BerandaReligiJendela PesantrenGus Saif, Tokoh Pesantren "Anti Mainstream"

Gus Saif, Tokoh Pesantren “Anti Mainstream”

Sejarah singkat Kiai M.A. Saiful Ridjal alias Gus Saif

Dikutip dari Buku berjudul “Guru Ngaji, Masyarakat dan Pemimpin Yang Baik” (Menuju Reformasi Kultural) oleh Abdul Rahman terbitan LISANTARA, Januari 2007.

Xposfile, Jember – Gus Saif yang lahir pada tanggal 28 Juli tahun 1955 merupakan putra kelima atau putra bungsu Kiai Abdul Chalim Shiddiq dari istri pertama,Nyai Chayat Muzayyanah. Dan dalam ingatan Nyai Laily (Istri kedua Kiai Abdul Chalim Shiddiq) bertepatan dengan jatuhnya kabinet Ali. Mungkin dikarenakan Kiai Abdul Chalim Shiddiq merupakan tokoh Masyumi pada saat itu, maka peristiwa politik di ibu kota telah menjadi tanda pengingat bagi keluarga bahwa kelahiran Gus Saif bertepatan dengan jatuhnya Kabinet Ali.

Komplek Pondok Ashidiqi Putri Jalan Kiai Shiddiq No. 82 Jember, telah menjadi saksi dan tempat dimana Gus Saif tumbuh dan dibesarkan. Lingkungan pesantren dengan segala corak dan tradisi bani Shiddiq juga mewarnai pertumbuhan Gus Saif, termasuk dalam hal tempaan spiritualnya.

Karier pendidikan formalnya dilalui dengan memasuki Sekolah Rakyat Islam (SRI) dan kemudian melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Islam (SMPI) di jalan KH Shiddiq kawasan Talangsari. Pada saat usianya menginjak empat belas tahun, tepatnya pada tahun 1971, sang ayah, Kiai Abdul Chalim Shiddiq dipanggil pulang ke rahmatullah. Maka perinteraksian intelektual dengan sang ayah yang juga dikenal sebagai tokoh ulama itu tidak banyak terjadi. Fase fase berikutnya dihabiskan untuk mendalami masalah masalah keagamaan dan spiritualitas di Pondok Pesantren. Selanjutnya sketsa hidup dan aktivitas dakwah Kiai MA Saiful Ridjal atau sering disapa Gus Saif, penulis ilustrasikan sebagai berikut (Hal 280)

Menjadi Santri Sidogiri

Sebagaimana lazimnya putra-putra pimpinan Pondok Pesantren, tradisi nyantri ke ulama dan pesantren diluar pondoknya juga dialami Gus Saif. Maka selepas SMI dan sepeninggal abahnya, Gus Saif dikirim oleh keluarganya untuk mendalami masalah-masalah keagamaan dan spiritualitas di Pesantren Sidogiri-Pasuruan. Pesantren ini dikenal sebagai pondok tua dan telah melahirkan banyak tokoh agama di Jawa Timur. Konon, Kiai Cholil Bangkalan juga pernah menyerap ilmu di Pondok ini.

Beberapa saat memasuki arena pendidikan di Pondok Sidogiri, jiwa dan sifat-sifat sebagai sosok orang merdeka mulai nampak pada diri Gus Saif. Hal itu terlihat dari ketidakbetahannya mengikuti rutinitas dan formalitas pondok dengan mengikuti mata pelajaran secara tertib. Padahal Pesantren Sidogiri dikenal sangat disiplin dalam menerapkan etika pesantren, termasuk tertib dalam mengikuti mata pelajaran, tawadhu’ terhadap ustadz dan Kiai pimpinan Pondok Pesantren. Dalam atmosfere pesantren seperti itu, kemerdekaan jiwa Gus Saif dapat dikategorikan sebagai pembangkang terhadap tradisi dan etika pesantren.

Anehnya, kemerdekaan jiwa Gus Saif ini justru ditangkap dan diperlakukan istimewa oleh Kiai Cholil Nawawi, pimpinan pondok pesantren pada saat itu. Kiai Cholil Nawawi dikenal sebagai ulama yang zuhud dan istiqomah. Suatu ketika Gus Saif mengutarakan ketidak-betahannya itu dengan bahasa santri. “Kiai… bagaimana saya ini. Saya merasa bodoh. Tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik”, ungkap Gus Saif kepada Kai Cholil Nawawi. Anehnya, Kiai Cholil Nawawi justru menyikapinya dengan arif. “Ndak apa-apa, yang penting mengikuti pelajaran. Kamu harus tertib absen, langsung denganku”, jawab Kiai Cholil Nawawi pada saat itu.

Absen secara langsung kepada Kiai Cholil Nawawi merupakan aktivitas sehari-hari Gus Saif. Absen yang dimaksud bukanlah absen dengan dipanggil didalam dikelas, akan tetapi harus melakukan jabat tangan dengan Kiai Cholil Nawawi selepas sholat fardhu. “Setiap selesai sholat fardu, saya harus selalu ada dibelakang Kiai dan menjabat tangannya. Kalau tidak, Kiai Cholil Nawawi akan menanyakan ada dimana saya”, tutur Gus Saif mengenang saat-saat itu. Gus Saif juga menuturkan bahwa sebenarnya sudah menjadi hukum tidak tertulis di pondok, dimana santri tidak etis (lancang) jika berkomunikasi secara langsung dengan Kiai Maka aktivitas absen khusus kepada Kiai secara langsung setiap selesai sholat fardhu, merupakan hal yang tidak lazim. Begitu pula dalam hal penempatan asrama. Gus Saif tidak ditempatkan di asrama santri kebanyakan, akan tetapi di kamarnya Mas Abdul Djalil, adiknya Kiai Cholil Nawawi. Fasilitas itu dirasakan sebagai bentuk perlakuan yang istimewa pada dirinya.

