Alfu Laila (2) – Lika Liku Hidup Di Pesantren

0
250

Sebuah Novel karya seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak dengan judul “ALFU LAILA” (Seribu Malam) bagian ke 2, khusus kami persembahkan kepada pembaca xposfile sebagai upaya lebih mengenalkan kehidupan di pesantren.

Tulisan ini berdasarkan kisah nyata perjalanan seorang gadis tomboy dengan segala keunikan dan kekonyolannya dimata penulis saat menjalani kehidupannya sebagai santriwati di pesantren ASHRI (Asshidiqi Puteri ) Talangsari.

Di bagian kedua ini, kami unggah satu Bab dengan judul “Lika Liku Hidup Di Pesantren”. Sebelumnya dibagian pertama dengan judul “Panggil Aku Roya” Baca : Alfu Laila (Seribu Malam)

Penulis bernama Athiyah Karim, lahir di Pasuruan, 16 Januari 1987, Tinggal di desa Tanggul Wetan, Kec. Tanggul, Kab. Jember. Alumni Pondok Pesantren Ash-Shiddiqi Putri / ASHRI  Talangsari-Jember ini merupakan seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Tulisan yang pernah ia terbitkan antaranya “ Hikmah Bersyukur “ dalam buku  antologi bersama, “ The Power Of  Beliefe “ terbitan Divapress group, dan beberapa antologi cerpen serta antologi puisi lainnya. Novel solo pertamanya berjudul “ Sejatinya Cinta”, Alhamdulillah mendapat sambutan yang luar biasa dari para pembaca. Selain menulis, ia juga hobby membaca serta menyenandungkan sholawat. Penulis novel “Surat Kaleng Gus Daqiqi” ini bisa disapa di akun pribadinya di media sosial . Facebook : athiyah karim, Instagram : athieyahkariem3.

Bagian ke 2 : “Lika Liku Hidup Di Pesantren”

“Bahagialah jika kamu dimanfaatkan oleh orang lain, itu tandanya hidupmu bermanfaat. Yang penting bukan kamu yang memanfaatkan orang lain.”

Dawuh Bu Nyai Marhamah masih melekat dengan kuat dalam benak Roya. Sebulan nyantri di Salafiyah. Roya  menangis, ia tak betah. Kala itu teman-temannya hanya memanfaatkannya. Mereka kerap meminta bantuannya, namun saat ia balik meminta bantuan mereka. Tak ada satupun yang mau membantu. Roya benar-benar kesal dan menangis di taman samping pondok. Tak diduga Bu Nyai berada disana kala itu. Taman pondok dipenuhi bunga anggrek. Beliaulah yang menanam. Bermacam-macam jenisnya. Roya tak tahu apa saja namanya. Ya maklumlah mana ada gadis tomboy suka bunga.

Kala itu ia duduk sendiri di atas bantu besar samping kolam ikan, kedua kaki ditekuk, wajahnya ia benamkan diantara kedua lutut. Menumpahkan segala kekesalan disana melalui air mata. Bu Nyai menyentuh bahu Roya dengan lembut. Ia sempat terkejut. Beliau menanyakan perihal tangisnya. Dengan polosnya Roya menceritakan semua yang ia alami. Bu Nyai Marhamah  bersedia mendengar segala keluh kesahnya. Bu Nyai Marhamah begitu sabar dan penyayang. Beliau tak pernah menciptakan batasan jarak kepada santri-santrinya. Beliau sosok yang sangat ramah. Dan menganggap para santri selayaknya putri sendiri.

Roya mendengar ada perekrutan abdi ndalem atau khadamah. Ada salah satu Mbak khadamah yang akan boyong karena hendak menikah. Maka ia mencoba mendaftar diantara ratusan santri yang juga ingin berkhidmah, ngalap barokah. Tidak mudah, di ndalem semua khadamah berjumlah kurang lebih tiga puluh santri dengan tugas khidmah yang berbeda-beda. Ada yang bagian masak, cuci piring, cuci pakaian, setrika, tugas nyapu ndalem, tugas nyapu halaman ndalem, bahkan sampai bantu ngemong cucu-cucu beliau ada tugas sendiri-sendiri. Begitu juga tugas yang lain. Bu Nyai memeliki ketiga orang anak satu putra dan dua orang putri yang telah menikah semuanya.

