Kiayi Halim Shiddiq dan Hari Santri
Oleh : Kustiono Musri
Sejak ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo di Masjid Istiqlal Jakarta pada tahun 2015 lalu, maka disetiap tanggal 22 Oktober masyarakat Indonesia selalu memperingati Hari Santri Nasional dengan berbagai versi dan kemasannya.
Penetapan Hari Santri Nasional tersebut, sebenarnya dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri saat merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama. Kebijakan itu sekaligus sebagai bentuk pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI
Pemilihan tanggalnya, merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan Belanda yang membonceng kedatangan tentara Sekutu dan ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Seruan itu dikumandangkan oleh Pahlawan Nasional KH. Hasjim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Bagi generasi sekarang, Hari Santri Nasional (HSN) ini bisa menjadi moment penting untuk merevisi beberapa catatan sejarah nasional, terutama yang ditulis pada masa Orde Baru, yang sangat minim menyebut betapa heroik sebenarnya peran ulama dan kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan kala itu.
Berbicara tentang perjuangan KH.Hasyim Asy’ari melalui seruan jihadnya kepada ummat muslim kala itu, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan dua putra Kyai Shiddiq (Mbah Yai Shiddiq) Talangsari. Begitu jelas benang merah garis perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dengan kedua putra Mbah Yai Shiddiq yakni KH.Mahfudz Shiddiq (1907-1944) dan KH Halim Shiddiq (1912-1970).
KH.Moh Shiddiq alias mbah Yai Shiddiq (1854-1934) yang jasadnya dimakamkan di turbah Condro, adalah orang tua dari empat putra terbaik bangsa, KH.Mahfudz Shiddiq (1907-1944), KH Halim Shiddiq (1912-1970), KH.Abdullah Shiddiq dan KH.Ahmad Siddiq (1926-1991).
Kiai Mahfudz sebagai putra pertama berkiprah membantu KH.Hasyim Asy’ari membesarkan NU di periode awal sebagai Ketua PBNU. Beliau wafat tahun 1944, setahun sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya.
Putra kedua yakni Kiai Halim berjuang sebagai Ketua Umum Masyumi Karesidenan Besuki, Instruktur Militer Hisbullah dan Batalyon Mujahidin.
Lahire anak-anakku
Atas kersane walidi almarhum KH Mohammad Shiddiq atau walidine atau orangtua yang saya cintai rohimallah, aku Abdul Halim Shiddiq, lahir dino kemis kliwon tahun wau, 4 jumadil akhir 1331 Hijriah atau 20 Mei 1912 M
Kawin karo Mujayyanah atas kekarepanku dewe.
Aku kawin karo Trence kang saiki jenenge Najmul Laili
Nduwe anak karo karone, koyo ning nisor iki
Sedang Kiai Abdullah, selain berjuang fisik sebagai Komandan Batalyon Mujahidin melawan Agresi Militer Belanda bersama kakaknya Kiai Halim dan terakhir berkiprah sebagai Ketua PWNU Jatim.
Dan yang terakhir, putra bungsu, Kiai Ahmad (1926-1991) sebagai Rais Aam PBNU. Bersama Kyai As’ad Situbondo dan Gus Dur, beliau adalah pelopor diterimanya Asas Tunggal Pancasila oleh NU.
KIAI HALIM. ULAMA, TOKOH PERJUANGAN DAN PERGERAKAN
Salah satu fakta sejarah tentang Kiai Halim yang tak banyak terungkap di publik, bagaimana pemerintah Belanda saat itu sampai menugaskan khusus kepada Charles Olke Van Der Plas, wakil pemerintah Belanda di Jawa Timur, untuk turun langsung menangkap KH.Halim Shiddiq dalam pelariannya di daerah Blitar dan Kediri.
Peristiwa pelarian Kiai Halim yang terjadi tepat sehari sehari setelah meletusnya Agresi Militer Belanda I tersebut (21 Juli 1947), jelas menunjukkan posisi strategisnya Kiai Halim sebagai Ketua Umum Masyumi Karesidenan Besuki di mata pemerintah Belanda.