Absen khusus itu membuat Gus Saif dapat mengamati praktek sehari-hari Kiai Cholil Nawawi yang dipenuhi kezuhudan dan keistiqomahan. Keteladanan Kiai Cholil Nawawi yang dipenuhi sikap zuhud dan istiqomah itu telah merasuk kedalam jiwa Gus Saif sehingga bayangan Kiai Cholil Nawawi selalu hadir dalam hidupnya. “Bayangan Kiai Cholil selalu hadir dalam hidup saya. Bahkan saya menganggapnya sebagai orang tua secara lahir dan batin”, ungkap Gus Saif kepada penulis

Menurut Gus Saif, Kiai Cholil Nawawi merupakan sosok tauladan dalam hal zuhud dan istiqomah serta keluasan jiwanya. Kiai Cholil Nawawi tidak mudah dalam menjatuhkan vonis terhadap sesuatu yang kelihatannya musykil (menyimpang dari Nawawi (adiknya) menyampaikan protes keras kepada Kiai Cholil Nawawi, seputar Majelis Ulama Indonesia yang dalam menyikapi berbagai fenomena keummatan. Kiai Cholil Nawawi memberi solusi atas protes adiknya itu tanpa menjatuhkan vonis, namun dengan sikap sebagai guru bangsa dan guru masyarakat.

Selepas dari pondok Sidogiri, keteladanan sikap zuhud dan istiqomah Kiai Cholil yang telah merasuk kedalam diri Gus Saif ini mendapat penegasan dari Kiai Hamim Djazuli. Suatu ketika Kiai Chamim Djazuli memberi dawuh (pesan) kepada Gus Saif agar meniatkan diri untuk nawaitul faqra (berniat menjadi orang fakir). Dawuh itu kemudian di tanyakan kepada pamanya, Kiai Achmad Shiddiq. Bahwa maksud nawaitul faqra itu memiliki pengertian: “jadikanlah dunia sebatas ditelapak tangan. Jangan ditempatkan dihati”.

Penjelasan pamanya itu menjadikan Gus Saif menyadari bahwa perinteraksian secara khusus dengan Kiai Cholil Nawawi tidak lain merupakan bentuk bimbingan spiritual agar dirinya mampu menempatkan dunia dengan segala keindahanya dalam batasan proporsional. Sebuah sikap hati agar mampu menempatkan dunia dengan segala keindahan lahiriyahnya tidak menjadi budak jiwa, akan tetapi mengelolanya sebagai instrumen dalam mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa.

Filosofi “menempatkan dunia sebatas telapak tangan dan tidak dimasukkan dalam hati” sering disalah artikan. Tidak sedikit orang yang memahaminya sebagai bentuk toleransi terhadap sikap malas dalam bekerja. Padahal prinsip itu merupakan gambaran dari sikap hati agar tidak diperbudak oleh harta dunia, termasuk bagi orang yang bergelimang harta sekalipun. Artinya merupakan kemampuan hati dalam menempatkan bergelimangnya harta benda yang ada disekelilingnya sebatas instrumen dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pengembaraan Spiritual

Walaupun sudah diberikan bimbingan khusus oleh Kiai Cholil Nawawi, namun jiwa merdeka Gus Saif tidak merasa cukup puas dengan hanya menggali rahasia kehidupan di Pondok Pesantren Sidogiri. Masih dalam status bimbingan Kiai Cholil Nawawi, dirinya melakukan tabarukan (silaturakhim kepada pesantren dan ulama otoritatif dalam rangka meminta do’a maupun barokahnya). Penulis memaknai tabarukan ini sebagai bentuk pengembaraan spiritual dalam rangka menggali filosofi hidup, rahasia hidup, keluasan keilmuan, kedalaman spiritual dan keluhuran jiwa para ulama otoritatif. Dalam rangka tabarukan ini, Pondok Al Hidayah Lasem (pondoknya Mbah Maksum Lasem) dan Kiai Arwani-Kudus) sebagai tempat yang dituju.

Pada saat terbuai oleh kenikmatan pengembaraan, dirinya mendapat instruksi dari Kiai Hamid-Pasuruan yang masih pamannya itu untuk segera menikah. Maka Gus Saif mempersunting Ning Ida Wahyuni, seorang santriwati di Pondok pesantren abahnya, Ashidiqi Putri. Ning Ida merupakan putri dari Bapak Sunyoto, Maesan, Bondowoso, seorang alumni Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, tepatnya merupakan adik angkatan Dr. Nurcholis Madjid.

Setelah akad nikah, Gus Saif tidak justru berdiam diri di Pondok Pesantrennya, Ashidiqi Putri. Jiwa pengembaraanya belum merasa cukup dalam mendalami rahasia hidup. Pesantren Sidogiri merupakan tempat yang dituju untuk menuntaskan dalam mendalami rahasia hidup itu, berikut memboyong istrinya untuk turut serta. “Saya bulan madu di Pondok”, kenang Gus Saif. Penuntasan pengembaraannya itu dilakukan hingga wafatnya Kiai Cholil Nawawi.

Melalui pernikahanya itu Gus Saif telah dikaruniai empat orang putra dan satu orang putri. Putra keduanya telah dipanggil kehadapan rahmatullah dalam usia masih muda.

Kelas Khusus Kiai Acmad Shiddiq dan Kiai Chamim Djazuli

Gus Saif memulai pengabdianya mengembangkan Pondok Pesantren Ashiddiqi Puteri, membantu kakaknya Kiai Syawqi dan anggota keluarga yang lain untuk meneruskan pengembangan pondok rintisan abahnya, Kiai Abdul Chalim Shiddiq. Namun demikian keinginan untuk mengarungi samudra ilmu dan rahasia kehidupan belumlah menjadikan dirinya puas dengan bekal yang telah dimilikinya.

Tokoh yang dituju adalah Kiai Acmad Shiddiq dan Kiai Chamim Djazuli, dua tokoh yang pada penghujung era tahun 1980-an telah berhasil melakukan warming up (pemanasan) dalam gerakan spiritual dan pembaharuan pemikiran keummatan dalam konteks kebangsaan dan kenusantaraan. Keduanya menjadikan Jember sebagai markas gerakannya (Kiai Chamim Djazuli berada di Jember antara tahun 1970-1978), Kiai Achmad Shiddiq merupakan pamanya sendiri. Secara geografis maupun psikologis mudah dijangkau untuk diserap keluasan ilmu maupun kedalaman spiritualnya.

Kemerdekaan berfikir dan sikap yang berada pada sosok Gus Saif, menjadikan pola interaksi dengan kedua tokoh besar tersebut tidak dalam etika pola interaksi antara santri dan Kiai Pola interaksi dengan Kiai Achmad Shiddiq dilakukan secara dialogis dimana Gus Saif lebih banyak bertanya dan protes dalam berbagai hal.