Alhamdulillah, Roya terpilih diantara deretan santri yang berkeinginan untuk berkhidmah. Pagi itu, untuk pertama kalinya ia masuk ke ndalem, tugasnya adalah bersih-bersih di dapur ndalem.

“Ini, Mbak Roya kan?” tanya Bu Nyai memastikan

“Inggih, Bu Nyai,” jawab Roya dengan hati berdebar.

“Alhamdulillah, teruslah semangat belajar, belajar apapun. Karena ilmu itu nggak cukup hanya di buku dan di kitab saja, Mbak. Tapi ilmu juga tersebar luas disekitar kita,” dawuh Bu Nyai sembari tersenyum.

Roya mengangguk pelan.

“Bisa cuci piring kan?” tanya beliau ramah.

Roya tersenyum ragu, “Ng_nggih.” Ia mendekati tempat mencuci perabotan yang kotor, kedua tangannya mulai bergerak mengambil piring, dan spon yang telah  dicelupkan pada sabun cair. Sungguh tangannya gemetaran, belum lagi, ia begitu kaku. Selama ini Roya begitu cuek. Tak pernah sekalipun mau membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah.

Tiba-tiba Bu Nyai Hamidah memegang kedua bahunya “Duuuh, cek kakune, Mbak? Nggak tau korah-korah ta ning umahe?”

(“Duuuh, kaku sekali, Mbak? Nggak pernah bantu cuci piring kah dirumah?”)

Roya tersenyum malu, wajahnya merah padam. Bu Nyai Hamidah adalah kakak ipar Bu Nyai Marhamah. Sedang Bu Nyai Marhamah tersenyum melihatnya.

“Ya dimaklumi, Mbak. Lha wong Roya ini, anak semata wayang, mungkin selama dirumah, ia memang tak pernah membantu ibunya, semua kerjaan rumah sudah dikerjakan oleh para santri, betul kan, Mbak?” Bu Nyai Marhamah memastikan.

“Duuuh, anakku ya sama Mbak. Tapi dia terus ku paksa untuk belajar mengerjakan kerjaan rumah. Lha gimana nanti kalau sudah menikah? Perawan sak iki gaene ancen hapean ae, bisane selfie-selfie karo dandan ae, di kongkon nang pawon emmoh,” dawuh Bu Nyai Hamidah panjang lebar.

(“Gadis zaman sekarang kerjanya Cuma hapean. Bisanya selfie-selfie sambil dandan aja. Disuruh ke dapur nggak mau.”)

Roya merasa tak enak hati. Tiba-tiba teringat ibu dirumah. Selama ini beliau sudah banyak menasihatinya namun selalu diabaikan. Jadinya kini dirinya benar-benar malu ditegur Bu Nyai. Tak berapa lama kemudian Bu Nyai Hamidah pergi. Bu Nyai Marhamah mendekat, beliau mengusap bahunya pelan

“Sing sabar, selama kamu mau belajar, insya’ Allah nanti pasti bisa juga. Nggak usah sungkan, saya siap bantu kamu untuk belajar.”

Hari itu Bu Nyai Marhamah dengan laten mengajarkan banyak hal padanya. Mulai dari cara menyapu, cara menggoreng ikan, dan menyeduh teh serta kopi untuk para tamu. Beliau memberikan contoh atas segala hal yang tak ku bisa menyangkut pekerjaan rumah.

Hati Roya senang mendapat banyak ilmu dari beliau.

“Teruslah belajar, Nak. Minimal, nanti ketika menikah sudah ndak malu-maluin. Syukur-syukur kalau dapat Ibu mertua sabar dan mau mengerti. Nah kalau dapat mertua cerewet kayak Mbak Hamidah tadi, kan runyam,” ujar Bu Nyai Marhamah sembari tertawa kecil.

