Jember – UUD 45 mengamanatkan, Fakir Miskin dan Anak Terlantar dipelihara oleh Negara, namun, benarkah negara telah hadir untuk memelihara fakir miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan ?
Entah karena salah urus, karena adanya penyimpangan atau karena kekurang pekaan penguasa mulai RT/RW, Kasun, Kepala Desa, Camat atau bahkan Bupati, Gubernur sampai Presiden, amanat mulia dari UUD itu sepertinya masih jauh dari cita cita para pendiri sebuah bangsa yang sebenarnya berlimpah kekayaan.
Kondisi satu keluarga di Dusun Ragang, Desa Plerean Kecamatan Sumber Jambe, Kabupaten Jember Jawa Timur bisa menjadi satu contoh dari kondisi (bahkan bisa jadi ada yang lebih parah) di Kabupaten Jember, bahwa amanat mulia UUD 45 masih belum benar benar bisa dirasakan oleh masyarakatnya sendiri.
Keluarga Sale, pasangan suami istri yang kesehariannya hanya mampu bekerja sebagai buruh tani serabutan, sejak 10 tahun lalu telah dikarunia satu satunya
anak perempuan dengan kondisi mengenaskan. Kurus kering dan tumbuh layu.
Rumah mereka berlantai tanah, baru sebulan lalu rumah mereka teraliri listrik, itupun bukan karena mereka telah mampu berlangganan PLN, namun karena sekedar ketempatan tetangganya pemilik tanah tegal yang butuh rumahnya jadi “rumah meter” sambungan PLN.
Anaknya kelahiran April 2010, diberi nama seperti penyanyi cantik, Siti Nurhaliza, namun nasibnya ternyata tak secantik artis malaysia itu. Sejak usia 5 tahun di 2015 lalu, Lisa panggilannya, menderita sakit yang sampai sekarang tahun 2021, tak pernah sekalipun mendapat “sentuhan” bantuan Fasilitas Kesehatan dari Pemerintah.
Padahal, sebelumnya mereka telah terdaftar sebagai penerima PKH dan punya kartu Jamkesmas, namun dibeberapa bulan terakhir, entah karena faktor apa, mereka tak lagi menikmati fasilitas bantuan-bantuan sesuai kartu yang mereka miliki.
Ironisnya, dijendela kaca rumah mereka jelas masih terpasang stiker sebagai Keluarga Penerima PKH dan satu lagi stiker Keluarga Penerima BPNT.
Ditemui xposfile dirumahnya, Sale mengaku telah berupaya kesana kemari demi kesembuhan Lisa lewat pengobatan alternatif, dan kini ia sedang menunggu punya rezeki lebih untuk membawa anak kesayangannya ke seorang Tabib di Banyuwangi.
” Kalau nomornya, sudah saya catat di HP, tinggal nunggu rezeki” ujarnya pada xposfile Selasa malam 13/4/2021.
Dari obrolannya, tidak terlintas sedikitpun sikap protesnya terhadap tidak terpenuhinya hak-hak anaknya sebagai warga negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari Pemerintah.
Ditengah kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia terus saja berupaya mencari obat penyembuh buat anak tercintanya. Tetapi, tentu saja dengan tingkat wawasan dan kemampuan finansialnya, langkah medis lewat rumah sakit dan dokter bukan menjadi pilihan baginya.
Tentang upaya medis yang dilakukan, Saleh mengaku hanya pernah sekali dilakukan dengan memeriksakan Lisa di RS Soebandi tahun 2015 lalu saat Lisa berusia 5 tahun. Sayangnya, Sale tidak mampu menjelaskan secara detail tentang bagaimana pihak rumahsakit memberikan pelayanan kepada anaknya. Ia hanya mengatakan, terhadap diagnosa penyakit Lisa, dokter bilang tidak apa-apa.
Terhadap tawaran bantuan oleh aktivis pegiat sosial untuk memfasilitasi anaknya mendapatkan pelayanan kesehatan dari Rumah Sakit Pemerintah, Sale masih akan bermusyawarah dengan istri dan keluarganya.
Pewarta : Kustiono Musri