Setahun setelah aku “terpaksa” harus ikut-ikutan belajar untuk bisa menulis berita politik disebuah media online yang bersifat sangat lokal di Kabupaten Jember, akhirnya membuatku sedikit memahami suka dukanya menjadi pekerja media.

Bahwa ternyata tidak mudah membuat sebuah tulisan, apalagi untuk bisa disebut layak dimuat dimedia online kelas ecek-ecek sekalipun. Butuh wawasan dan pengetahuan yang lebih dari cukup untuk bisa menuangkan sebuah kejadian dalam sebuah tulisan yang bertanggung jawab, dipercaya dan berkwalitas.

Dan ternyata, meski melalui tulisannya bisa menarik perhatian pemangku kebijakan untuk kemudian memutuskan satu kebijakan yang diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat, namun terhadap nasib mayoritas wartawan itu sendiri hampir tidak terperhatikan oleh pemerintah. Dan ironisnya, hampir tidak ada satupun elemen (diluar komunitas wartawan itu sendiri) yang berjuang untuk kesejahteraan pribadi dan keluarga wartawan.

Tidak ada jaminan kesehatan, pendidikan, apalagi jaminan hari tua bagi insan pekerja media. Kalaupun ada, itu hanya berlaku di perusahaan media besar level nasional. Bukan perhatian dari pemerintah seperti pada profesi profesi lainnya.

Bahwa realitasnya masih banyak kawan-kawan pekerja media yang memanfaatkan “profesi mulia” ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri, sebenarnya hal itu tidak bisa lepas dari pola kebiasaan pemangku kebijakan dalam “mengapresiasi” pekerja pers.

Hanya demi kasus penyimpangan atau aibnya tidak terpublikasi luas dimata publik, maka sang oknum pejabat akan berupaya “membeli” idealisme profesi jurnalistik dengan segala cara.

Kultur inilah menurutku yang sebetulnya membuka ruang lebar lahirnya oknum-oknum “wartawan abal-abal” yang memang hanya beraktivitas layaknya seperti wartawan, namun senyatanya, mereka hanya sekedar mencari kesalahan dan aib pejabat untuk diperas agar sang pejabat membelinya dengan tarif yang menggiurkan atau malah mencekik leher.

Ketika sang pejabat terpaksa mau bertransaksi, maka berikutnya, tidak akan ada karya jurnalistik yang sebenarnya dibutuhkan publik. Dan aib si pejabat itupun tidak akan pernah terdengar/terbaca publik.

Namun sebaliknya, ketika “transaksi” itu tidak memungkinkan terjadi, maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi.

Kemungkinan pertama, sang pejabat akan menggunakan Aparat Penegak Hukum untuk menjerat si pemeras dengan ancaman pasal pidana pemerasan. Berita yang akan munculpun akan bergeser, bukan lagi soal aib atau penyimpangan sang pejabat, tetapi berita Pemerasan oleh oknum wartawanlah yang akan terbaca publik. Dan sang oknum wartawan itu, mau tidak mau harus merasakan dinginnya krangkeng penjara.

Opini negatif terhadap profesi wartawanpun semakin menemukan ruang untuk menyudutkan profesi mulia yang diakui atau tidak, peran wartawan yang menginvestigasi aib/penyimpangan tersebut, sebenarnya telah meminimalisir ruang gerak bagi pejabat-pejabat “Jahat” untuk melakukan perbuatan perbuatan tercela dan melanggar hukum.

Bagaimana dengan kabar tentang aib dan penyimpangan sang pejabat ? Semuanya akan hilang terlupakan seiring waktu oknum wartawan pemeras itu mendekam di penjara.

Kemungkinan kedua, ketika sang pejabat dan/atau sijurnalis tidak berhasil “mentraksasikan” kejadian tersebut, maka berikutnya, sang wartawanpun akan berupaya membuat produk tulisan untuk bisa diberitakan agar tersampaikan ke ruang publik. Dan sang pejabatpun akan menikmati sanksi sosial sambil menunggu Aparat Penegak Hukum menindaklanjuti kasusnya.

Posisi wartawan seperti itulah yang menakutkan bagi pejabat/penguasa yang punya niat jahat dengan jabatannya. Maka, untuk menghindari terbongkarnya niat jahatnya nanti, sejak awal menjabat, mereka akan berupaya “merawat” sekelompok wartawan dengan fasilitas fasilitas yang mereka kuasai agar mereka lebih leluasa melakukan niat jahatnya tanpa khawatir diiberitakan.