Seperti pada umumnya di setiap perjuangan, selain diwarnai dengan kisah kepahlawanan, selalu diwarnai juga dengan cerita tentang penghianatan.Tetapi, sampai berakhir pengaruh Belanda di Indonesia, tak pernah sekalipun pasukan Belanda mampu menangkap Kiai Halim. Faktanya, skenario Belanda tentang negara Federal (RIS), Negara Jawa Timur menjadi provinsi terakhir yang bisa dibentuk sebagai negara boneka Belanda melalui konferensi yang dilaksanakan di Bondowoso 16 November – 3 Desember 1948 dengan mengangkat RTP Achmad Kusumonegoro sebagai wali negara.
Orang tua dari KH.Saiful Ridjal alias Gus Saif ini adalah kakak kandung sekaligus pengganti orang tua (pengasuh) masa kecil KH Ahmad Shiddiq yang kemudian menjadi Rais Aam PBNU periode 1984-1991. Abahnya, Mbah Shiddiq wafat tahun 1934 saat kedua adiknya, Kiai Abdullah 10 tahun dan Kiai Ahmad masih berusia sekitar 8 tahunan. Dialah KH Abdul Halim Shiddiq, sosok Kiai dibalik pembentukan Gerakan Pemuda Ansor dan Muslimat NU di Jember. Beliau mensponsori kelahiran dua badan otonom NU tersebut seolah tanpa jejak.
Semasa hidupnya, selain dikenal ahli strategi militer, Kiai Halim dikenal sebagai ulama yang pandai berorganisasi dan pencetak muballigh. Ketika itu, kekuasaan Belanda masih kuat mencengkram negeri ini, Kiai Halim mengadakan perlawanan dengan melakukan kaderisasi pemuda dan calon muballigh. Ia lalu mendirikan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) guna mewadahi kumpulan pemuda tersebut. Dan ternyata cukup banyak mubaligh yang tercetak dari PPI. Dari lembaga inilah yang ternyata kemudian menjadi embrio Ansor di Kabupaten Jember.
ULAMA PEDULI PEREMPUAN, TOKOH PENDIDIKAN DAN PELOPOR PESANTREN PUTRI
Tidak hanya itu, Kiai Halim juga menaruh perhatian terhadap pendidikan kaum perempuan dengan mendirikan Pondok Pesantren khusus Putri Pertama di Indonesia, Pondok Pesantren Islam Asshidiqi Putri (PPI ASHRI). Sebuah langkah visioner dari sosok putra Mbah Shiddiq yang lama mengenyam pendidikan di Mekkah Arab Saudi.
Sebelumnya, pesantren Kiai Shiddiq abahnya, hanya menerima santri laki-laki, namun berikutnya, 3 tahun sebelum wafatnya Kiai Shiddiq (1934), Kiai Halim mulai menerima santri putri pada sekitar tahun 1931. Awalnya masih satu lokasi kompleks dengan pesantren putra (depan Lapangan Talangsari sekarang), baru sekitar tahun 1960-an Kiai Halim membangun pesantren Khusus Putri di lokasi berjarak kurang-lebih 500 an meter keselatan (depan pabrik Es sekarang). Sejak itulah kemudian muncul dua nama pondok pesantren Ashtra di sebelah utara dan Ashri di sebelah selatan jalan KH.Shiddiq Talangsari seperti sekarang.
Saat menempati lokasi baru, santriwatinya bukan hanya dari Jember, tetapi banyak didatangi santriwati dari Nusa Tenggara, Bali, Kalimantan, Sumatra bahkan banyak juga yang dari Malaysia. Usia santriwatinya pun rata rata juga sudah remaja yang siap menjadi kader-kader perjuangan nya. Ini membuktikan, sebelum mendirikan PPI ASHRI, nama besar dan jaringannya sudah luas ke seantero negeri.
Yang tak kalah menarik, selain istrinya Nyi Hayat Muzayyanah, Kiai Halim juga memperistri seorang wanita berdarah Belanda. Sayangnya, tak banyak informasi tentang bagaimana kisah Kiai Halim bisa mempersunting gadis Belanda, dari bangsa penjajah yang menjadi musuh perjuangannya.