Roya pun turut tertawa. Selama ini sering juga mendengar, Mbak-mbak khadamah yang mengabdi di ndalem Bu Nyai Hamidah pada mengeluh. Mbak Rosita yang bertugas menyapu ndalem kerap diminta kembali, karena kurang bersih nyapunya. Begitu juga dengan kerjaan lain.

Roya paling kaku jika disuruh memegang sapu. Sering dimarahi mbak-mbak kamar. Karena nyapu yang asal-asalan. Bukannya bersih, debu-debunya malah jadi kemana-mana. Ia juga teringat tetangganya dirumah, seorang wanita paruh baya yang galak. Dia sengaja mengerjai menantunya yang merupakan seorang biduan. Kala itu sedikit yang ia dengar, bahwa menantunya itu tak bisa memasak. Ibu-ibu itu sengaja menyuruh menantunya memasak sayur asem yang berisi sayur kacang panjang dan kecambah. Tanpa babibu, si menantu tersebut langsung saja memasak. Lalu bagaimana jadinya? Kacang panjang sepanjang ular itu dimasak tanpa dipotong-potong terlebih dahulu. Jadilah sang biduan menjadi bahan perbincangan warga kampung kala itu. Karena si mertua juga ember. Miris juga, harusnya aib seperti itu disembunyikan, ini malah dicerita-ceritakan. Jadilah gadis itu menjadi bahan bullyan emak-emak kampung.

Sampai dikamar, Roya  melihat Shofia berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, jilbab, hingga sarung pun berwarna senada hanya ada motif bunga-bunganya. Gadis itu memang penyuka warna hitam. Sedang Roya penyuka warna dongker dan putih. Ia pun menggodanya, “Mau takziyah kemana, Shof?”

Ngawur aja kamu, tahu sendiri kan? Aku suka warna hitam,” tukas Shofia.

“Ya tapi ndak pas hitam-hitam semua gitu, jangan-jangan sak jeroane, kamu pakai hitam-hitam juga?” canda Roya.

Gadis didepannya membelalakkan mata, Roya  tertawa melihat tingkahnya.

“Jangan-jangan, kamu ngintip aku pas di kamar mandi tadi?” tebak Shofia.

“Ngawur! Ngapain ngintip kamu, orang podho ae modelnya. Gak kolu!” sanggah Roya

Shofia langsung menimpuknya dengan bantal yang dipeluknya sedari tadi.Roya tergelak dibuatnya.

===========================

Santri Salafiyah berbaris rapi di halaman madrasah, mengikuti upacara hari ulang tahun kemerdekaan republik indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Indonesia resmi merdeka pada 17 Agustus 1945 melalui pembacaan teks proklamasi. Sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia ditempuh dengan perjuangan yang sangat panjang. Adapun, tokoh yang membacakan teks proklamasi adalah Ir Sukarno dan Mohammad Hatta. Mereka berdua pun ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia.

Sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia dimulai dari peristiwa Rengasdengklok yang terjadi pada 15 Agustus 1945. Kejadian itu menunjukkan adanya konflik antarkelompok golongan tua dan muda untuk menentukan waktu proklamasi.

Golongan tua berpendapat bahwa proklamasi kemerdekaan akan segera didapatkan. Sedangkan, golongan muda menilai proklamasi harus dilaksanakan mengingat Jepang telah menyerah terhadap sekutu.

Akhirnya, golongan muda memutuskan untuk mengamankan Sukarno dan Mohammad Hatta (golongan tua) ke Rengasdengklok. Alasannya, karena para pemuda menilai Sukarno dan Hatta adalah tokoh penting sehingga keselamatannya harus dijaga. Kemudian, di tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta akhirnya sepakat bersedia mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Dijemput oleh Ahmad Subarjo, mereka pun kembali ke Jakarta.