“Saya tidak cocok dengan pola komunikasi satu arah dengan hanya mendengarkan nasehat-nasehat dari Kiai Achmad. Saya banyak bertanya dan protes, dengan begitu saya bisa menggali substansi dibalik apa yang terjadi, urai Gus Saif memberi alasan tentang pola interaksinya dengan Kiai Achmad Shiddiq.

“Kenakalan sikap” Gus Saif jelas berbanding terbalik dengan budaya santri yang mengharuskan tawadhu’ kepada gurunya. Namun dirinya memberi argumentasi bahwa sikapnya itu dalam rangka menggali banyak wawasan yang tidak banyak akan didapatkan ketika menempatkan dirinya secara pasif. Komunikasi dialektis dengan Kiai Achmad dilakukannya selama satu jam setiap habis sholat Jum’at dan hal itu berlangsung satu tahun penuh, selain dialog yang dilakukannya secara insidental.

Berbagai bentuk komunikasi dialektis tersebut penulis ilustrasikan sebagai berikut:

Suatu ketika Kiai Achmad tampak akan bepergian dan sedang menunggu seseorang. Sementara keinginan Gus Saif untuk berdiskusi dan tahu masalah yang detail detail sangat kuat. “Bade tindak pundi mi (paman mau kemana)?”, tanya Gus Saif. “Iki tuku songkok, arepe menyang Korem, acara tahlil, khaul leluhur pejuang kemerdekaan (ini mau beli songkok, untuk pergi ke Korem, acara tahlil mendoakan para leluhur pejuang kemerdekaan)”, jawab Kiai Achmad. Layaknya seorang santri, jawaban pertanyaan itu sudah cukup dan tidak berani bertanya-tanya lagi. Namun Gus Saif tidak menghentikan pertanyaanya; “terus maksude acara niku nopo mi (terus maksud acara itu apa paman)?”. Kiai Achmad menjawab lagi; “yo… iki duwe duwene wong NU sing wis dilakoni wong liyo (ya ini, bidang garapnya orang NU tapi sudah dikerjakan orang lain)”.

Jawaban-jawaban itu belum menjadikan Gus Saif menghentikan cecaran-cecaran pertanyaan. akhirnya Kiai Achmad memberi penjelasan secara panjang lebar dan Gus Saif dapat menangkap kegelisahan melihat realitas keummatan dan kebangsaan. NU secara organisasi telah menjadi kekuatan sosial keagamaan yang berada pamannya amat besar. Akan tetapi banyak komponen yang didalamnya masih terjebak pada kultus wadah dan belum a dalam mampu menangkap elan vital (ruh gerakan), sehingga banyak pekerjaan yang mestinya menjadi bidang garapnya masih banyak yang tercecer. Sementara eksponen masyarakat yang lain justru proaktif melakukannya.

Melalui diskusi itu Gus Saif diajak untuk memetakan kekuatan dan kelemahan ormas keagamaan sebagai roda penggerak perjuangan ummat. Hal yang paling mendasar adalah membangun kesadaran dan membuka wawasan para anggota organisasi untuk dapat memanfaatkan seluruh potensi yang ada bagi sebesar besarnya perjuangan ummat. Bukan menjadikan organisasi sebagai ajang kebanggaan belaka.

Komunikasi dialektis juga terjadi ketika Kiai Achmad pulang dari Muktamar Situbondo. Gus Saif pada saat itu nyanggong (menunggu) dan langsung bertanya; “menopo oleh-olehe mi (paman.. apa oleh-olehnya dari muktamar)?”. “Aku koyo oleh emas sak gunung (saya seperti mendapat emas satu gunung)”, jawab Kiai Achmad. “Lhoh… kok ngaten mi (lho kok begitu paman)?”, tanya Gus Saif lagi. “Pak Harto dalam kapasitas sebagai presiden menyatakan bahwa NU tidak pernah melakukan konfrontasi dengan pemerintah. Pernyataan itu pasti menjadi dokumen negara”, Jawab Kiai Achmad.

Jawaban itupun tidak luput dari cecaran pertanyaan pertanyaan berikutnya. Namun Kiai Achmad secara telaten menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sehingga Gus Saif merasa puas. Dari jawaban-jawaban Kiai Achmad akhirnya diketahui bahwa pernyataan Presiden itu memiliki makna politis yang amat mendalam dalam kaitan antara negara dan NU. Pernyataan itu akan membangkitkan rasa percaya diri bagi warga NU dan terlepas dari rasa rendah diri (inferiorisme complex) di hadapan negara. Pada era sebelumnya sangat dirasakan keberadaan NU terpingirkan (terpheriperalisasi). NU dipersepsikan sebagai komunitas tradisional dan dianggap tidak kompeten untuk diajak menentukan arah kebijakan negara. Sebagai hiburan, porsi menteri agama telah dirasa cukup untuk mewakili ormas terbesar di Indonesia ini.

Kelas khusus Kepada Kiai Achmad tentang persoalan-persoalan ke-ummatan, kebangsaan dan kenegaraan.

Apabila NU telah diakui sebagai komponen bangsa yang tidak pernah konfrontasi dengan pemerintah, maka keberadaan NU semakin leluasa. Aktivitasnya dalam rangka perjuangan dakwah tidak dicurigai dan semakin leluasa melakukan pembinaan ummat. Berbeda ketika dianggap berseberangan dengan pemerintah, maka ruang geraknya menjadi sempit dan agenda-agenda pembinaan ummat akan tersendat.

Pernyataan Presiden Soeharto itu tampaknya berkaitan dengan penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila. Hal itu berkat Kiai Achmad Shiddiq yang sangat genial dalam menjabarkan perbedaan asas, ideologi dan aqidah. Begitu pula terhadap sikapnya yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari seluruh upaya bangsa Indonesia.

Dialog-dialog insidentil antara Gus Saif dengan Kiai Achmad Shiddiq juga tidak jarang dilakukan. Seperti halnya ketika Gus Saif bertemu Kiai Achmad di Jl. SMEA Wonokromo Surabaya. Seperti biasanya Gus Saif mengajukan pertanyaan terlebih dahulu, “bade tindak pundi mi (paman mau kemana)? “Arepe menyang Jakarta. Iki lho… Pak Harto kok ngerti-ngertine lek aku nang kene”? (Mau ke Jakarta. Ini lho.. Pak Harto (Presiden) kok tau-taunya kalau aku disini). Seperti biasanya, jawaban itu bersambung dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun berikutnya. Dan seperti biasanyanya pula, Kiai Achmad menjelaskannya secara telaten.

