Cerita Bersambung Bagian 1

Sebuah Buku Novel setebal 376 halaman terbitan Khadijah Publisher yang akan terbit 18 Maret 2021 nanti, karya seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak dengan judul “ALFU LAILA” (Seribu Malam), mulai unggahan perdana ini khusus kami persembahkan kepada pembaca xposfile sebagai upaya untuk lebih mengenalkan kehidupan santriwati dipesantren.

Di unggahan perdana ini, kami akan sajikan satu Bab dengan judul “Panggil Aku Roya”, dan berikutnya akan kami sajikan bab demi bab sebagai sebuah Cerita Bersambung. Pembaca yang berminat untuk memesan buku Novel ini bisa menghubungi sang penulis di No. WA 0852-3622-6689

Tulisan ini berdasarkan kisah nyata perjalanan seorang gadis tomboy dengan segala keunikan dan kekonyolannya dimata penulis saat menjalani kehidupannya sebagai santriwati di pesantren ASHRI (Asshidiqi Puteri ) Talangsari Jember yang saat ini diasuh oleh KH M.Ayyub Saiful Ridjal Bin Abdul Chalim Shiddiq atau yang lebih suka dipanggil Gus Saif saja.

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Ash-Shiddiqi Putri / ASHRI  Talangsari-Jember bernama Athiyah Karim, yang lahir di Pasuruan, 16 Januari 1987, Tinggal di desa Tanggul Wetan, Kec. Tanggul, Kab. Jember.

Tulisan pena Ibu rumah tangga dengan tiga orang anak ini tak hanya “Alfu Laila” yang diunggah di xposfile kalli ini, tetapi sudah ada beberapa karya tulisannya yang telah diterbitkan penerbit besar, diantaranya “ Hikmah Bersyukur “ dalam buku  antologi bersama, “ The Power Of  Beliefe “ terbitan Divapress group, dan beberapa antologi cerpen serta antologi puisi lainnya.

Novel solo pertamanya berjudul “ Sejatinya Cinta”, Alhamdulillah mendapat sambutan yang luar biasa dari para pembaca. Selain menulis, ia juga hobby membaca serta menyenandungkan sholawat. Penulis novel “Surat Kaleng Gus Daqiqi” ini bisa disapa di akun pribadinya di media sosial . Facebook : athiyah karim, Instagram : athieyahkariem3.

Selamat menikmati.

PANGGIL AKU ROYA

Namanya Tsuroyya biasa dipanggil Roya. Sejak kecil ia memiliki perangai beda. Si gadis tomboy. Sejak duduk dibangku sekolah TK, ia lebih banyak bergaul dengan teman laki-laki. Hobi main bola, badminton, kelereng, layang-layang dan karate. Paling malas gaul sama temen cewek yang hobinya nangisan. Salah dikit udah mewek, bikin greget. Belum lagi mainnya cuma boneka sama jual-jualan, kagak seru banget, ngak ada tantangan menurutnya. Tak ayal setiap gerak-geriknya, cara berjalan, bahkan gaya bicara persis laki-laki.

Kedua matanya menerawang menatap gedung pondok pesantren Salafiyah. Di dominasi cat biru, gedung berlantai empat itu berdiri kokoh. Baru dua minggu ini, Roya tinggal di dalam pesantren tersebut Jangan harap ada makhluk bernama laki-laki disini. Tak ada secuilpun. Jarak pesantren putri dan putra begitu jauh, sekitar lima kilo. Jumlah santri putri mencapai 2000 santri. Di setiap kamar dihuni oleh tujuh puluh anak. Kebayang nggak sih gimana sesaknya?

Bel jam pelajaran di bunyikan, Roya gelagapan, belum siap sedikitpun. Para santri disana diwajibkan mengenakan seragam baju kurung berwarna putih yang panjang sampai lutut, dan sarung sebagai bawahannya. Dan inilah kelemahannya,  ia tak bisa memakai sarung. Jadilah, dua orang rekan kamar membantu memakaikan sarung batik motif bunga-bunga.

“Owalah, Nduk-nduk. Piye tho? Wes geddi kok yo ora biso sarungan?” celetuk Mbak Nurul.
(“Aduhai, Dik-dik. Gimana sih? Sudah besar kok nggak bisa memakai sarung?”)