Rombongan tersebut akhirnya tiba di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No 1 dan melakukan perundingan. Di ruang makan Laksamana Maeda, tokoh-tokoh nasional berkumpul untuk merumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Adapun, tokoh yang berkumpul saat itu adalah Sukarni, Sudiro, B.M Diah, Ahmad Subardjo, Sukarno, dan Hatta. Teks proklamasi pun berhasil disetujui pada pukul 04.00 WIB dini hari.

Setelah itu, naskah proklamasi diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.Setelah pertemuan dini hari tersebut, Sukarni mengusulkan agar naskah dibacakan di Lapangan Ikada. Namun, Sukarno menilai pembacaan proklamasi lebih aman dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No 56.

Detik-detik proklamasi dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945, tepat pukul 10.00 WIB. Sukarno didampingi oleh Hatta pun membacakan teks proklamasi. Suasana rumah Sang Proklamator juga dipadati oleh sejumlah orang sebagai saksi.

Selain pembacaan teks proklamasi, di hari yang sama mereka juga mengadakan pengibaran bendera Merah Putih yang dijahit oleh Istri Proklamator, Fatmawati. Upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia pun selesai pada pukul 11.00 WIB.

Roya bertugas sebagai pemimpin upacara, suaranya terdengar keras dan lantang terdengar diseluruh penjuru Salafiyah. Laksana suara seorang prajurit, “Kepada sang saka merah putih, Hormaaaaat … Grak!”

Seluruh peserta upacara menatap bendera merah putih yang hendak dinaikkan, tangan kanan mereka pun serempak menghormat. Shofia memimpin mars rekan-rekannya menyanyikan lagu kebangsaaan Indionesia raya. Suasana begitu terasa begitu khidmat, ketika para santri melaksanakan upacara bendera yang juga diikuti oleh dewan pengurus pesantren dan asatidzah.

“Eh-eh, Roya tuh gagah ya, kayak cowok beneran.  Andai nggak pakai jilbab, wah pasti cakep,” bisik Yuli pada rekannya Sisil.

Sisil terkekeh,” Iya bener, andai cowok beneran, aku mau jadi ceweknya.”

“Gendheng,” tukas Yuli seraya tertawa.

Terdengar suara ustadzah Umaimah yang berdiri di belakang kedua gadis tersebut berdeham, menegur keduanya agar mengikuti kegiatan upacara dengan baik.

“Tegaaaaaaak …. Grak!” ujar Roya lantang.

Bu Nyai Marhamah memberikan mau’idzah hasanah selaku pembina upacara.

“Inilah identitas bahwa kita ini santri dan nasionalisme kita tetap ada. Sehingga tidak ada halangan bagi kita memakai sarung dan jilbab dalam melaksanakan upacara.”

Bu Nyai Marhamah menambahkan, jika upacara diadakan sebagai wujud rasa syukur atas pemberian dari Allah berupa kemerdekaan bangsa ini. Seluruh komponen yang ada di Pesantren Salafiyah ingin memupuk kesadaran para santri akan pentingnya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

“Banyak aktivitas untuk merayakan kemerdekaan sebagai simbol kesyukuran kita atas kemerdekaan. Salah satunya dengan melaksanakan upacara bendera HUT RI ke-75,” dawuhnya.

Selesai upacara, kegiatan madrasah diliburkan. Seperti biasa Roya lebih banyak menghabiskan waktu liburnya dengan bercengkrama beserta rekan-rekannya sembari menanti kunjungan dan kiriman dari para orang tua. Pada hari kemerdekaan pondok pesantren Salafiyah memberikan bonus kepada wali santri untuk mengunjungi putri-putrinya di pesantren.

Ika salah satu rekan sekamar yang mendapat kunjungan awal, mengajak rekan-rekannya menikmati sarapan pagi. Ibunya membawakannya nasi gulungan. Nasi gulungan adalah nasi yang digulung dengan daun pisang, biasanya terkenal dengan sebutan Nasi Tabheg. Istilah Tabheg berasal dari bahasa Madura. Penulisan istilah ini bermacam-macam, ada yang menulis dengan Tabak, Tabek, Tabeg, Tabhek atau Tabegh.