Penjelasan-penjelasan Kiai Achmad telah menjadikan Gus Saif mengetahui seluk beluk Pak Harto. Sosok penguasa yang sangat powerful dan mampu melakukan kontrol terhadap semua segmen lapisan masyarakat. sehingga setiap gerakan masyarakat tidak lepas dari pantauanya. Begitu pula dalam hal kedekatan Kiai Achmad dengan Pak Harto, ternyata didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:

man wa ‘adho akhoohu fima bainahu, wabainahu faqad wa ‘akhohu (Barang siapa menasehati secara face to face, maka itulah sebenar-benarnya nasehat) waman wa’adhohu ‘alaa ruuusil syuhadi faqad bakatahu (Barang siapa menasehati didepan banyak orang, maka sama dengan mencaci/melecehkan.)

Prinsip itu menjadi dasar kenapa Kiai Achmad bersedia berkomunikasi secara face to face dengan Pak Harto. Dengan berpegang prinsip itu, setiap pemimpin ataupun tokoh masyarakat dapat menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapi tanpa harus membenturkan masyarakat yang ada dibawahnya. 

Seingat Gus Saif, selama Kiai Achmad menjabat sebagai rais aam PBNU, tidak pernah terjadi perbedaan hari raya antara pemerintah dengan NU. Tampaknya Kiai Achmad menerapkan prinsip itu untuk mengeliminasi terjadinya perbedaan.

Walaupun Kiai Achmad bersedia berkomunikasi dengan Pak Harto, ia tetap menjaga muru’ah sebagai ulama. Gus Saif tidak pernah melihat adanya reward (hadiah) material yang diraih Kiai Achmad dalam kedekatanya dengan Pak Harto. Walaupun menurut sepengetahuanya, Kiai Achmad memiliki free pass untuk bisa bertemu setiap saat dengan Pak Harto. Prinsip itu sering dimanfaatkan secara keliru oleh tokoh-tokoh agama pada generasi sesudahnya. Kedekatanya dengan penguasa sering dijadikan sebagai sarana mengambil keuntungan material dan tidak jarang mengorbankan hak-hak ummat dan rakyat secara keseluruhan.

Gus Saif juga menuturkan bahwa dengan serangkaian komunikasi dialektis itu dirinya memperoleh informasi bahwa sebenarnya Kiai-kiai sepuh mengharapkan Pak Harto bisa bertahan paling tidak hingga tahun 2000. Namun para Kiai sepuh itu telah banyak yang dipanggil terlebih dahulu oleh yang maha kuasa. Karena itu ketika pada tahun 1998 gelombang reformasi tidak bisa ditahan,tidak terdapat figur Kiai yang dapat menjelaskan kepada publik tentang pandangan spiritual Kiai-Kiai sepuh itu. “Sebenarnya perlu ditelusuri, siapa yang memicu pelaksanaan reformasi sebelum waktunya itu, sehingga berbagai kerumitan persoalan kebangsaan hampir-hampir saja tidak bisa ditangani pasca reformasi tahun 1998”, ungkap Gus Saif kepada penulis sambil berseloroh.

Kelas khusus dalam bentuk dialog dengan Kiai Achmad telah menjadikan Gus Saif banyak menyerap persoalan-persoalan keummatan, kebangsaan dan kenegaraan. Melalui Kiai Achmad Shiddiq, persoalan persoalan keummatan, kebangsaan dan kenegaraan itu telah didalaminya dan dijadikan sebagai bekal menempatkan diri dalam altar perjuangan kemasyarakan dan keummatan pada fase-fase berikutnya.

Berkenaan interaksinya dengan Kiai Hamim Djazuli, Gus Saif tidak menempatkan dirinya dalam pola interaksi antara murid dan guru, antara santri dan Kiai Gus Saif mempersepsikan sosok Kiai Chamim Djazuli sebagai adviser (penasehat) atau konsultan kehidupan yang sewaktu-waktu dijadikan sebagai tempat berkonsultasi dalam berbagai persoalan.

Gus Saif mengungkapkan, jika Kiai Cholil Nawawi dipersepsikan sebagai peletak dasar sekaligus suri tauladan dalam masalah-masalah syari’ah, maka Kiai Chamim Djazuli memberikan arahan berkenaan kontekstualisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Kiai Achmad memberikan corak berfikir berkenaan dengan wawasan kebangsaan dan keummatan.

Berusaha Keluar dari Pesantren

Waktu demi waktu semakin berlalu, usia dan kematangan Gus Saif semakin bertambah. Namun sifat-sifat dan kemerdekaan jiwa yang melekat pada dirinya tidak berubah.

Suatu ketika Gus Saif menemui Kiai Chamim Djazuli untuk minta izin dan menyatakan bahwa dirinya memiliki dorongan kuat untuk keluar dari Pondok Ashidiqi Puteri yang dirintis abahnya. Padahal keberadaan Gus Saif di pondok itu lebih banyak diperlukan dalam peran-peran manajerial selain sebagai pengasuh.

“Hidup di pondok seperti dineraka”, ungkapnya pada Kiai Chamim Djazuli suatu ketika. Berdasar keterangan Gus Saif, tidak kurang dari lima kali dirinya meminta izin Kiai Chamim Djazuli untuk keluar dari pondok Ashiddiqi Putri. Namun sebanyak itu pula Kiai Chamim Djazuli melarang dan menegaskan bahwa dirinya harus membantu kakaknya, Kiai Syawqi mengembangkan Pondok. Belum dirasa cukup berkonsultasi dengan Kiai Chamim Djazuli, Gus Saif meminta izin kepada pamanya, Kiai Achmad Shiddiq. Namun jawaban serupa juga yang didapatkannya. Begitu pula dengan Kiai Hamid-Pasuruan, secara implisit juga menegaskan bahwa dirinya harus tetap berada dipondok untuk mengembangkannya.

