Konstruksi Media Komunikasi Pesantren

0
254

Konstruksi Media Komunikasi Pesantren
Oleh:
Dr. Kun Wazis, M.I.Kom*)

Perbincangan mengenai media komunikasi pesantren terus menjadi perhatian publik. Pertama, jumlah pondok pesantren di Indonesia yang mencapai 34.632 buah, 4.766.394 santri, 385.941 pengajar dan tenaga kependidikan (Data Kementerian Agama RI, 2019) sebagian  besar memiliki media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan/ informasi secara massif di ruang publik. Kedua, pesantren memiliki karakteristik dalam mengelola media komunikasinya sesuai dengan visi dan misi pesantren sehingga melahirkan ragam wacana yang “menguasai” ruang publik, baik media cetak, media elektronik, maupun media online. Ketiga, produk media komunikasi pesantren mampu melahirkan ragam jurnalisme baru, yakni jurnalisme pesantren, yakni sebuah laporan jurnalistik bergaya “khas” pesantren.

Untuk yang terakhir, fenomena jurnalisme pesantren sudah dimulai pesantren-pesantren “sepuh” jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebut saja, misalnya di pesantren Sidogiri Pasuruan yang berdiri tahun 1745 M  memiliki lembaga jurnalistik yang disebut Badan Pers Pesantren (BPP), pondok Tremas Pacitan yang berdiri tahun 1830 juga mengembangkan media online pondoktremas.com, dan sebagainya. Pengembangan media komunikasi pesantren, khususnya media online kini berkembang dengan sangat pesat.

Dalam Workshop Pendampingan Peningkatan Mutu Jurnalistik Media Pesantren sebagai bentuk Program Pengabdian Masyarakat Berbasis Program Studi S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember) pada Sabtu, 13 November 2021 lalu,  terungkap bahwa Pondok Pesantren Ash-Shiddiq Puteri (Ashri) Jember yang berdiri tahun 1931  juga sudah mengembangkan jurnalisme pesantren. Pengasuh Ponpes Ashri Jember, KH. MA. Syaiful Ridjal AS(Gus Syaif), mengisahkan bahwa KH Abdul Chalim Shiddiq yang mendirikan Ponpes Ashri Jember saat itu menjadikan media komunikasi radio sebagai saluran (channel) komunikasi publik dalam menyampaikan dakwahnya. Tujuannya, agar dakwah Islam rahmatan lil alamin yang lebih banyak menyentuh kalangan. Radio dengan gelombang AM itu didirikan sebelum pecahnya Gerakan 30 September 1965 dan dirasakan memiliki pengaruh yang kuat saat itu.

Kini, spirit KH. Abdul Chalim Shiddiq itu  dilanjutkan oleh puteranya, Gus Syaif dengan menampilkan media online xposfile.com (https://www.xposfile.com/sekilas-xposfile/) yang diterbitkan dibawah naungan PT. Ashria sebagai media komunikasi “khas” pesantren. Tagline yang diusung adalah “Warta Kebenaran” sebagai visi utama dengan memfokuskan pada berita politik pemerintahan, keagamaan, pendidikan, pariwisata, sejarah budaya, peluang usaha, hobi dan sebagainya.  Selain itu, legenda radio “komunitas” pesantren Ashri juga dikembangkan melalui Radio ASHRIA  106,1 FM sebagai  media komunikasi pesantren.

Karakteristik Media Komunikasi Pesantren

Berdasarkan hasil diskusi selama kegiatan pengabdian masyarakat itu berlangsung, media komunikasi pesantren memiliki karakteristik yang “khas” dibandingkan dengan produk jurnalistik pada umumnya. Pertama, prinsip kebenaran. Sebagai media dakwah, produk jurnalistik pesantren memegang prinsip kebenaran dalam pemberitaan.  “Prinsip media itu harus menyuarakan kebenaran, sesuai dengan fakta dan data. Bukan hoax,” tegas Gus Syaif dalam pengantar workshop di depan peserta.

Kebenaran jurnalistik pesantren ini diperoleh melalui sumber informasi yang layak dipertanggungjawabkan. Misalnya, ketika memberitakan mengenai kasus yang terjadi di pemerintahan Kabupaten Jember, Xposfile.com meyakini sumber dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebagai informan yang layak di percaya karena lembaga resmi negara. Untuk itu, menurut  pemimpin redaksi Xposfile Kustiono Musri, satu sumber sudah bisa mewakili realitas yang ditampilkan di media online. “Kapasitas sumber dari BPK kami anggap layak mewakili, sehingga bisa langsung kita ekspos di Xposfile,” katanya sebagaimana juga diberitakan dalam media xposfile.com (https://www.xposfile.com/media-pesantren-harus-memberitakan-kebenaran/).

