Halo DPRD, Ada Apa Kalian dengan Bupati ?
Oleh : Muhammad Jaddin Wajad
Apapun namanya. BOKIR, POKIR, PECAH PROYEK SETWAN DPRD, FASILITAS ANGGOTA DPRD, HAK KEUANGAN DPRD, ternyata semua yang berbau “kebaikan” bupati kepada DPRD nyata-nyata telah membuat fungsi pengawasan DPRD menjadi mandul. Mereka tiba-tiba berubah menjadi tuna rungu, tuna netra dan bahkan tuna wicara.
Di depan mata anggota dewan, pembahasan APBD 2021 dengan berbagai macam kamuflase, mulai percepatan, darurat APBD, penataan birokrasi dan seterusnya, bupati diduga telah melakukan pelanggaran fatal. Dengan dalih pengundangan PERBUP KSOTK pada 8 maret 2021 telah melalui proses fasilitasi oleh Pemerintah Provinsi, maka ketika bupati melakukan pergantian 631 pejabat pada 9 maret 2021, DPRD benar-benar memposisikan dirinya sebagai mitra yang tuna netra, tuna rungu dan tuna wicara.
Pada 9 maret 2021, bupati menyatakan 631 pejabat di Plt kan. Dan prakteknya, mereka semua telah dicabut dari posisi jabatan definitifnya sesuai Surat Keputusan yang sah. Ironisnya, pencabutan itu dilakukan hanya dengan menerbitkan Surat Tugas. Bukan dengan Surat Keputusan ( SK). Bahkan puncaknya, bupati berstatemen Mirfano diangkat sebagai PJ Sekda, sebuah posisi yang lebih luas kewenangannya dari sekedar Plt. Namun DPRD tak bersuara sama sekali.
Padahal masih segar dalam ingatan publik sepanjang 2019-2020, selama dua tahun penuh publik Jember selalu disuguhi kegaduhan akibat hubungan yang buruk antara DPRD dengan Bupati Faida karena adanya dugaan pelanggaran merit sistem, pelanggaran mutasi, pelanggaran penunjukkan Plt pejabat, dan banyak pelanggaran lain. Sehingga kemudian DPRD dengan gagah berani, lalu tampil menunjukkan taring fungsi pengawasannya dengan menggunakan 3 hak perkasanya, mulai Hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat yang berujung pemecatan Faida sebagai Bupati Jember. Bahkan gubernur pun merekomendasikan pemberhentian Faida sebagai bupati atas pelanggarannya..
Setelah berganti bupati ke Hendy Siswanto, hubungan antara DPRD dengan Eksekutif/Bupati terlihat mesra. Pembahasan APBD 2021 bisa berlangsung cepat dan mulus tanpa perdebatan berarti. Padahal sebenarnya, saat itu Kabupaten Jember sedang dibayangi oleh persoalan yang jauh lebih pelik, dan lebih complicated dibanding sebelumnya karena dugaan pelanggaran berbagai peraturan dan perundangan mulai UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU Perbendaharaan Negara, UU Administrasi Pemerintahan dan UU Kepegawaian.
Terhadap satu kebijakan Bupati Hendy Siswanto yang diduga melanggar banyak aturan dan perundangan tersebut, DPRD tidak lagi menjalankan fungsi pengawasan secara optimal seperti sebelumnya. Mereka terlihat sedang membutakan diri, menulikan diri, dan membisukan diri. Mereka diam tak bergerak seperti terkena “stroke”
Ditengah serangan badai “bupati lagi baik-baiknya kepada dewan”, maka persetan dengan pelanggaran UU, persetan dengan suara-suara dan kasak kusuk dugaan terjadinya pelanggaran luar biasa yang dilakukan bupati baru. Alih-alih mengingatkan bupati, bahkan kata-kata bijak, kata indah sering dilontarkan oleh DPRD demi menutupi dugaan pelanggaran yang sebenarnya lebih dahsyat bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Apakah itu ?
Akibat kebijakan bupati mengundangkan KSOTK 8 maret 2021 dan diikuti dengan pergantian lebih dari 631 pejabat termasuk Sekda yang berstatus PJ (penjabat) Sekda pada tanggal 9 maret 2021, maka sebenarnya semua penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Jember telah mengalami kemandegan, mengapa ?
Pengangkatan Mirfano sebagai penjabat sekda pada 9 maret 2021 jelas telah melanggar Perpres 3 tahun 2018, sehingga patut diduga statusnya tidak sah. Dan ketika dikukuhkan pada tanggal 16 juli 2021 atas persetujuan Mendagri tanggal 21 Juni 2021, maka juga diduga tidak sah karena persetujuan Mendagri didasarkan pada Berita Acara Tim Penilai Kinerja PNS yang ditandatangani 5 orang pejabat dengan status Plt sehingga tidak berwenang menjalankan kewenangan yang mengubah status hukum PNS.