Pada sebuah kesempatan, Gus Saif menuturkan bahwa niat dirinya keluar dari pondok adalah untuk pindah ke Kabupaten Bondowoso. Tepatnya di Desa Tanah Wulan Kecamatan Maesan, rumah mertuanya berada. Menurutnya, daerah itu secara spiritual masih gersang karena tidak ada pembinaan. “Tidak satupun lembaga pendidikan Islam berada di daerah itu”, tuturnya. Sebuah tantangan dakwah dan sekaligus menjadi pendorong agar dirinya membenahi kegersangan spiritual masyarakat disana.

Sedangkan di Pondok Ashri, dirinya tinggal melanjutkan apa yang telah dirintis abahnya, sementara saudara saudaranya yang lain juga telah menanganinya. Maka, Gus Saif merasa perlu tantangan baru untuk dapat menorehkan peran dalam pengabdian kemasya-rakatan dan keummataan. “Umumnya, pelanjut pesantren diuntungkan oleh prestasi dan nama besar perintisnya. Maka segala kemudahan akses dan penghormatan yang pernah diterima perintis, akan dengan mudah dinikmati pelanjutnya. Kalau tidak disikapi secara hati-hati, disinilah awal mula munculnya feodalisme berkedok keagamaan. Sosok penerus nama besar pesantren yang tidak banyak berprestasi dalam perjuangan ummat namun dimanja oleh kemudahan dan penghormatan. Bahkan terbuai oleh situasi itu, ungkap Gus Saif memberi argumentasi kepada penulis.

Penuturan Gus Saif itu memberitahu kita bahwa dorongan kuat untuk keluar dari pesantren sebenarnya dipicu oleh kesadaran diri untuk tidak terjebak oleh feodalisme berbungkus keagamaan. Dirinya tidak ingin terbuai oleh kemudahan dan penghormatan akibat nama besar keluarganya. Gus Saif bermaksud menorehkan prestasinya dalam melakukan pembinaan dan pelayanan ummat dalam medan sesulit apapun. Karena pada esensinya pengakuan ketokohan terhadap generasi pendahulunya juga disebabkan oleh peranannya dalam pembinaan dan pelayanan ummat. Makna “hidup dipondok seperti di neraka” bukan berarti suasana pondok tidak kondusif, akan tetapi merupakan bentuk kegelisahan spiritual pribadinya untuk dapat memberi pelayanan dan pembinaan ummat di daera-daerah yang sangat memer-lukan dukungan. “Saya perlu terjun di daerah yang fakir imannya”, ungkapnya.

Namun demikian, pertimbangan spiritual Kiai Chamim Djazuli, Kiai Achmad Shiddiq dan Kiai Hamid-Pasuruan agar dirinya tidak meninggalkan pondok Ashidiqi pun tentunya bukan tanpa dasar. Mungkin saja dikarenakan Gus Saif memiliki kelebihan dalam hal manajerial kepesantrenan dan hal itu sangat dibutuhkan bagi pengembangan Pondok Ashri. Sedangkan Kiai Syawqi lebih menonjol dalam hal tasawuf dan khasanah-khasanah yang berkenaan dengan pesantren salaf. Maka perpaduan keduanya akan menjadi energi dalam pengembangan pesantren rintisan abahnya itu.

Larangan meninggalkan pesantren oleh tokoh-tokoh ulama otoritatif, dan di sisi lain adanya keinginan kuat untuk beraktualisasi dalam medan perjuangan yang berbeda telah mengantarkan dirinya pada kumparan konflik batin. Kemerdekaan jiwanya tetap tidak bisa diajak kompromi untuk mengurungkan niatnya melakukan aktualisasi secara penuh di luar pondok. Pernah suatu ketika Gus Saif ditawari sebidang tanah wakaf apabila berkenan mengembangkan dakwah di Kabupaten Bondowoso. Pada saat itu Gus Saif mampu meredam dorongan batin untuk keluar dari pondok dan mengikuti nasehat pamannya, Kiai Achmad Shiddiq sehingga mengurungkan niatnya keluar dari pondok. Sebidang tanah wakaf itu akhirnya diserahkannya kepada orang lain untuk mengelolanya. Namun bukan berarti peristiwa itu telah memadamkan dorongan jiwanya untuk meninggalkan pondok. Semakin kuat usaha membenamkan dorongan itu, semakin kuat pula keinginan untuk melawannya.

Untuk mengakomodasi kedua arus besar dalam dirinya, Gus Saif menyiasatinya dengan meniatkan tidak pernah pindah dari pondok, namun aktivitas fisiknya lebih banyak dihabiskan di Kabupaten Bondowoso. Maka sejak tahun 1990 Gus Saif lebih banyak berdomisili di Maesan Bondowoso untuk merintis berdirinya lembaga pendidikan Islam. Melalui Yasasan Sabieliel Muttaqien, Gus Saif merintis berdirinya Masjid, Madrasah dan pada saat ini telah berdiri pula SMK di kawasan itu.

Kehadiran Gus Saif di kawasan Bondowoso memperoleh apresiasi positif dari masyarakat. Hal yang tak pernah di duga dan direncanakanya, pada tahun 1999 dirinya diminta masyarakat untuk bersedia menjadi ketua MWC NU Kecamatan Marsan. Gus Saif menuturkan bahwa kesediaan menjadi ketua MWC NU dilatarbelakangi oleh keresahan situasi politik mengarah terjadinya perpecahan keutuhan ummat. Seiring gerakan reformasi pada tahun 1999, banyak bermunculan partai politik Islam dan kehadiranya berpotensi menimbulkan perpecahan ummat dalam memperebutkan konstituen. “Saya resah melihat pelaku-pelaku politik, baik mereka sadari ataupun tidak, perilaku mereka telah mengadu ummat”, ungkapnya kepada penulis. 

Maka ketika terpilih menjadi ketua MWC NU, Gus Saif mengundang porpol besar di Kabupaten ini dan mengkondisikannya agar tidak menambah intensitas konflik sehingga memecah belah keutuhan ummat yang diperebutkan oleh banyak partai. Gus Saif menuturkan bahwa inisiatif mengundang partai politik itu didasarkan pada prinsip sebagaimana disampaikan Sayyidina Ali Ra: “ukhsinu ilaa man asaa’a ilaika”, yang artinya: “baikilah orang yang telah menjelekkan kamu”. Melalui inisiatif itu dimaksudkan agar parpol Islam tidak hanya terlena oleh agenda-agenda politik dalam meraup dukungan. Akan tetapi terdapat tanggungjawab untuk dapatnya mempertahankan keutuhan ummat dalam kompetisi kepartaian.

