Dibalik “Jember Kueren”, ternyata masih ada sosok Buk Da

Jember, Xposfile – Siapa sangka di Kabupaten Jember Jawa Timur yang menggelorakan diri sebagai Jember Keren, ternyata, masih ada warganya yang mengalami kemiskinan hidup yang ekstrim dan keterbatasan hidup yang sungguh memprihatinkan.

Sosok warga itu bernama Buk Da. Saat ini dia dan keluarganya harus hidup di rumah yang sudah reot dan terancam rubuh. Lokasi rumahnya sangat terisolasi. Ia berada di Dusun Sodong Desa Kemiri Kecamatan Panti Kabupaten Jember.

Perempuan paruh baya yang sudah tak berdaya secara ekonomi itu, setiap harinya menanggung beban hidup anak laki-lakinya yang sudah mengalami depresi berat.

Tidak hanya itu, dia juga harus membesarkan ke dua cucunya  yang masih berumur 5 tahunan.

Padahal, Buk Da saat ini sudah tak bisa mencari nafkah untuk mencukupi hidup keluarganya seperti dulu, sebab, kedua matanya sudah terkena penyakit katarak.

Menuju ke tempat tinggal Buk Da, tidak mudah bagi orang luar.  Sebab, jalan setapak menuju ke sana tidak bisa dilalui dengan menaiki sepeda motor, cuma bisa dilalui dengan jalan kaki.

Untuk ke sana, jalan setapak yang dilalui naik turun dengan melewati pematang sawah, melewati sungai kecil, lalu menanjak tajam menaiki perbukitan.

Ya …, rumah Buk Da berdiri di area Gumuk itu…

Jika tidak terbiasa dan tidak ada kepedulian tinggi terhadapnya, tentu siapapun akan enggan mengunjunginya. Yah, Pantas saja jika selama ini tak pernah ada pejabat pemerintahan daerah dan pemerintah desa yang hadir mengatasi kemiskinan akutnya.

Nama aslinya beliau Husiya. Dipanggil Buk Da karena nama anak perempuan sulungnya bernama Subaida. Bagi masyarakat desa yang bersuku Madura, jika seseorang telah memiliki anak, maka nama panggilannya berubah menjadi nama anak sulungnya.

Sebelum kecelakaan nasib itu terjadi, puluhan tahun lalu Buk Da pernah merasakan hidup bahagia bersama pak Moro suaminya. Mereka memiliki dua anak. Anak pertama bernama Subaida dan anak kedua bernama Edi.

Kebahagiaan hidup bersama pak Moro itu tak berjalan lama. Tiba-tiba dalam waktu semalam Pak Moro meninggal dunia, akibat terserang muntaber.

Tentu saja, Buk Da sangat sedih. Meski kesedihannya sangat mendalam, tetapi dia harus tetap bertahan hidup demi menafkahi Subaida dan Edi yang waktu itu masih balita.

Karena itu, Buk Da bekerja menjadi kuli serabutan di desanya. Puluhan tahun pekerjaan itu dilakoninya, agar dia dan kedua anaknya bisa makan.

Meski menjalani hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi lambat laun, tanpa terasa beliau mampu menghantarkan ke dua anaknya itu tumbuh menjadi manusia dewasa.

Buk Da sangat bersukur. Pencapaian hidupnya dirasa semakin sempurna, tatkala, ia mampu menikahkan anak perempuannya dengan lelaki idamannya. Saat ini Subaidah dan suaminya tinggal di Bali.

Kemudian Buk Da juga mampu menikahkan anak laki-lakinya yang bernama Edi itu dengan gadis idamannya. Hasil pernikahannya, Edi kini memiliki dua anak perempuan yang berusia lima tahun dan enam tahunan.

Namun, kebahagiaan hidup yang hinggap pada Buk Da hanya bertahan sekejap. Edi yang kini berusia 35 tahunan itu, tiba-tiba mengalami depresi berat.

Karena sedang mengalami sakit pikiran, Edi tak bisa lagi mencarikan nafkah untuk isterinya dan ke-dua putrinya.

Akhirnya, Buk Da lah yang harus harus menanggung beban hidup keluarganya Edi.

Padahal pekerjaan Buk Da hanyalah pengumpul sayuran pakis, penghasilannya tak seberapa. Jika laku terjual semua, dia hanya mendapatkan penghasilan 20 ribu rupiah sampai 30 puluh ribu rupiah.

Uang sekecil itu, harus dia digunakan sehemat mungkin. Harus bisa cukup untuk makan selama dua hari.

Melihat kondisi yang mengenaskan itu, rupanya menantu perempuan Buk Da tak betah tinggal bersamanya.