“Lha aku ora tau sarungan kok, Mbak. Neng umah mesti ngangguh celono aku,” jelas Roya.
(“Lha aku dirumah nggak pernah pakai sarung kok, Mbak. Mesti pakai celana panjang”)

“Ancene koyok wong lanang sampean iki, tomboy tenan.”
(“Beneran kayak anak laki-laki kamu ini, tomboy banget.”)

“Eh, Dik. Tak kandani ya. Kanjeng Nabi iku nate dawuh ngene : Bismillahirrohmanirrohim.”

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ

“Rasulullah shalllallahu’alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian wanita, dan wanita yang mengenakan pakaian laki-laki. Jadi, sampean harus berusaha untuk berubah jadi feminim, Dik. Khawatir kena laknat nantinya.” Mbak Risma menasihati Roya panjang lebar.

Roya mendengkus kesal, “Mbak, wes ndang sarungno! Selak telat ngajine.”
(“Mbak, udah cepetan pakaikan sarungnha. Takut telat ngajinya.”)

“Yo.” Mbak Risma segera mengikat perut Roya dengan tali rafia, agar sarung yang dikenakannya tidak melorot. Celakanya, dia mengikatkannya dengan sangat kencang, hingga membuat Roya mengaduh, terasa sakit diperut.

“Mbak, ojho kenceng-kenceng, tho!” protes gadis tomboy tersebut.
(“Mbak, jangan terlalu kencang, dong.”)

“Halah gayane. Wong wadhon gagah koyok sampean lha kok ngeluh. Kudu kuat. Iki mengko nek sarunge mlorot, aku emoh arep mbenakne!” tukas Mbak Risma bersungut-sungut.

(“Halah, gayanya. Cewek gagah kayak sampean lha kok ngeluh. Harus kuat. Ini nanti kalau jatuh sarungnya, aku nggak mau lagi benerin.”)

Sengaja Roya mencolek dagu Mbak Risma, gadis tercantik di kamar A1. Dia mencebik.

“Ish, nyaopo sih Roy? Nyolek-nyolek. Batal lho mengko wudhu’ku,” protesnya.
(“Ish, ngapain sih, Roy. Colek-colej. Batal lho nanti aku punya wudhu’.”)

“Ngawur aja sampean, Mbak. Aku ini cewek. Bukan cowok!” sergah Roya.
“Cewek jadi-jadian,” imbuh Mbak Nurul membuat Roya kesal
“Wes ayo, mangkat!” ajak Risma. (“Udah Yuk, berangkat!”)

Mbak-mbak kamar lebih suka memanggil Tsuroyya dengan sebutan Roy, karena sifat tomboy yang melekat pada dirinya. Meski demikian ia tetap normal. Artinya tetap menyukai lawan jenis. No sesama jenis.

Sampai di kelas. Serempak para siswi kelas 1B Aliyah membaca doa bersama-sama, diawali dengan membaca Asmaul Husnah, kemudian nadzam Kalamun.  Kelas 1B menampung sebanyak 40 orang siswi. Materi hari itu diawali dengan pelajaran Nahwu Sharraf. Ustadzah Farida yang mengampu materi ini. Serempak mereka membaca tasrifan.

“Fa’ala yaf’ulu fa’lan wa maf’alan fahuwa fa’ilun wadzaka maf’ulun uf’ul la taf’ul maf’alun maf’alun mif’alun.”

“Fa’ala shighotnya Fi’il madhi artinya sudah mengerjakan. Yaf’ulu shighotnya Fi’il mudhorik artinya sedang mengerjakan. Fa’lan shighotnya isim masdar artinya mengerjakan sungguhan. Wa maf’alan shighotnya masdar mim artinya benar-benar mengerjakan. Fahuwa shighotnya isim artinya dia yang mengerjakan. Fa’ilun shighotnya Fa’il artinya orang yang mengerjakan. Wadzaka shighotnya isim isyaroh. Maf’ulun shighotnya isim Maf’ul artinya barang yang dikerjakan Uf’ul shighotnya Fi’il amar artinya perintah untuk mengerjakan / kerjakanlah. La Taf’ul shighotnya Fi’il nahi artinya larangan mengerjakan / jangan mengerjakan. Maf’alun shighotnya isim zaman artinya waktu mengerjakan. Mif’alun shighotnya isim alat artinya alat untuk mengerjakan.”