Ini mengingatkan kita semua terhadap Surat Mendagri tanggal 1 September 2020 dan 1 Oktober 2020 terkait klarifikasi atas kebijakan Bupati Faida yang membawa-bawa nama Kemendagri padahal kebijakannya belum mendapat persetujuan Mendagri.
Apakah kasus seperti ini tidak terjadi di era sekarang ? Apalagi ketika Berita Acara Tim Penilai Kinerja PNS yang disodorkan Bupati Hendy sebagai dasar permohonan persetujuan Mendagri untuk pengukuhan 7 PPT mengandung aroma ketiadaan kewenangan para penandatanganan akibat dari kebijakan Bupati mencabut kewenangan jabatan definitifnya dan memberikan status Pj sekda Plt lebih dr 631 pejabat lainya.
Dugaan kesalahan-kesalahan tersebut sebenarnya bisa segera diperbaiki manakala fungsi pengawasan DPRD benar-benar dijalankan. Ada kesan kuat, seolah-olah DPRD sengaja tidak menjalankan fungsinya. Ini terbukti saat Fraksi PDIP mengingatkan tentang potensi pelanggaran yang terjadi, namun suara PDIP sama sekali tidak ada yang merespon. Aspirasi yang disuarakan oleh PDIP, faktanya diabaikan oleh fraksi lainya.
Akibatnya sudah bisa dibayangkan. Munculnya pertanyaan publik tentang keberadaan dan fungsi DPRD seperti yang terlihat di masa bupati sebelumnya. Semua sudah mafhum, saat itu DPRD enggan membahas RAPBD 2020 dan 2021 sebelum Bupati mau menjalankan rekomendasi Mendagri untuk memperbaiki kesalahan atas pelanggaran yang dilakukan.
Bagaimana dengan sekarang ?
Apakah Perda APBD 2021 bisa dinilai sah ketika diproses oleh pejabat yang tidak sah ?
Bolehkah APBD dilaksanakan oleh PA, PPTK, PPK yang hanya berstatus Plt ?
Apakah pencairan APBD bisa dilaksanakan oleh PPKD berstatus Plt disaat pejabat definitifnya masih ada ?
Apakah bisa dilaksanakan perikatan kontrak dengan pihak ketiga/rekanan oleh pejabat yang tidak sah ?
Terlalu banyak pertanyaan yang butuh jawaban kepastian hukum terhadap carut marut penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Jember sekarang ini…
Apalagi efek dari salah kebijakan tersebut mulai menyeruak ke ruang publik, ternyata akibat dari mandulnya fungsi pengawasan dan operasionalisasi APBD oleh pejabat yang tidak sah, memunculkan kebijakan pecah proyek dengan pengaturan perencanaan yang seragam di proyek-proyek rehab pendopo, kantor PKK, Pemda, gedung DPRD, wisda, wisma mahasiswa yogyakarta dst.
Jadi ingat keseragaman perencanaan pembangunan RTH, Kantor Kecamatan, gedung Puskesmas oleh kawan karib Bupati Faida bernama Dodik pada era sebelumnya.
Juga tentang kebijakan multiyears yang diduga tidak memenuhi syarat formil dan materiil. Apakah sudah sesuai RPJMD, sesuai KUA PPAS, sesuai RKPD. Apakah prosesnya telah memenuhi proses dan syarat multiyears dan seterusnya.
Hallooo DPRD Jember …….
Kemana saja kalian ? Kok tidak melaksanakan fungsi pengawasan seperti kemarin ? Sibuk hitung-hitungan komisi proyek pokir kah ? Atau ada kesibukan mengawal proyek multiyears ?
Sebegai contoh aktual. Yaitu tentang anggaran pembangunan sarpras lapangan golf glantangan yang merupakan aset PTPN. Angggaran 5M masuk klasifikasi belanja modal, sehingga hasil bangunanya merupakan Aset Pemda. Maka ketika objeknya berada diatas tanah aset pihak lain harus jelas statusnya sebelum dianggarkan, kok yo bisa lolos KUA PPAS nya tanpa ada dasar hukumnya ?
Hwaduh, DPRD bener-bener sedang menjadi tuna rungu, tuna netra dan tuna wicara. Gak terlihat fungsi pengawasannya wes. Sungguh terasa aroma transaksional dalam pembahasan, penetapan, pengundangan dan pelaksanaan APBD.
Apakah ini berarti benih-benih cinta mulai bersemi kembali setelah sekian purnama berpisah ? Ada apa kalian dengan DPRD dan Bupati ?