Sebagai anak Indonesia seperti kebanyakan, masa kecilku dulu tak bisa lepas dari sepakbola. Meski tidak pernah masuk Klub, namun sejak SD sampai SMA, aku ingat pernah bermain bola mulai dihalaman tetangga, digang gang sempit dikampungku, dihalaman sekolah, dilapangan PTP, di alun alun, dilapangan Talangsari, lapangan Sukorejo, lapangan Tebbek, Lapangan Armed, Lapangan 509 sampai Stadion Kreongan (Notohadinegoro). Andai saat itu stadion JSG sudah ada, bisa jadi aku permah merasakan main disana. Sayangnya, dizamanku, stadion termegah di Jember itu hanya Stadion Notohadinegoro, itupun belum ada tribunnya seperti sekarang.
Saking senengnya main bola, saat masih di SMA kelas 1 tahun 1978, bersama teman kampungku, hampir setiap malam kami main bola plastik di jalan Gajahmada (dulu jalan Diponegoro) dibawah terangnya Lampu Mercury yang menjadi kebanggaan masyarakat Jember kala itu.
Diatas jalan aspal selebar 24 meter itu, saat itu masih lengang, mobil yang lewatpun bisa dihitung dengan jari.
Pernah juga sekitar tahun 1987-1988 akhirnya membentuk klub saat musim sepakbola mini. Sepak bola dengan peserta 6 orang pemain anak anak yang dibatasi tinggi badannya. Ya…bukan dibatasi usia. Klub yang kuberi nama Tunas Muda itu mengikuti turnamen ke turnamen mulai lapangan Condro yang sekarang sudah jadi perumahan di belakang Rumahsakit Binasehat, Lapangan Gebang, Lapangan Armed, dan lapangan Kopian dan entah lapangan mana lagi.
Lalu, entah karena memang hoby atau karena kebetulan memamg takdirku, tahun 2006 ketika aku bergaul dengan Haji Umar, ndilalah beliau didapuk menjadi Ketua Askab PSSI Jember diawal pemerintahan Bupati Djalal. Akupun terseret dalam urusan Persid bersama Haji Umar.
Tanpa tahu jelas statusku di organisasi Persid, saat itu aku ikut membantu ngurusi kebutuhan-kebutuhan Hendrik Montolalu sang pelatih Persid. Ngurusi juga keluhan pemain asing (lupa namanya), ngurusi surat menyurat perizinan ke Polres, Dispenda, ngurusi kapan mobil tanki air bisa nyiram stadion sebelum digunakan pertandingan, menghubungi penjaga stadion, dan entah urusan apa lagi.
Lalu, lagi lagi aku lupa kapan pastinya, ditengah pergaulanku dengan Haji Umar, singkat cerita aku ditunjuk menjadi Sekretaris mendampingi Kong Ciek (Hery Siswanto) sebagai Manajer Persid Yunior.
Pelatihnya Syaiful, seorang pegawai Sipil di Kodim 0824.
Diera itulah mulai terlihat kelahiran bintang sepakbola Jember, Bayu Gatra. Kami jalani kompetisi home & away di Probolinggo, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, dan Lumajang. Saat itu kami terbantu oleh Perwira Bataliyon 509 Kapten Dardiri untuk menempati mess bagi Bayu Gatra dkk.
Upsss, kok jadi ngelantur ceritaku, cukup lah cerita tentang pengalamanku, bahkan terlalu panjang sepertinya. Karena sebetulnya, aku menuliskan cerita ini hanya untuk menyambungkan cerita pengalamanku itu ditengah ramainya opini dan terjadinya polemik pemilihan Ketua ASKAB PSSI.
Dari pengalamanku yang kutulis sepanjang itu, satu hal yang paling kuingat saat bergaul dengan kalangan orang-orang bola, bahwa mayoritas dari mereka berpendapat bahwa orang yang pantas dan layak menjadi pengurus bola hanyalah orang-orang bola (baca : mantan pemain bola). Mereka sepertinya hanya berfikir tentang tehnik menendang, dan bermain bola di lapangan hijau. Padahal faktanya, sepanjang sejarah sepakbola Jember, Klub-klub besar yang mampu menoreh sejarah emas di Jember, semuanya dilahirkan dari sosok yang sama sekali bukan “orang bola”. Mulai dari Bima Putra milik Kwang (Apotik Bima), Tari Jaya milik Tariman (pengusaha Pom Bensin), Sjam Putra milik keluarga CV Syam (Kontraktor Listrik) dan banyak klub-klub lainnya.
Bahwa, manajerial organisasi besar selevel ASKAB PSSI tidaklah sesederhana tugas seorang manajer dan atau pelatih yang mengurus strategi pertandingan sebuah tim.
Ketua ASKAB PSSI itu punya tugas dan kewajiban memanage banyak hal, mulai memproduk regulasi, menghitung dan menyiapkan sarana prasarana agar tercipta suasana kondusif sehingga kompetisi sepakbola disemua jenjang di Kabupaten Jember bisa berjalan baik.
Ia juga harus berfikir bagaimana pembinaan masing masing klub bisa hidup, berjalan dan seterusnya.
Dengan tugas dan kewajiban berat ditengah kondisi persebakbolaan Jember 5 tahun terakhir yang mati suri seperti ini, faktor utama yang dibutuhkan dari sosok Ketua ASKAB PSSI itu menurutku bukan sekedar sosok yang hanya mengerti bola (orang bola). Tetapi dibutuhkan sosok manager / pemimpin yang visioner, yang punya jaringan luas dan terutama adalah mampu mencari terobosan terobosan yang berkaitan dengan pihak ketiga (Sponsor).
Ditengah prestasi sepakbola Jember yang belum “Layak Jual”, maka peran Pemerintah Daerah menjadi sangat menentukan. Masih segar dalam ingatan kita, sehebat apapun figur yang memandegani urusan sepakbola, tanpa ada “sense” dari Bupati seperti yang terjadi di 5 tahun terakhir, praktis tak ada yang bisa dilakukan kecuali hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Ada tapi tiada.
Pengalaman 5 tahun terakhir, harusnya bisa menjadi guru terbaik untuk memajukan olah raga di Jember khususnya sepakbola. Tanpa akses loby yang cukup kepada Bupati, mustahil mimpi kebangkitan sepakbola Jember bisa terwujud.
Pertanyaannya, benarkah polemik dan adu opini tentang Figur Ketua ASKAB PSSI itu murni hanya demi menginginkan sepakbola Jember maju ? Atau jangan jangan hanya sentimen Politik paska Pilkada 2020 lalu ? Atau jangan jangan, aaah….sudah laah. Kita nikmati saja semua yang terjadi dan yang akan terjadi. Toh aku bukan orang bola. Toh semua sudah ada garis tangannya masing masing.
Oleh : Kustiono Musri
Pak Kus , jaman Saiki semua sektor olahraga porak poranda oleh Seorang dalang , Persid diobok agar pak dalang ada didalamnya , KONI diobok dengan mosi tidak percaya Agara pak dalang bisa jadi ketuanya , askab PSSI Jember diobok dgn memainkan mas tri sandi sbg wayangnya untuk bisa jadi ketuanya , ada nama anak pak dalang dlm calon wakil ketua … Bagaimana menurut pak Kus , apa ini mencerminkan fairplay yg menjadi ruh dari olahraga ?