Di buku hariannya, Kiai Halim mencatat secara detail tentang kedua istrinya dalam moment bersama putra pertamanya masing-masing.
Ia juga serius menggarap potensi kaum perempuan dengan membentuk “Hidayatus Syarafil Muslimat wal Banat”. Artinya, pelindung kemuliaan wanita Islam. Dalam waktu yang tak terlalu lama, organisasi ini berubah namanya menjadi “Islahul Muslimat” di bawah binaan Ustadzah Solihah dan istri Kiai Halim, Nyi Hayat Muzayyanah. Belakangan, Islahul Muslimat berganti nama lagi menjadi Muslimat NU.
ULAMA & TOKOH MEDIA
Sebagai mubaligh, Pendiri pesantren ASHRI Talangsari Jember ini banyak disukai karena sifatnya yang merakyat. Ia menggunakan sepeda onthel untuk menghadiri undangan tabligh, bahkan saat sudah memiliki mobil sekalipun, ia masih kerap kali keliling tabligh dengan sepeda onthelnya. Dengan mobil jeep Willys nya, ia selalu membawa perlengkapan dengan lengkap termasuk corongan (speaker) untuk melayani jamaahnya sampai di pelosok desa. Tak hanya di Jember, bahkan sampai Bondowoso dan Lumajang.
Sisi lain sifat visionernya, selain melakukan tabligh di “darat”, agar dakwahnya bisa terdengar luas, ia juga menggelar tabligh di udara melalui radio amatir yang sengaja didirikannya selain sebagai sarana dakwah, juga sebagai sarana perjuangan, Radio Amatir ASHRIA (sejak tahun 2017an Radio Ashria dihidupkan kembali oleh Gus Didin, cucu Kiai Halim, dan sampai sekarang menjadi Radio Ashria FM).
Kiai Halim dikenal sebagai sosok pemberani bahkan terkesan keras dan teguh pendiriannya. Untuk urusan fiqh, ia sangat disiplin dan konsisten. Contohnya, saat itu ia mendapati orang berjualan “dedeh” (penganan terbuat dari darah ayam yang dibekukan). Kiai yang lahir pada 20 Mei 1912 dan wafat 23 Maret 1970 ini kemudian menyampaikan hukum haramnya mengkonsumsi dedeh saat pengajian di radio ASHRIA.
Tak cukup lewat radio, ia juga mendesak Bupati Jember Soedjarwo bertanggung jawab sebagai pemimpin. Sang bupati pun merespon dengan cepat, dengan melakukan razia di pasar dan membuat aturan larangan menjual makanan haram tersebut.
Maka tak berlebihan kiranya ketika dalam buku terbitan Lisantara Tahun 2007 buah tulisan Abdul Rohman dengan judul Guru Ngaji, Masyarakat dan Pemimpin Yang Baik halaman 305, tertulis teks sebagai berikut ;
Kiai Halim adalah ulama yang juga merupakan tokoh dakwah, tokoh pendidikan, tokoh pergerakan, tokoh pembaharu, tokoh perjuangan melawan Belanda dan ahli strategi militer sekaligus.
“Ilmunya luas ibarat lautan tak berpantai”, tutur Kiai Achmad Mursid.
Gus Robet, putra Kiai Chamim Djazuli menuturkan bahwa suatu ketika Kiai Chamim Djazuli mengungkapkan jika Kiai Abdul Chalim merupakan seorang Waliulloh dan diangkat pada derajad itu seminggu sebelum wafatnya.
“Kiai cekeremes ngono kok tiba’e wali” ungkap Kiai Chamim Djazuli (Gus Miek) tentang sosok Kiai Abdul Chalim.
Ditulis ulang dari berbagai sumber oleh Kustiono Musri dan telah mendapatkan persetujuan dari putra Kiai Halim yakni Pengasuh PPI Ashri sekarang, KH. M.Ayyub Saiful Ridjal alias Gus Saif.