Nasi Tabheg dibuat agar Nasi bisa bertahan berhari-hari dan tidak cepat basi. Ketahanan nasi Tabheg bisa bertahan hingga 3 hari. Sajian nasi Tabheg seringkali ditunggu-tunggu oleh para santri. Bagaimana tidak, para santri yang giat mencari ilmu siang dan malam, hampir tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan kebutuhan hidup (isi perut). Kebutuhan hidup para santri sering bersandar pada kiriman. Ketika orang tua salah seorang santri yang membawa Tabheg akan menjadi incaran bagi para santri lain dan semua mata tertuju pada nasi Tabheg. Mereka menikmati nasi Tabheg dengan tumis pakis pedas, lauk tahu tempe, serta sambal bajak tak boleh ketinggalan, ditambah kerupuk.

Mereka duduk berjajar dengan posisi badan agak miring, agar mencukupi. Saat tengah makan tiba-tiba Lail mengendus-ngenduskan indra penciumannya, seakan ia menangkap bau sesuatu.

“Ngapain sih kamu, Lail?” Shofia merasa risih dengan tingkah sahabatnya.

“Sebentar-sebentar, aku seperti mencium ada bau durian disini,” tukasnya.

Laili sangat menyukai buah dengan kulit yang penuh duri tersebut. Penciumannya begitu tajam manakala mencium aroma buah durian, maka ia akan langsung mengincar.

“Nggak ada. Nggaka ada yang bawa buah Durian disini, jangan ngayal kamu,” tegur Livi.

“Sumpah, beneran. Indra penciumanku ini tak mungkin salah, pasti ada yang bawa buah durian disini, sepertinya kamar sebelah.” Laili meyakinkan.

Diam-diam yang lain meng-iyakan perkataan Laili. Aroma durian menguar semakin tajam.

“Roya, ikut aku yuk! Ke kamar sebelah.”

“Mau ngapain, Lail?”

“Udah ikut aja, bentar. Aku cuma ingin memastikan bahwa indra penciumanku ini nggak salah, Bang Roy” seloroh Laili asal.

Roya sempat menolak, namun Laili terus saja mendesak. Akhirnya gadis tomboy itu pun mengalah, ia mengikuti keinginan Laili menuju kamar sebelah, dari balik jendela kaca, terlihat jelas para penghuni kamar tengah menikmati makan durian bersama. Laili hendak bersandiwara pura-pura mencari rekan di madrasah yang bernama Sylla. Sayang, lidahnya terpeleset terlalu jauh.

“Ngapunten, Mbak. Wonten duren?” tanyanya.

Roya menepuk dahinya, ia merasa malu akan ulah rekan sekamarnya tersebut, sedang para santri yang berada di dalam kamar tersebut sempat tercengang, namun akhirnya mereka tergelak bersama.

“Oh nggih, Mbak monggo, kebetulan ini masih ada,” jawab Etik salah seorang penghuni kamr seraya tertawa.

Roya segera menarik lengan Laili dan menuntunnya kembali ke kamar. “Duuh, bikin malu aja kamu ini, kayak nggak pernah makan durian aja.”

Sedang dikamar, satu persatu anggota bergerak mundur, ketika lauk sudah habis, menyisakan nasi yanh masih cukup banyak diatas daun pisang yang digelar, kerupuk dan sambal. Evi yang berpawakan kurus masih saja menikmati sarapan paginya.

“Habiskan semua ya, Vi. Kan sayang kalau dibuang, mubadzir, dosa nanti,” ucap Risma

“Duh, tega banget sih? Masak nasi masih segini banyak, aku yang suruh ngabisin?” protes Evi bersungut-sungut.

“Evi, sayang. Katanya kamu pengen gemuk, ya kalau mau gemuk itu harus dihabiskan,” rayu Lilik rekan yang lain.

“Iya, Vi. Beneran tuh, habisin ya. Nanti aku yang buang daunnya, dah,” Roya turut menimpali.

“Tt_tapi …”

“Ayolah, nggak usah malu-malu, udah habisin aja, kita nggak apa-apa,” rayu Roya disetujui oleh seluruh penghuni kamar.