Sebaliknya, bagi pejabat yang sama sekali tidak punya niat jahat, jangankan hanya menghadapi wartawan-wartawan abal-abal, melawan seribu wartawan profesional sekalipun, tidak akan pernah membuatnya gentar menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang mengelola uang rakyat.

Prihatin dengan munculnya wartawan abal-abal seperti itu maka, pemerintah dan organisasi wartawanpun membuat aturan-aturan yang sangat ketat, mulai UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan seterusnya demi melindungi marwah profesi jurnalistik.

Niat baik itu, sayangnya hanya mampu mengatur dari sisi wartawannya. Terhadap niat jahat pejabat untuk “membungkam” wartawan wartawan kritis melalui konspirasi elit bersama pemilik perusahaan media dan petinggi organisasi wartawan, sama sekali belum tersentuh.

Bahkan, kontrak kerjasama media dengan pemerintah mulai pemerintah pusat sampai daerah, semangatnya masih menggunakan pola orde baru. Yakni membuat ketergantungan hidup matinya perusahaan media kepada APBN atau APBD, sehingga pemerintah bisa dengan mudah dan murahnya mengontrol issue dan pemberitaan yang akan diangkat.

Belum pernah terdengar pemerintah membuat program peningkatan pendapatan/gaji wartawan seperti program peningkatan gaji APH &ASN (REMUNERISASI) demi menghindari munculnya pejabat pejabat korup. Meski faktanya, masih ada saja ASN & APH yang berperilaku Korup.

Coba saja perhatikan bagaimana wartawan-wartawan yang setiap harinya menunggu berjam-jam, mengejar kesana kemari satu sosok pejabat demi mendapatkan statmen dari sang pejabat (seringkali hanya satu kalimat No Comment) sebagai bahan membuat berita. Begitu kontrasnya kondisi sosial antara yang diliput dengan yang diliput.

Beberapa pejabat yang murah hati, kadang memberi “uang transport” kepada wartawan-wartawan yang mewancarainya. Entah anggaran dari mana. Dari kantong pribadi sang pejabat atau diambilkan dari operasional sang pejabat, wallahuallam.

Itupun tidak selalu begitu. Bisa jadi, dan sering kali, selesai wawancara, selesai juga semuanya.

Bagi beberapa wartawan “nakal”, kebiasaan nara sumber memberi sesuatu itu jadi harapan tambahan penghasilan diluar gaji dari perusahaan media yang diterimanya.

Realitasnya, ditengah maraknya kelahiran MediaOnline baru, banyak perusahaan media itu sama sekali tidak memberi gaji/penghasilan apapun terhadap produk berita yang dibuat wartawannya. Artinya, penghasilan berprofesi sebagai wartawan, sama sekali tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan penghargaan yang cukup dimata calon mertua, apalagi yang punya sifat materialistis.

Dengan model seperti itu, logikanya, wartawan idealis hanya mungkin akan terlahir dari Perusahaan Media besar yang sudah menguasai segala sumber dan mau memberikan gaji yang layak kepada wartawannya. Diluar itu, kecil kemungkinan bisa terlahir wartawan idealis yang dibutuhkan untuk kebaikan bangsa dan negara.

Bicara tentang wartawan Jember, kalau dihitung-hitung, sebenarnya tidak terlalu banyak. Perkiraanku (karena belum ada data resmi), tidak lebih dari 200an orang yang berprofesi sebagai pekerja media di Jember.

Jelas tidak sebanyak jumlah mahasiswa penerima bea siswa atau guru ngaji penerima honor atau bahkan GTT/PTT yang kesemuanya sudah terperhatikan melalui program pemerintah di APBD Jember.

Kalau saja ada goodwill dari Bupati untuk memperhatikan nasib pekerja media yang jelas-jelas telah memberikan kontribusi terhadap Jember, maka tidak ada kata sulit atau kekurangan anggaran untuk merealisasikannya.

Dengan catatan, apapun nama atau sebutan programnya, wujud perhatian pemerintah kepada wartawan tersebut, semata mata hanya demi melahirkan wartawan-wartawan profesional dan idealis yang tidak mudah terbeli oleh kepentingan jahat dari oknum-oknum pejabat, sekaligus meminimalisir beredarnya wartawan-wartawan abal-abal (*).

Oleh : Kustiono Musri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back To Top