan di satuan kerja tertentu yang tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan BPK yang memerlukan pendalaman lebih Lanjut.
Proses tersebut secara momentum dapat dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan pembahasan Perda Pertanggungjawaban APBD 2021. Karena kita ketahui bahwa secara normatifnya bahwa Laporan LHP BPK itu menjadi bagian yang wajib dilampirkan dalam Rancangan Perda LPP APBD.
Proses ini menjadi penting karena berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan mengharus perhatian khusus untuk dibahas dalam rapat panitia kerja, ini akan berbeda jika opini BPK hasilnya adalah Wajar tanpa Pengecualian.
Dengan melihat proses tersebut konteks situasi pembahasan raperda LPP APBD 2021 yang berujung pada tidak adanya persetujuan menjadi Perda LPP APBD 2021 harus dimaknai sebagai proses pengawasan dari DPRD pada Kinerja Eksekutif terutama dalam kinerja pengelolaan keuangan yang muaranya jika DPRD menyetujui atau mengamini adalah dengan ditetapkan menjadi Perda.
Jadi dalam tafsirnya kurang tepat kalau kemudian dimunculkan opini bahwa ini adalah proses DPRD dalam menghambat pembangunan karena situasinya jelas berbeda.
Proses Ini tidak dalam rangka menyetujui angka program pembangunan yang direncanakan oleh eksekutif (rancangan APBD) yang diasumsikan dihambat, namun ini justru adalah situasi untuk menyetujui atau tidak angka yang dipertanggungjawabkan oleh eksekutif pada tahun 2021. Mungkin kita perlu berhusnudzon pada DPRD barangkali ini adalah bagian dari sikap politik DPRD atas kontrol kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintahan daerah Kabupaten Jember 2021.
Bentuk sikap politiknya adalah bisa ditafsirkan tidak mau melegitimasi kebenaran angka dari kinerja keuangan yang dipertanggungjawabkan. Kelemahan rezim aturan saat ini Pertanggungjawaban APBD kesannya sangat administratif dan tidak mewadahi sikap sikap politik tersebut.
Barangkali ini bagian upaya menunjukkan sikap politik “santun” DPRD karena sejatinya tidak mau menyampaikan secara terbuka menolak Raperda LPP APBD 2021 dalam paripurna, namun dengan membiarkan Raperda tersebut diserahkan pada nurani masing masing anggota DPRD yang kemudian berujung tidak kuorum disahkan arena waktunya juga diujung injury time. Mungkin Ini akan berbeda jika waktunya tidak akan mepet maka ada upaya upaya perbaikan yang bisa dilakukan dan ada upaya upaya politik yang bisa dijalankan.
Jadi sejatinya ini tidak perlu lebay menyikapinya, karena baik Perda dan Perkada, keduanya sah secara hukum. Bedaya kalau Perda bahwa DPRD mengamini pertanggungjawaban APBD 2021 Eksekutif, sedangkan kalau Perkada, DPRD tidak ikut mengamini pertanggungjawaban tersebut.