Kedua, prinsip bahasa lugas. Berita yang dikonstruksi media pesantren xposfile tidak bertele-tele, ringkas, padat, dan mudah dipahami. Karena menyajikan fakta yang diyakini oleh redaksi sebagai kebenaran, maka bahasa yang digunakan apa adanya. Yang terpenting, publik dapat memahami maksud tulisan/ berita tersebut.  Dalam rangka mendukung narasi teks ini pula, Kustiono Musri juga menggunakan platform Youtube untuk mengekpos suatu kegiatan yang digelar oleh Xposfile. Diantaranya, kegiatan workshop peningkatan mutu jurnalistik pesantren itu bisa dengan mudah diakses melalui kanal Youtube Perserikatan Wartawan Jember (PWJ) Asyik Jember (https://www.youtube.com/watch?v=N0IV6CQ8K-w) sehingga dapat diketahui secara utuh peristiwa/ kejadian yang diunggah.  Untuk mendapatkan kualitas gambar dan suara yang berkelas agar tidak kalah dengan yang lain, Tim media Ashri Jember juga menyiapkan perangkat yang memadai dan mampu menghasilkan kualitas audiovisual yang layak.

Membangun Kredibilitas Jurnalisme Pesantren

Beberapa rekomendasi dalam Peningkatan Mutu Jurnalistik Pesantren dalam Program Pengabdian Masyarakat Berbasis Program Studi S2 KPI Pascasarjana UIN KHAS Jember itu dapat ditindaklanjuti untuk pengembangan media komunikasi Xposfile.com di masa mendatang. Pertama, kebenaran jurnalistik pesantren sebaiknya  diimbangi dengan kelengkapan sumber berita sehingga dapat memenuhi harapan publik dalam mendapatkan informasi yang seimbang (cover both side). Dalam hal ini, suatu peristiwa perlu diverifikasi ketat sebelum di-upload ke ruang media siber. Hal ini sejalan dengan prinsip jurnalistik Islam agar mengedepankan tabayyun (cek dan ricek) sebelum peristiwa diberitakan.

Kedua, karakteristik bahasa jurnalistik pesantren perlu dipertahankan sebagai identitas dan corak yang khas, dibandingkan dengan media umum lainnya. Dalam hal ini,  para jurnalisnya perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai pesantren dan berbagai pandangan pesantren dalam menangani problematika kehidupan masyarakat. Disinilah perlu mengembangkan kompetensi para jurnalisnya agar semakin mahir dalam mencari berita (hunting news) dan menuliskan (writing news) peristiwa yang menarik.  Memburu berita berarti terkait news value (nilai berita) yang menarik perhatian publik, yakni pilihan suatu peristiwa/ kejadian yang  unik, baru, dramatik, aktual, magnitude, proximity, kontroversi, eksklusif, tokoh, dan mission (informatif, edukatif, kontrol sosial, hiburan, dan bisnis).

Ketiga, memperkaya rubrikasi untuk khalayak.  Pembaca, pendengar, pemerhati, dan konsumen adalah kekuatan media. Inilah segmentasi pasar dalam konteks komunikasi bisnis. Selain berita yang beragam dengan fokus pada isu-isu kontemporer yang terkait dengan dunia pesantren, redaksi media pesantren perlu memperkaya rubrikasi agar banyak pilihan khalayak dalam mencari informasi. Sebenarnya, segmen pasar media pesantren sudah ada, yakni jaringan kiai, ustad, santri, alumni, dan wali santri yang tersebar di  berbagai daerah yang beragam latar belakang. Dengan warna rubrikasi yang beragam, khalayak/ audien/ komunikan/ konsumen. Jika dikaitkan dengan Teori Uses & Gratification, maka audien/ khalayak/ konsumen  akan memiliki banyak pilihan yang sesuai dengan seleranya.

Keempat, meningkatkan manajemen redaksi media pesantren dalam hal mengelola karyawan secara profesional dan penuh amanah. Contoh BPP yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Sidogri dapat menjadi cermin bahwa pesantren dapat mengelola medianya secara profesional dan  tidak ketinggalan. Setidaknya, pelibatan pihak luar dalam pemberdayaan jurnalis “santri” pesantren merupakan salah satu langkah kolaboratif yang inovatif, selain menegaskan bahwa pesantren terbuka terhadap hal-hal baru yang lebih baik tanpa harus mengurangi prinsip tradisi pesantren yang religius (al al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yakni memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Dalam hal ini, kehadiran Prodi S2 KPI Pascasarjana UIN KHAS Jember  yang profil lulusannya menjadi  akademisi, praktisi, dan konsultan dapat bersinergi dengan institusi media pesantren, termasuk pengembangan media Ponpes Ashri dan ponpes lainnya di Indonesia. Kolaborasi antara institusi akademik dengan lembaga pendidikan pesantren sejatinya suatu perjumpaan yang niscaya terjadi jika dilihat dari perspektif komunikasi.   Sebab, dalam konteks komunikasi, konstruksi atas realitas tidaklah bermakna tunggal (monoperspektif), seringkali multiperspektif/ multimakna, terlebih yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan.   “Ilmu” komunikasi dan “ilmu” pesantren  dapat berjumpa sehingga menjadi ragam kajian baru berupa komunikasi pesantren, sebagaimana perjumpaan komunikasi dan Islam, melahirkan “perspektif” baru, yakni Komunikasi  Islam.  Barakallah!

*) Dr. Kun Wazis, M.I.Kom, Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Pascasarjana UIN KHAS Jember, Anggota Ombudsman Jawa Pos Radar Jember.   

Sumber data: https://radarjember.jawapos.com/pendidikan/pascasarjana_iain/18/11/2021/konstruksi-media-komunikasi-pesantren/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.