Tengah-tengah lalaran, Ustadzah Farida memasuki kelas. Ustadzah yang dikenal super tegas dan sangat disiplin. Materi Nahwu Sharraf menjadi keahliannya. Terasa kian rumit. Hafalan banyak, tugas susah. Ustadzah killer itulah sebutan yang disematkan untuknya. Kalau beliah sudah mengajar, jangan coba macam-macam. Jangankan untuk bicara dengan rekan sebangku, melirik teman sebelah saja sudah pasti akan kena takzir (hukuman) oleh beliau. Suasana menjadi begitu menegangkan. Kalau sudah begini, sudah pasti rasa kantuk Roya pun datang. Ia duduk di bangku paling belakang pojok kiri samping dinding. Matanya mulai sayu, mulutnya  begitu kurang ajar menguap sembarang tempat.

“Roya!” seru Ustadzah Farida mengejutkan.

“Ng_nggih, Ust.” Roya mulai gemetar ketakutan. Sudah pasti ia ketahuan menguap olehnya barusaja.

Roya langkahkan kaki menuju ke depan. Rekan-rekan memandangnya dengan heran. Namun ia coba untuk tetap santai. Roya mendekati meja kayu, dimana Ustadzah Farida duduk di kursi belakang meja tersebut. Netranya memperhatikan penampilan gadis itu  dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lengan bajunya digulung hingga siku-siku. Tangan kanan mengenakan gelang rantai berbahan titanium putih. Jam tangan G-Shock hitam melingkar di tangan kiri. Roya menunduk dihadapannya. Sekilas ia melirik, beliau menggelengkan kepala melihat penampilannya. Ujung jilbab diikat dibelakang leher. Tampak kalung liontin plat berbahan titanium putih panjang menjuntai hingga dada. Beliau mempertajam indra penciuman, mempertajam bau yang menguar dari tubuh Roya. Aroma parfum Gatsby tercium begitu tajam. Gadis yang baru berusia 16 tahun itu  menggigit bibir bagian bawah. Sudah pasti bakal mendapat hukuman dari beliau karena menguap sembarang tempat.

“Roya, Lengan bajunya bisa dirapikan? Sekalian sama jilbabnya!” titahnya.

“Nggih.” Dengan cepat ia luruskan gulungan lengan baju hingga purna, lalu menautkan kancingnya dengan rapi.

“Nih, tolong tuliskan bab yang ini di papan tulis!” perintahnya. Kedua tangannya mengangsurkan kitab Sharaf bersampul kuning tersebut.

Roya meraih kapur tulis disisi papan tulis, lalu menyalin tulisan dari kitab ke papan. Bab berikutnya sebagai materi hafalan minggu depan.

“Bang Roy, nggak kelihatan,” Seru salah seorang teman saat ia mulai menulis.

“Geseran dikit, Bang!” seru yang lain.

“Asem.” Batin Roya. Kenapa mereka malah memanggilnya dengan sebutan tersebut, jelas ia  malu didepan Ustadzah Farida.

Keterangan demi keterangan mulai dijelaskan, sesi tanya jawab yang membuat kepala cukup pening dimulai.

“Shofi, coba jelaskan apa itu ilmu Sharraf? Dan apa bedanya dengan nahwu?” tanya Ustadzah Farida.

Shofi si gadis berwajah imut segera berdiri. Ia pun mulai menjelaskan secara rinci perbedaan ilmu sharaf dan nahwu.

“Perbedaan ilmu Sharraf dan nahwu ialah secara literatur, ilmu Nahwu didefinisikan sebagai “ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengenali kalimat-kalimat bahasa Arab dari sisi i’rab dan bina’-nya (Jami’ud Durus, Syaikh Musthafa). Namun sederhananya adalah dengan ilmu Nahwu kita bisa mengetahui bagaimana menbunyikan bagian akhir dari suatu kata dalam struktur kalimat. Contoh: Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Aalamiin. Mengapa huruf dal pada kata Alhamdu dibaca dhammah (du), bukannya kasrah (di), atau fathah(da)? Karena struktur kata Alhamdu berperan sebagai mubtada’. Hukum mubtada’ ialah dibaca rafa’, yang ketika di awal kalimat ia harus dibaca dhammah. Maka dengan Nahwu, kita bisa memahami bagaimana membaca bagian akhir suatu kata dalam struktur kalimat. Lalu bagaimana kita bisa membaca huruf pada awal atau pertengahan kata jika nahwu hanya membahas cara membaca harakat akhir kata saja? Disinilah ilmu Sharraf berperan,” jelas Shofi panjang lebar.