Selain upaya meredakan ketegangan masyarakat dari dinamika konflik politik, pada saat menjabat sebagai ketua MWC NU, Gus Saif juga turut serta dalam merintis cikal bakal berdirinya Radio TIRAI milik PCNU Bondowoso. Media ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan dakwah di kawasan ini.

Menjadi Ketua PCNU Bondowoso

Waktu semakin bergulir, apresiasi masyarakat Bondowoso terhadap sosok dan kiprah Gus Saif semakin bertambah. Ketika awal tahun 2001 diselenggarakan musyawarah cabang NU, arus besar peserta musyawarah mengharapkan Gus Saif bersedia dicalonkan menjadi ketua umum PCNU. Apresiasi masyarakat Bondowoso ini diluar dugaan mengingat status domisili tidak pernah diakuinya sebagai bentuk kepindahan. Namun berbagai desakan untuk bersedia dicalonkan menjadi ketur umum PCNU tidak bisa dihindari dan tidak ada jalan lain kecuali dirinya harus menerima.

Menyikapi berbagai desakan itu, Gus Saif meminta istikharoh kepada sosok yang dianggap otoritatif melakukannya. Ilustrasi hasil istikharoh itu diungkapkan dalam kalimat: “abot, tapi apik, tugase nahi munkar” (berat tapi baik dan tugasnya nahi munkar). Ilustrasi tanggung jawab nahi munkar (memerangi kebatilan) itu menjadikan Gus Saif tidak dapat menolak untuk dicalonkan menjadi ketua umum PCNU.

Tentunya bukan hanya sekedar aspirasi peserta musyawarah, akan tetapi juga telah menjadi takdir Tuhan, jika pada akhirnya Gus Saif menjadi ketua umum PCNU Bondowoso. Pada awal tahun 2001, dua hari setelah putranya yang nomor dua wafat, tanpa diduga sebelumnya Gus Saif terpilih menjadi ketua umum PCNU Bondowoso. “Saya tidak mengkondisikan agar terpilih menjadi ketua umum PCNU. Bagaimana mengkondisikan. keluarga masih dalam suasana berkabung atas wafatnya anak nomor dua saya”, tuturnya. Konon, terpilihnya Gus Saif merupakan konvergensi dari dua kubu yang secara tradisional berseberangan di Bondowoso.

Kesibukan sebagai ketua umum PCNU tidak membuat kemerdekaan berfikir Gus Saif terkurangi. Beberapa saat setelah terpilih menjadi ketua PCNU, ia segera dikenal sebagai sosok oposisi terhadap berbagai bentuk Penyelewengan pemerintah maupun bentuk-bentuk feodalisme berkedok keagamaan. Gus Saif mengaku dibuat terkejut ketika melalui ormas keagamaan terbesar itu kepekaan intelektual maupun spiritualnya disodori potret sejumlah kejanggalan dalam kehidupan bermasyarakat,

khususnya budaya pragmatisme dikalangan ummat, bahkan tokoh-tokohnya. Dengan berpegang pada tanggung jawab nahi munkar (melawan kebatilan) sebagai motivasi kesediaanya dipilih menjadi Ketua Umum PCNU, Gus Saif tidak bisa untuk tidak memberontak atas kondisi itu Kepada penulis, Gus Saif menuturkan adanya sejumlah kejanggalan yang membuat jiwanya memberontak

Pertama, maraknya fenomena dijadikannya ummat sebagai obyek eksploitasi politik oleh oknum-oknum yang terlanjur dianggap sebagai tokoh ummat di masyarakat. Atas nama kepentingan ummat, oknum ini cukup cerdik memobilisasi potensi-potensi ummat untuk agenda politik praktis. Energi potensi ummat akhirnya terkuras dan agenda pembinaan ummat menjadi tercecer.

Kedua, adanya kecenderungan dijadikannya lembaga keummatan seperti halnya NU sebagai instrumen bargaining (daya tawar) kepentingan pribadi untuk hal-hal pragmatis oleh oknum yang jumlahnya tidak sedikit. Sementara tanggung jawab pemberdayaan dan pelayanan ummat lebih banyak dikesampingkan ketika tidak memiliki kaitan dengan capaian-capaian pragmatis pribadi. Dalam hal ini Gus Saif sering mengulang-ulang ungkapan Kiai Cholil Nawawi kepada H. Naro (ketua PPP), “kita ini sedang mensantrikan NU atau meng-NU kan santri”?. Kalimat itu sering diungkapkan, karena menurutnya etika santri tidak jarang telah dikesampingkan oleh banyak pengurus NU. Begitu pula dalam ajang muktamar NU pada awal tahun 2005 di asrama Haji Donohudan-Solo, dirinya melihat etika ta’lim sudah mulai tercerabut dan tiada jalan lain kecuali walk out sebelum pemilihan. Walaupun hal itu harus dilakukannya seorang diri.

“Saya tidak melihat siapa yang menang dan yang kalah. Saya hanya tidak tahan ketika Kiai Abdurrachman Wachid (Gus Dur) masuk ke ajang muktamar menjelang pemilihan, namun tidak digubris dan dibiarkan sendirian oleh peserta muktamar. Bagaimanapun Gus Dur, sebagai sesepuh NU seharusnya diperlakukan secara proporsional. Animo kompetisi untuk rotasi kepemimpinan ternyata telah menggeser budaya ta’lim dalam organisasi ini”, ungkap Gus Saif dengan meneteskan air mata

Ketiga, banyaknya fenomena penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan anehnya tidak jarang melibatkan kerjasama dengan tokoh kultur untuk menutupi penyimpangan itu. Kerjasama ini menyebabkan masyarakat ketakutan untuk bersikap kritis. Dalam kultur masyarakat tapal kuda, orang-orang yang dianggap tokoh ummat merupakan sosok yang disegani termasuk keengganan melakukan koreksi jika terdapat kesalahan.

Sebagai sosok merdeka sikap kritis terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang dari ruh gerakan NU disampaikannya secara tegas, lugas dan keras. Ketika banyak parpol Islam mencari dukungan kepada NU dan tidak sedikit para pengurusnya berkompetisi dalam agenda politik, Gus Saif melakukan skenario “melimbungkan diri” dengan tidak memberikan ketegasan sikap dan kecenderungan dukungan kepada pihak-pihak tertentu. “NU itu harus menjadi guru masyarakat dan mengayomi semua komponen ummat. Keutuhan ummat harus dijaga”, ungkapnya singkat.