Evi mendengkus kesal. Selama ini ia kerap menjadi bulan-bulanan temannya, agar selalu menjadi orang yang terakhir dan paling harus menghabiskan makanan yang tersisa, dengan alasan tubuhnya yang kurus agar bisa gemuk.

==========================

Roya dan seluruh anak kamarnya hendak menghadiri undangan salah satu rekan sekamar mereka, Risma, Evi,  Shofia sibuk mengaplikasikan handbody ke tangan dan kaki, sedang Roya merapikan jilbab segi empatnya. Ia tak pernah susah merapikan jilbabnya, tak perlu cermin apalagi tiup ujung jilbab seperti rekan-rekan yang lain. Aroma wangi Gatsby menguar dari tubuh langsingnya.

“Roy, kamu nggak pakai bedak?” selidik Shofia saat melihat wajah sahabatnya yang dibiarkan polos begitu saja.

“Ogah, aku nggak suka,” jawab Roya santai.

“Ya tapi kita kan mau kondangan Roya. Mbok ya dipoles dikit lah wajahmu itu, biar kelihatan sedikit menarik,” Shofia mengingatkan sahabatnya

“Alah, biarin. Emang wajib gitu dandan pas kondangan?” Roya mencebik.

Sampean iku mbuk ya dirungokne nek dikandani kancane, kita iki ngandani iki krono mesakne.  Mosok konco sak kamar, mung riko tok Roy sing isik durung bakalan,” Mbak Nurul turut menimpali.

(“Sampean itu mestinya dengerin dulu kalau temannya nasihatin. Kita ini nasihatin ya karena kasihan. Masak teman sekamar, Cuma kamu saja Roy yang belum tunangan.”)

“Gimana mau ada cowok tertarik, Mbak. Nek podho gagahe kayak gitu,” imbuh Risma.

Roya mendengkus kesal, ia benar-benar kesal dengan omelan rekan-rekan kamarnya.

“Ben. Ra payu yo ben,” gerutunya.

Sekitar tiga puluh lima santri bersiap memasuki mobil Elf, Shofia meminta duduk tepat disamping kaca mobil. Ia mabuk darat, tak kuat mengikuti perjalanan jauh, dalam sekejap saja aroma minyak kayu putih menguar di seluruh penjuru mobil.

Ayu-ayu mabukan,” Roya meledek sahabatnya.

“Jangan gitu lah, Roy. Awas kamu ya!” ancam Shofia dengan bersungut-sungut.

“Kamu nggak bawa tas, Roy?” tanya Istiqomah.

“Nggak, aku nggak suka bawa tas, ribet,” sahut Roya sekenanya.

“Terus kamu nggak bawa mukenah?”

“Aku lagi halangan, lagi pula kalaupun enggak, aku biasa shalat pakai mukenah di masjid,” jawab Roya santai.

Istiqomah menggelengkan kepala, baru ini ia tahu ada seorang wanita tak suka membawa tas. Roya menaruh dompet di saku rok panjangnya. Ia tak pernah suka dan ribet menenteng tas kemana-mana. Selama perjalanan, terdengar suara riuh dari para santri, mereka asyik bercanda dan bernyanyi menikmati perjalanan yang cukup jauh menuju kota Genteng, Banyuwangi.

Sampai di daerah Kalibaru, mobil berhenti, mereka hendak menikmati sarapan pagi di warung kaki lima. Pecel pincuk menjadi menu khas di warung tersebut, sembari menikmati pemandangan disekitar yang begitu dingin, hawa sejuk menerpa kulit dari rimbunnya hutan pinus disekitar. Shofia nampak malas, ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan garpu.

“Kok nggak dimakan, Shof?” selidik Roya.

“Aku lagi males, Roy.” Shofia nampak tak bersemangat.

“Kenapa?”

“Sudah setengah bulan ini Mas Riyan nggak ada kasih kabar. Biasanya dia kirim surat lewat ibu kalau pas ibu datang berkunjung,”

Riyan adalah tunangan Shofia, mereka telah terikat sejak Shofia masih duduk dibangku kelas Tsanawiyah. Roya menghembuskan napasnya pelan.