“Betul sekali itu. Sedang secara literatur, ilmu Sharraf adalah “Ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengenal pola-pola kalimat dan kondisi-kondisinya” (Jami’ud Durus, Syaikh Musthafa). Namun sederhananya adalah dengan ilmu Sharraf kita bisa mengetahui pola kata, karena setiap kata dalam bahasa Arab memiliki pola. Contohnya kata “Ma-saa-jida” yang pola katanya adalah “Ma-faa-i-la”. Dengan memahami satu pola, kita bisa mengetahui bagaimana cara membaca kata-kata lain yang memiliki kesamaan bentuk dan pola. Pola kata ini disebut Wazan. Melalui ilmu Sharraf juga kita bisa mengetahui asal atau bentuk asli dari kosakata-kosakata. Adapun untuk membaca harakat akhirnya, kita kembalikan pada kaidah- kaidah Nahwu. Disebutkan juga Nahwu adalah bapak dan Sharraf adalah ibunya. Maksudnya adalah ilmu Nahwu berperan untuk mengarahkan bagaimana seharusnya suatu kata dibunyikan,” papar Ustadzah Faridah.

“Seperti layaknya seorang bapak yang berperan dalam meluruskan kesalahan, mendidik dan mengarahkan. Sedangkan ilmu Sharraf dianalogikan dengan ibu karena dari ilmu Sharaf-lah terlahir beragam kosakata yang sesuai polanya masing-masing. Seperti layaknya seorang ibu yang berperan melahirkan anak- anak. Untuk memahami gramatikal bahasa Arab, setidaknya harus memahami dua bidang ilmu ini. Karena selanjutnya Nahwu dan Sharraf sebagai modal untuk memahami ilmu gramatikal bahasa Arab lainnya, seperti ilmu badi, ma’ani, dan bayan, atau yang lebih dikenal dengan ilmu Balaghah.” Imbuhnya.

Bel istirahat berbunyai. Pelajaran Sharraf pun berakhir. Usai berdoa, santri-santri kelas satu Aliyah segera berhamburan keluar kelas. Roya  beranjak dari tempat duduknya.

“Ayo, Shof. ke kantin,” ajaknya. Dilirik sang sahabat yang tengah bersungut-sungut, sembari menutup hidung.

“Kamu kenapa sih? Kok ya dari tadi tutup hidung terus?” tanya Roya heran.

“Kamu tuh, bau cowok banget. Bikin bulu kudukku meremang, serasa duduk sama cowok beneran,” protesnya.

Roya tergelak lantang. “Biarin, aku udah kayak gini dari dulu, kok,” jawabnya lantang. Suaranya terdengar keras membahana seantero kelas

“Bisa nggak sih ngomongnya nggak terlalu keras? kamu tuh cewek, Roya. Kalau ngomong, pelanin dikit, dong!” tegur Shofia

“Nggak bisa, udah dari sononya,” kilah Roya.

Shofia berdiri sembari menggetok kepalanya

“Aw! Sakit, Shof!” Roya memekik pelan.

“Ih, kamu tuh ya, bener-bener nggak mau usaha. Tentu aja bisa. Asal kamu mau belajar merubah diri kamu jadi lebih baik lagi, lebih feminim, sesuai kodratmu sebagai seorang perempuan.”

“Halah, yang penting kan nggak overdosis, Shof. Nggak yang menyerupai laki-laki banget.”

“Podho wae, Non.” Gadis berkaca mata itu terus menegurnya.

“Selalu, itu aja yang dibahas. Udahlah, terima aja segala kekurangan dan kelebihanku sebagai sahabatmu. Aku udah kayak gini dari dulu. Nggak bisa jadi kayak kamu yang melambai-lambai manjuah.” Roya menjawab sembari berjalan keluar kelas. Ia melirik sekilas, Shofia mengelus dada sembari mengucap istghfar.

Tak ada pemandangan yang begitu indah dan meneduhkan hati, selain daripada menatap gerombolan santri, berjalan beriringan, mengenakan seragam putih, jilbab putih, dan sarung. Kitab kuning klasik didekap di dada. Sesekali mereka tampak saling bersenda gurau. Dan ketika Bu Nyai pemangku pesantren lewat, serempak mereka langsung menepi. Membungkukkan badan, menundukkan kepala sebagai wujud Ketakdziman. Dan beberapa diantara mereka bergantian mencium tangan Sang guru yang begitu dimuliakan.