Sikap kritis juga diarahkan kepada tokoh-tokoh ummat yang dipandangnya telah turut serta melegitimasi berbagai bentuk penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan mengintrodusir sebuah hadits Gus Saif sering menekankan bahwa negara akan tegak apabila ulama dan pemimpinya sama-sama baik. Prioritasnya bukan terletak pada adanya kerjasama yang baik, namun semuanya harus bekerja secara baik dalam posisinya masing-masing. Pemerintah melaksanakan tugasnya secara adil dan benar, begitu pula dengan ulamanya juga harus menerapkan ilmunya secara benar. Akan menjadi petaka ketika pemimpin dan orang-orang yang dianggap sebagai ulama berkolaborasi melakukan tindakan yang tidak adil dan menyimpang.

“Apa yang tersisa untuk rakyat, jika elit penguasa dan tokoh-tokoh agama, atau orang-orang yang dianggap Sah sebagai ulama membaur memperdayai rakyat. Bagaimana nasib rakyat jika pemerintah melakukan korupsi dan tokoh-tokoh itu melegitimasinya (mengesahkan)?”, ungkap Gus Saif suatu ketika I dengan nada tanya.

Begitu pula dengan kinerja pemerintah daerah, Kiai Saiful Radjal seringkali memberi dukungan kepada LSM-LSM kes untuk mengkoreksinya. Terdapat beberapa kasus korupsi dan upaya pengungkapanya telah banyak melibatkan Kiai Saiful Radjal sebagai motor penggeraknya.

Selain advokasi terhadap berbagai penyimpangan dan ruh gerakan NU, Kiai Saiful Ridjal juga berusaha melakukan bentuk-bentuk pemberdayaan dan peningkatan pendidikan warga NU pada level bawah. Misalnya penyediaan UPJA (unit pelayanan jasa agrobisnis) dengan mengupayakan traktor bagi MWC, serangkaian pelatihan kebijakan publik bagi masyarakat dan mendirikan sekolah Ma’arif

Selama lima tahun menjabat sebagai ketua PCNU Saul Ridjal dikenal sebagai sosok kritis, tanpa kompromi (No compromize) dalam melakukan upaya-upaya dekonstruksi terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang telah melembaga. Rakyat dijadikannya sebagai fokus pembelaan dari kelompok kuat yang berusaha

Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber di Bondowoso sosok kritis dan kemerdekaan berfikir Kiai Saiful Ridjal dalam mendekontruksi berbagai penyimpangan telah mengundang beragam apresiasi. Pihak-pihak yang merasa terusik, menyikapinya dengan melakukan bentuk-bentuk boikot terhadap langkah kritis Gus Saif. Cara-cara tidak sah pun dilakukan dengan upaya-upaya mempercepat konferensi cabang untuk menggantikan kepemimpinanya. Menyikapi hal ini Gus Saif menanggapinya dengan enteng (tidak dirasakan sebagai hambatan). “Qulil haqqa walau ‘alan nafsi” (katakan yang sebenarnya, walau harus mengenai diri sendiri), tuturnya suatu ketika.

Sementara pihak-pihak yang merasa diuntungkan, menyikapinya dengan cara mengambil manfaat dari sikap oposisionalnya. Mereka memposisikan diri sebagai intermediatory (berada ditengah) antara sikap oposisional Gus Saif disatu sisi dan pihak yang dikritisinya disisi lain. Agenda kelompok ini umumnya berujung pada hal-hal pragmatis. Sedangkan pihak-pihak yang membenarkan langkahnya, umumnya terdiri dari kelompok lemah dan kalangan masyarakat bawah.

Kebijakan oposisional selama memimpin PCNU Bondowoso telah banyak menyita energi Gus Saif. Bahkan motivasi awal kiprahnya dengan tidak disertai oleh etikad kepindahannya ke kota ini hampir saja terlupakan. Etikad itu dibuktikan dengan tidak pernah memboyong istrinya pindah ke kota Bondowoso, namun tetap berdomisili di kompleks Pesantren Ashidiqi Putri jalan Kiai Shiddiq Jember. Begitu pula dalam menentukan ukuran-ukuran prinsipil batas jarak dalam perjalanan untuk dapatnya melakukan sholat jama’, rumah pondok Ashri dijadikan patokan awal keberangkatanya. Maka tantangan untuk mengemban tugas “nahi munkar” ini dikendalikan dari rumah putranya di Kecamatan Maesan Bondowoso.

Gus Saif mengakui tidak dapat mengelak dari asumsi bahwa tantangan berat yang dihadapinya dalam mengemban tanggung jawab nahi munkar selama menjadi ketua umum PCNU Bondowoso, salah satunya dimungkinkan oleh sebab “pembangkanganya” terhadap nasehat Kiai-Kiai sepuh terdahulu. Sebagaimana telah dikupas sebelumnya, Kiai Achmad, Kiai Hamim Djazuli, tidak pernah memberi restu ketika Gus Saif mengutarakan maksudnya untuk pindah ke Bondowoso. Begitu pula dengan Kiai Hamid Pasuruan, secara implisit juga memberi arahan yang sama.

Walaupun berstatus sebagai pendatang dengan tetap tidak mengakui kepindahan domisilinya, Gus Saif telah menjadi icon (simbol) oposisional di kota ini. Sebuah prestasi yang dicapainya dengan mengarungi dua arus besar dalam bathinnya. Ibarat burung terbang, kepakkan sayap satunya menginginkan aktualisasi di luar pondoknya dan terus berkarya di Bondowoso, sementara sayap yang satunya mengajak untuk menuruti nasehat para Kiai terdahulu, mendampingi perjuangan kakaknya, Kiai Syawqi di pondok Ashri.