Entah apa penyebabnya, menantunya itu pun meninggalkan Edi dan ke dua putrinya begitu saja.

Tentu saja Buk Da sangat terpukul dengan kepergiannya. Namun Buk Da sudah kebal dengan penderitaan hidup.

Baginya, sejak kecil ia sudah bersahabat karib dengan kesengsaraan hidup.  Sejak bayi, Buk Da  sudah  menjadi anak terbuang oleh Ibu kandungnya sendiri.

Walaupun jauh dilubuk hati, Buk Da seringkali menangis. Tetapi, segetir apapun, hidup itu harus terus dijalaninya.

Terpenting bagi Buk Da, kedua cucu perempuan yang telah menjadi tanggung jawabnya itu, harus tetap bisa makan.

Karenanya, dia tak pernah putus asa walaupun beban hidup yang dipikulnya terasa semakin berat.

Buk Da terus keluar masuk hutan Argopuro untuk mendapatkan sayuran pakis. Meski sangat kecil pendapatannya, tetapi itu cukup untuk membeli beras dan lauk seadanya.

Putri dan Fida merupakan cucu kesayangannya beliau. Kedua cucunya ini adalah harapan hidup tertingginya.

Bagi Buk Da, mereka adalah penyemangat dalam kesengsaraan hidup yang dialaminya. Mereka merupakan penghibur sejati atas kesedihan hidupnya.

Putri adalah kakaknya Fida. Baik Putri dan Fida sama-sama menjadi anak pendiam. Perkembangan mentalnya cenderung menjadi anak pemurung. Selain pada Buk Da, mereka tidak mau berbicara dengan orang asing. Bahkan, sekedar ditanyakan namanya saja, mereka enggan menjawabnya.

Sebenarnya, Buk Da sangat ingin menyekolahkan Fida dan Putri. Supaya kelak, masa depan mereka bisa sama dengan orang lain. Tetapi apalah daya, Buk Da tak punya uang sama sekali untuk membelikan kebutuhan sekolahnya.

Buk Da juga sadar, bahwa kedua cucunya itu mestinya sama dengan teman sebayanya, yakni, menjalani masa kecil dengan riang. Tetapi, apalah daya Buk Da tak punya apa-apa untuk menyenangkan mereka.

Pingin sekali Buk Da memiliki TV untuk dijadikan hiburan bagi ke dua cucunya itu. Tetapi, boro-boro beli TV, untuk membayar iuran listrik sebesar 40 ribu saja, Buk Da sudah megap-megap.

Apalagi saat ini, pandangan matanya sudah semakin kabur.

Penyakit Katarak yang mendera, membuat dia tak bisa lagi bekerja mencari sayur Pakis di Hutan. Pernah dia memaksakan diri, akibatnya dia terjatuh ke jurang dan membuat kakinya keseleo, sehingga tak bisa pulang semalaman.

Untunglah dia ditemukan oleh tetangganya. Sehingga bisa terselamatkan hidupnya.

Mulai saat itulah, Buk Da sampai kini tak berani lagi memaksakan diri bekerja mencari nafkah.

Semua kegetiran hidup yang dialaminya membuat Buk Da hanya bisa pasrah pada keadaan.

Kini, untuk bisa menanak nasi, Buk Da hanya bergantung dari pemberian orang lain dan sanak saudaranya yang peduli. Terkadang ada warga desa yang memberinya uang 20 ribu, bahkan sampai ada yang memberinya 50 ribu.

Selain itu, dia mendapatkan kiriman dari Subaida putri sulungnya sebesar 300 ribu setiap bulan.

Menurut Buk Da, bantuan dari pemerintah pusat memang pernah dia terima. Bantuan PKH itu berupa beras dan telur, tetapi itu sudah terjadi beberapa bulan lalu. Kini, bantuan itu tak pernah datang lagi.

Sebagai bagian dari ummat religius, di tengah malam yang sunyi, Buk Da sering menangis dan menghiba pada tuhan supaya anak cucunya kelak tidak mengalami nasib tragis sepertinya.

Dia berharap, suatu saat rumah reot yang hampir rubuh itu bisa diperbaikinya.

Dia juga sangat ingin menyembuhkan penyakit mata katarak yang dialami dirinya dan dialami oleh cucunya.

Bukan hanya itu, sebenarnya, Buk Da sangat ingin menyekolahkan ke dua cucunya dan menyembuhkan penyakit pikiran anak lelakinya. Lebih jauh, Buk Da juga ingin hidup layak seperti warga lainnya. Namun, semua itu sebatas angan demi menghibur diri dalam kepasrahan hidupnya.

Pewarta : Syaiful Rahman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back To Top