ان طالب العلم لا ینال العلم ولا ینتفع بہ الا بتعظیم العلم و اھلہ وتعظیم الاستاذ وتوقیرہ۔

Sesungguhnya seorang pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan memperoleh manfaatnya ilmu kecuali dengan mengagungkan/memuliakan ilmu dan orang-orang yang memiliki ilmu. Dan mengagungkan guru serta memuliakannya. Sungguh para santri / murid benar-benar memahami bagaimana ia akan bersikap sebaik mungkin dihadapan para guru. Mereka sadar, betapa para guru, ‘alim ulama’ adalah orang-orang yang begitu dekat dengan Allah SWT. Ketakwaan mereka sungguh begitu kuat dan terasa.

Roya turut serta mencium punggung tangan Bu Nyai Marhamah. Tangan itu begitu lembut. Ada rasa candu untuk memandang wajahnya yang cantik dan meneduhkan, namun rasanya tak kuasa. Lisan Bu Nyai terus berdzikir. Dan saat ia bergerak mundur, agar teman dibelakangnya berganti mencium tangan beliau. Tiba-tiba saja Bu Nyai meraih bahunya

“Jenengmu sopo, Nduk?” Suara beliau begitu lembut terdengar ditelinga Roya.

“Tsuroyya, Bu Nyai,” jawabnya tetap menunduk.

“Oh yo. Ayune,” dawuh beliau singkat.

Roya kembali berdiri disamping sahabatnya, Shofia.

“Sanes ayu Bu Nyai. Ganteng.” Shofia berucap agak berbisik.

Roya mencubit pinggul gadis yang berdiri disamping kanannya.

“Gagah perkasa, pisan,” celetuk Maisaroh yang berdiri tepat dibelakangnya. Kalau saja Bu Nyai tidak ada dihadapannya, sudah pasti mereka berdua akan ia tinju. Ah … sadisnya.

Saat langkah Bu Nyai semakin menjauh, terdengar Ustadzah Raudhah memanggil namanya. “Roya …”

Gadis itu  segera berlari kecil menghadapnya, kitab yang berada dalam dekapan, ia titipkan pada Shofiah. Dan nyatanya Ustadzah Raudhah meminta bantuannya untuk mengangkat meja kayu usang, tampak kedua kaki yang patah dan lapuk. Dengan sigap ia mengangkat meja itu sendiri, lalu menyandarkannya pada bahu.

“Gagah perkasa, Rek. Roya si Gatot kaca Salafiyah,” goda Ustadzah Raudhah.

Roya terus melangkah menuju gudang, tak ia hiraukan godaan teman-teman yang terus meledeknya. Naas, tanpa ia sadari, Sarungnya terlepas. Ia  menjadi bulan-bulanan bahan tertawaan rekan-rekan santri mulai dari kelas tsanawiyah hingga aliyah. Beruntung dari kecil ia selalu setia mengenakan celana pendek selutut, jadi aman. Risih rasanya jika hanya mengenakan under wear saja, berasa seperti telanjang. Terkadang, celana panjang sebagai dalaman juga musti dipakai. Untuk berjaga-jaga dari hal dharurat semacam itu. Karena aurat wanita begitu berharga.

Segera ia letakkan meja tersebut. Lalu membenarkan sarung yang melorot.Roya gulungkan saja sekenanya seperti kaum adam mengenakannya, lalu kembali melangkah menuju gudang. Selesai dari gudang, Roya bergegas  menuju kantin, memesan semangkuk bakso untuk menghalau lapar. Ia menghampiri Shofia yang tengah khusyuk membaca kitab Fathul Qorib gundulan, wa la harakat, wa la ma’na. Di pesantren Salafiyah, para santri diharuskan mampu membaca kitab kuning gundulan. Jadi, lulusan pesantren ini, jangan diragukan lagi keahliannya. Shofia membaca dengan lantang, Roya pun menyimak.

وَالطَّهَارَةُ بِفَتْحِ الظَّاءِ لُغَةً النَّظَافَةُ. وَأَمَّا شَرْعاً فَفِيْهَا تَفَاسِيْرُ كَثِيْرَةٌ. مِنْهَا قَوْلُهُمْ فِعْلُ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاة أَيْ مِنْ وُضُوْءٍ وَغَسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ.