Tampaknya nasehat Kiai-Kiai sepuh pendahulunya itu dirasakan telah berada dalam momentum untuk tidak bisa dihindari dan dikesampingkan lagi. Maka seiring selesainya desain pengembangan Persada Agung ke daerah-daerah lain di Indonesia dan sekaligus datangnya dukungan Kiai M. Syawqi dalam gerakan ini, pada pertengahan tahun 2004 dibuatlah skenario agar Gus Saif menjadi ketua PCNU Bondowoso dalam satu periode. Inti skenario itu adalah upaya meretas jalan agar Gus Saif lebih berkonsentrasi dalam melakukan upaya-upaya pembinaan ummat bersama kakaknya, dengan tanpa menghentikan lajunya spirit perubahan warga Bondowoso yang dengan mulai adanya keberanian untuk melakukan upaya ditandai dekonstruksi terhadap berbagai penyimpangan yang telah melembaga.

Penerapan sekenario itu dilakukan dengan meningkatkan intensitas advokasi terhadap berbagai penyimpangan sekaligus kaderisasi bagi kalangan muda agar berani bersikap kritis. Serangkaian upaya pembongkaran kasus korupsi dilakukannya dengan memberi dukungan fasilitasi bagi LSM-LSM kritis. Berbagai pelatihan kebijakan publik kepada elemen masyarakat juga dilakukan agar mampu berpatisipasi dalam penyusunan dan kontrol kebijakan. Begitu pula dalam upaya membangkitkan elan vital gerakan NU sebagaimana motivasi awal para pendirinya, Gus Saif melakukan upaya penerjemahan dan penerbitan ulang buku “Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah” karya Kiai Hasyim As’ari untuk dibagikan kepada warga NU Bondowoso. Semua itu dilakukan sebagai pembekalan bagi warga Bondowoso agar memiliki motivasi kuat untuk semakin berdaya manakala dirinya tidak menjabat sebagai ketua PCNU.

Sekenario itu tetap tersimpan rapi hingga konferensi cabang NU Bondowoso pada awal tahun 2006 usai digelar. Intensitas oposisionalnya selama satu setengah tahun menjelang kepemimpinanya berakhir dimaknai secara beragam. Bagi pihak-pihak yang semakin tersudut dengan aksi oposisionalnya tampak sekali berusaha keras mengkonsolidasi kekuatan untuk menghadang aktivitas aktivitas Gus Saif. Bagi pihak yang merasa diuntungkan, menganggap kuat aksi oposisionalnya sebagai bentuk kesediaan, dan atau mengharapkan Gus Saif melanjutkan kepemimpinan NU untuk periode kedua. Gus Saif tidak pernah menyatakan tidak bersedia untuk dicalonkan kembali, walaupun dalam berbagai kesempatan bertemu MWC, dirinya sering mengungkapkan agar jangan dipilih dalam konferensi. Maka ketika konfercab NU digelar, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh aksi oposisionalnya menggalang berbagai kekuatan dan cara untuk menghadang kembalinya Gus Saif memimpin NU. Hasilnya Gus Saif terpaut jauh perolehan suaranya dari kandidat lain dan berhasil untuk tidak dipilih sebagai ketua umum PCNU untuk periode kedua.

Walaupun dengan berbagai konsekwensi, tampaknya skenario itu berhasil mengembalikan Gus Saif untuk memenuhi panggilan nasehat Kiai-Kiai para pendahulunya untuk mendampingi perjuangan kakaknya. Ketika memasuki medan perjuangan di Bondowoso Gus Saif mengarungi dua arus besar dalam batinnya. Ketika kembali dilakukan dengan mengarungi dua arus besar, arus besar ketika masuk Bondowoso adalah dorongan kuat untuk beraktualisasi dalam perjuangan keummatan diluar pondoknya sebagai arus pertama. Dan nasehat beberapa Kiai terdahulu yang melarangnya adalah sebagai arus kedua.

Arus besar ketika keluar dari Bondowoso adalah adanya momentum dimana nasehat para Kiai terdahulu itu dalam kondisi tidak bisa dihindari lagi sebagai arus pertama dan keharusan untuk tetap mempertahankan hasil rintisannya mengobarkan semangat perubahan di Bondowoso yang secara embrional telah mulai tumbuh sebagai arus kedua. Walaupun secara fisik tidak lagi berada di Bondowoso, diharapkan semangat perubahan itu tetap berkobar di tengah-tengah masyarakat Bondowoso. Sebuah skenario untuk tidak membiarkan semangat perubahan yang telah mulai tumbuh itu menjadi pupus dan mati ditengah jalan walaupun tidak harus didampinginya terus menerus.

Menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Persada Agung

Persada Agung telah dirintis berdirinya oleh Gus Saif pada akhir tahun 2001 atau menjelang satu tahun dirinya menjabat sebagai ketua PCNU Bondowoso. Namun hingga awal tahun 2004, Persada Agung baru sebatas gerakan lokal di Bondowoso. Atas desakan berbagai pihak, tepatnya pada bulan Muharram pada awal tahun 2004, Persada Agung di desain dan disepakati pengembanganya ke seluruh Indonesia. Gus Saif terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat dan Kiai Syawqi menjadi Ketua Dewan Pendiri.

Pada fase-fase berikutnya, secara organisasional terus mengalami pembenahan dan upaya sosialisasi dilakukan di berbagai tempat. Lembaga-lembaga otonom mulai dibentuk seperti halnya Lembaga Pertanian Persada Agung dan Koperasi Persada Agung di berbagai daerah. Lembaga lembaga tersebut merupakan sarana pemberdayaan ekonomi Guru Ngaji disamping upaya peningkatan kompetensi dalam hal pengajaran baca tulis Al-Qur’an juga dilakukan.

Semakin hari respon terhadap Persada Agung semakin tinggi dan kesibukan Gus Saif semakin bertambah untuk menghadiri agenda-agenda sosialisasi di berbagai daerah. Hingga awal tahun 2006, aktivitas Gus Saif masih berbagi dengan kesibukannya menjadi ketua PCNU Bondowoso.

Seiring pengembangan-pengembangan tersebut, orientasi gerakan yang ditanamkan Kiai Syawqi dan konstruksi di pengkaderan dalam tubuh Persada Agung yang digagas Gus Saif mulai terlembagakan. Kristalisasi antara Kiai Syawqi dengan tipikal tasawufnya dan Gus Saif dengan upaya membangun kapasitas wawasan kebangsaannya mulai tampak dalam gerakan ini. Dengan semakin fokusnya aktivitas Gus Saif dalam Persada Agung, diharapkan upaya turut serta mendukung Guru Ngaji sebagai ujung tombak perubahan masyarakat akan segera terwujud.