“Santai, kali aja dia lagi sibuk.”

“Aku takut dia berpindah ke lain hati, Roy,” tukas Shofia yang mulai khawatir.

“Nggak mungkin. Jangan keburu su’udz dzan, Shof. Cowok kayak Riyan itu tipe laki-laki setia,”

“Sok tahu kamu, Roy.”

Roya mulai menjelaskan tipe laki-laki setia dan juga playboy menurutnya. Sikap tomboy yang dimilikinya sejak kecil membuatnya memahami laki-laki. Bagaimana karakter laki-laki ketika serius mencintai seorang wanita, begitu juga sebaliknya, laki-laki yang hanya mengumbar janji pada wanita. Roya menjelaskan semuanya secara gamblang. Ia juga banyak memberi tahu rekan-rekannya akan tipe wanita idaman pria.

Sejatinya laki-laki lebih suka kepada wanita yang santun, shalihah, dan baik akhlaknya. Seberandal apapun mereka, tetap saja mereka mendambakan pendamping hidup yang baik untuk mereka, dan juga ibu yang baik untuk anak-anak mereka. Roya juga mengingatkan jika laki-laki itu ibarat kucing, jangan sekali-kali memberi kesempatan kepada mereka untuk memberikan apa yang tak berhak mereka miliki sebelum sah dalam ikatan suci pernikahan

Laki-laki kerap menggoda kaum hawa sekenanya, dengan berbagai cara. Mereka suka menguji keteguhan seorang wanita, apakah pasangan mereka teguh pendirian, atau mudah terpancing rayuan gombal. Sungguh sangat miris sekali jika hanya gara-gara setangkai bunga dan sebungkus coklat bermodalkan janji-janji cinta, kaum hawa dengan mudahnya menyerahkan kehormatannya. Sekali laki-laki berhasil menyentuh tangan seorang wanita, maka ia akan terus mengejar untuk mendapatkan semuanya. Meski tak semua laki-laki demikian.

“Ya ampun, Roya. Serem banget ya?” komentar Lili.

Roya menganggukkan kepala sembari menyeruput es jeruknya.

“Sebentar-sebentar, kamu kok bisa faham banget sih soal laki-laki. Apa jagan-jangan sebenarnya kamu….” Ulin turut menimpali.

“Jangan-jangan apa, Lin?”

“Jangan-jangan kamu ini cowok yang lagi nyamar?” Ulin sengaja menggoda rekannya.

“Ngawur! Aku cewek tulen, Lin. Kalau nggak percaya periksa aja,” Roya mulai kesal.

Ulin dan lain mulai tertawa melihat wajah Roya yang diliputi kekesalan. Usai menikmati makan siang, perjalanan pun dilanjutkan sampai ke lokasi acara di daerah Genteng, Banyuwangi.

Para santri putri saling berbisik saat melihat gerombolan pemuda sedang berdiri di depan janur kuning yang melengkung, beberapa diantara mereka sengaja menggoda dengan mengucap salam. Para santri putri segera mempercepat langkahnya dengan menutup wajah mereka menggunakan ujung jilbab segi empat yang mereka kenakan. Roya bertugas membacakan Shalawat Diba’iyah dengan suaranya yang merdu. Sedang Shofia bertindak sebagai Qori’ah. Ia mebacakan awal surat An-Nisa’ tentang pernikahan.

Malam hari segenap pengurus pesantren Salafiyah menggelar rapat, Haul Kiai Muzhaffir pendiri pesantren Salafiyah akan diadakan. Mereka membentuk panitia acara mulai dari seksi konsumsi, keamanan, serta perlengkapan. Roya ditunjuk menjadi ketua seksi perlengkapan. Agenda acara diawali dengan khatmil Quran bil ghoib, yaitu hataman Quran yang dibacakan oleh santri-santri huffadz. Sedang santri lain menyimak.

(Bersambung ke Bagian ke 3)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.