“Walitthaharati lan iku keduwe sesuci. Bifathidz dzoi kelawan den fathah dzo’ine lughotan secara bahasa iku An-nadzafatu artine suci. Wa amma syara’an anapun makna syarahe Fafiha mangka iku ing dalem thaharah tafasirun utawi pira-pira arti katsiratun kang akeh. Minha iku setengah saking katsirah Qowlahum utawi dawuhe piro-piro ulama’ ahli fiqih iku Ma barang, Tustabahu kang den wenangaken opo bihi kelawan thaharah apa Ash-shalatu shalat ai min wudhu’in bayane saking wudhu’ wa ghaslin lan adus watayammumi lan tayamum wa iazalatin najasti lan ngilangaken pira-pira najis.”

“Thoyyib, thoyyib. Thoyyib jiddan.” Roya memuji.

“Bang Thoyib?” tukas Shofia

Roya tergelak mendengar ucapnya. Tiba- tiba datanglah salah seorang kawan santri bernama Zulfa. Gadis berdarah madura.

“Mbak, mbak. Saya mau nyak tanyak? Bolle, Mbak?”

“Boleh, bukan Bolle. Abhee dek remmah riyah?” sahut Roya.

Gadis berlesung pipit itu pun tersenyum. Shofia menyambutnya ramah, “Mau tanya apa, Mbak?”

Zulfa langsung duduk dibangku sebelah mereka berdua. Roya pun menggeser duduknya dengan bersila.

“Jadi gini, Mbak. Saya itu mau belajar bahasa jawa halus. Dan sekarang ini kebutuhan pokok saya udah habis. Saya mau ke koperasi, mau belanja. Emm.. kalau bahasa jawanya beras itu apa ya, Mbak?”

“Wos,” jawab Roya cepat.

Zulfa manggut-manggut kemudian kembali bertanya. “Kalau minyak apa, Mbak?”

“Lisa,” Giliran Shofia yang menjawab.

“Oke, kalau begitu matur kesokon yang benyak ya, Mbak.”

(“Oke, kalau begitu terima kasih banyak ya, Mbak”)

Roya dan Shofia sama-sama tertawa mendengar ucapannya yang campur aduk antara bahasa Indonesia, Jawa, dan Madura. Sementara Zulfa segera melangkah menuju koperasi yang tak jauh dari kantin. Kebetulan suasana begitu ramai, maklum sedang jam istirahat. Tiba-tiba gadis madura itu berteriak dengan lantang.

“Mbak, tumbas Wojo Sekilo, Lingso seprapat.”

(“Mbak, beli gigi satu kilo, telur kutu seperempat “)

Mendengar hal tersebut Roya  dan Shofia saling berpandangan, tak lama kemudian tertawa terpingkal-pingkal hingga terasa sakit di perut. Bukan hanya mereka saja yang tertawa, mbak-mbak santri yang lain pun turut terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak, gadis itu sudah salah pengucapan. Dalam bahasa Jawa, Wojo berarti gigi, sedang Lingso adalah sebutan untuk telur kutu. Bisa kalian bayangkan entah gigi siapa yang akan dibeli sebanyak satu kilo, dan telur kutu siapa yang hendak dibeli sebanyak seperempat itu. Sementara Zulfa ia tampak kebingungan.

****

Jum’at pagi yang begitu cerah, Roya tengah duduk santai. Mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dongker, dan sarung berwarna senada. Sekarang ia tak perlu lagi memakai tali rafia sebagai sabuk. Karena sudah menemukan cara jitu agar sarung tidak melorot. Menggulung ujung sarung bagian atas selayaknya kaum adam memakai sarung. Amanlah sudah, tak mungkin melorot kagi. Justru mengenakan sarung model cewek yang ujungnya ditekuk kemudian diselipkan begitu saja sangat mempermudah untuk melorot.

Seperti  Shofia dia kerap sekali mengalami hal demikian. Berulang kali Roya menegurnya, karena ia nyaris telanjang, disebabkan tak pernah memakai celana panjang atau rok panjang selutut sebagai pengaman jika sarung melorot, tidak langsung menampilkan auratnya.

Mendadak terdengar dari toa kantor pondok suara Ustadzah Himmah memanggil nama santri yang disambang oleh orang tuanya.

“Panggilan kepada ukhty Raihana Nur Tsuroyya kamar A1 dari Jember harap segera ke kantor.”

Roya melonjak girang saat mendengar namanya dipanggil. Ia segera berlari menuju kantor pondok. Sampai disana gadis cantik itu segera menuju balai pengiriman. Celingak-celinguk mencari-cari sosok Ayah dan Ibu. Namun tak ia dapati mereka disana, bahkan Roya sampai bertanya kepada rekan-rekan yang kebetulan mendapat kunjungan orang tua. Gadis itu segera menuju kantor, setelah mengucap salam, segera ia tanyakan keberadaan kedua orang tua kepada pengurus di kantor.

“Ngapunten, Mbak. Saya barusan dipanggil kesini, tapi kok saya nggak kelihatan Ayah dan ibu, ya?” tanya Roya pada Uatadzah Himmah

“Iya. Saya memang manggil kamu kesini, bukan karena kamu disambang, tapi karena mau minta tolong. Kamu mau kan, Roy?”

Roya mengernyitkan dahi, “Mau minta tolong apa, Mbak?”

“Itu, tolong sampean ke kantin pondok, ambilkan galon air minum, lalu bawa kesini,” perintah Ustadzah Mila.

“Hah? Ngangkat galon?” tanya Roya memastikan.

Ustadzah Umaimah yang duduk disamping UstadzahnHimmah turut menimpali, “Sampean kan gagah, Roy. Bisa kan?”

Roya menghela napas kasar, “Nggih, Mbak.” Segera ia laksanakan tugas tersebut. Mengambil galon air minum Santri ke kantin lalu membawanya ke kantor. Setelah selesai, tak sengaja penglihatannya menangkap sosok ibu-ibu berusia sekitar 40 tahunan, berjalan dengan susah payah. Tangan kanan memegang kardus besar, sedang tangan kiri membawa satu kantong plastik merah besar. Roya menghampirinya, membantu membawakan barang-barangnya.

“Boleh saya bantu bawakan, Buk?”

Wanita itu mengangguk cepat sebelum langkahnya sampai ke kantor pondok.

“Darimana, Bu?” tanya Roya.

“Dari Sampang Madura, Nak.”

Roya manggut-manggut, “Mau sambang putrinya ya, Bu?”

“Iya ini mau sambang anak saya yang mudah-mudahan tak pernah,” ucapnya santai.

Mendengar jawabannya Roya tertawa terbahak-bahak hingga menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak jawabannya begitu lucu. Kata-katanya seakan anaknya tidak betah di pondok. Nyatanya tidak demikian. Mungkin maksudnya, mau sambang putrinya yang masih kecil dan tidak betah.

Dalam bahasa Madura, Ngodeh artinya kecil. Namun ibu itu malah menggunakan bahasa indonesia sekenanya. Mudah-mudahan dalam bahasa indonesia artinya semoga. Masak iya ada orang tua yang mau mendoakan putrinya tidak betah di pondok.

Cuaca begitu panas, baling-baling kipas terus saja berputar, tampak wajah-wajah lelah dari santri kelas 1 B aliyah. Shofia berulang kali mengibas-ngibaskan buku, ia jadikan sebagai kipas. Sedang Roya sibuk meraut pensil dengan pemes. Siang ini materi Tahsinul Khat menemani mereka. Tehnik menulis kaligrafi arab menjadi salah satu pelajaran favorit.  Pensil 2B  diraut dengan bentuk memanjang, lantas di pipihkan, ujung pensil dibentuk miring, agar hasil kaligarfi terbentuk sempurna, sesuai tebal tipisnya.

Tahsinul khat adalah seni menulis yang digunakan untuk penulisan huruf atau abjad dalam bahasa Arab. Istilah ini sering disamakan dengan kaligrafi. Namun, dalam penggunaanya, kaligrafi dapat digunakan untuk huruf latin, sedangkan tahsinul khat hanya diperuntukkan untuk huruf Arab. Selain itu, perbedaan yang sangat spesifik adalah pada tahsinul khat pengolahan dan penyusunan huruf dalam bentuk kalimat terdapat kaidah baku yang diikuti penggunaanya. Adapun penggunaan kaligrafi terdiri dari kaligrafi latin mengunakan kalimat mendatar dan kaligrafi Mandarin dengan penulisan kalimatnya menurun.

(Bersambung Ke Bagian Ke 2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back To Top