Memahami Dawuh Gus Miek Tentang 3 Pilihan Nasib

Oleh: Kustiono Musri

Sebuah kalimat penuh makna dan mendalam konon disampaikan oleh almarhum Gus Miek seperti yang tertulis di bawah foto beliau yang terpampang di ruang tamu Gus Saif di Pondok Pesantren Puteri (PPI ASHRI) Talangsari.

Seingatku, foto berpigora kayu sederhana ini sudah terpampang di sana sejak pertama kali aku diberi kesempatan mengenal Gus Saif di ruangan tersebut sekitar tahun 2008-2009 an. Entah sejak kapan foto kuno tersebut terpasang berjejer disana bersama dengan foto KH.Abdul Chalim Shiddiq (abahnya Gus Saif) dan KH Muhammad Kholil bin Nawawi bin Nur Hasan (Sidogiri).

Sebuah kalimat yang sekilas terbaca sangat sederhana tertera di bawah foto KH. Hamim Thohari Djazuli, atau yang akrab dipanggil Gus Miek. Beliau yang lahir pada 17 Agustus 1940 dan wafat pada 5 Juni 1993 atau 14 Dzulhijjah 1413 H adalah pendiri amalan dzikir Jama’ah Mujahadah Lailiyah, Dzikrul Ghofilin, dan sema’an al-Qur’an Jantiko Mantab.

“Pilih salah satu dari tiga Nasib”

  1. Bahagia Dunia Akhirat
  2. Bahagia di salah satunya
  3. Hancur di kedua-duanya

PILIH DAN BERJUANGLAH

Kira-kira, mana yang akan kita pilih dan kemudian kita perjuangkan ?

Pertama kali membaca kalimat tersebut, aku spontan memilih pilihan pertama. Sebagai muslim yang meyakini keberadaan kehidupan akhirat, jelas aku inginnya meraih sukses dunia akhirat. 

Tapi, setelah merenung sedikit lebih dalam, pilihan pertama itu ternyata gak masuk akal bagi manusia sepertiku. Nafsuku saja yang menginginkan nasib semulia itu. Siapa sih gak ingin hidup bahagia disetiap kesempatan ?

Sembahyange ae sek lak-lak-tung, ibadah kepadaNYA durung mesti, umpomo iso sedekah yoo sek itung-itungan, berbuat baik nang menungso liyane yoo sek milah-milih. Kok pas nul-mekenul mematok cita-cita bahagia dunia akhirat. Koyok wong bondo cupet njaluk nginep Hotel bintang Songo. Nggedabrus itu namanya.

Tentang pilihan ketiga, tak kira, sejahat-jahatnya manusia, tidak akan pernah ada yang mau bercita-cita seperti itu. Hancur di dunia, celaka di akhirat. 

Dari ketiga pilihan nasib di kalimat Gus Miek tersebut, yang paling realistis bagi orang sepertiku ternyata hanya tinggal pilihan kedua. Bahagia disalah satunya. 

Ok, done. Selesai, aku pilih pilihan kedua, pikirku.

Lalu, ternyata gak berhenti disitu. Pikiranku justru terus merenung jauh lebih dalam lagi. Pilihan kedua ini memilih satu diantaranya. Memilih bahagia di dunia atau bahagia di akhirat. Tidak bisa memilih dua duanya. Hanya bisa memilih untuk bahagia dunia atau bahagia di akhirat.

Kalau kriteria bahagia itu benar seperti buah pikiran dari mindset mayoritas kita, bahwa bahagia itu kalau sudah bisa meraih sukses materi, sukses karir dan sukses berumah tangga, punya istri cantik, punya anak yang membanggakan dan seterusnya, maka sepertinya pilihan bahagia didunia juga masih terlalu jauh dari realitasku.

Apalagi kalau melihat fakta-fakta yang ada, bahwa yang tercatat sebagai 20 orang terkaya dunia seperti yang tercantum di majalah forbes, ternyata semuanya non muslim. Tak jauh berbeda dengan level Nasional atau level kabupaten sekalipun. Orang-orang terkaya disekitar kita masih saja dikuasai kalangan non muslim. Maka, kalau aku tetap menggunakan kriteria bahagia di dunia seperti yang banyak dipahami mayoritas kita, sepertinya aku tidak akan pernah bisa meraih kebahagiaan dunia, karena faktanya SUKSES seperti mereka itu kebanyakan hanya bisa diraih oleh orang-orang non muslim. Bukan seperti aku.

Artinya, sebagai muslim, sebagai orang yang terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, sebagai manusia yang hanya mampu menikmati pendidikan sekedarnya, sebagai orang yang diberi otak versi biasa-biasa saja, ternyata aku hanya punya satu pilihan yang realistis. Yaitu hanya bisa berharap dan berjuang untuk menjadi muslim yang bahagia di akhirat. Kalah di dunia, menang diakhirat pikirku.

Selesai ? eiiitsss.. tunggu dulu.

Persyaratan yang kumiliki untuk meraih bahagia di akhirat menurut ajaran dan paham yang banyak kudengar di sekitarku, tak rasa-rasakan ternyata juga masih jauh dari lengkap. Wes gak tahu mondok, gak iso ngaji, gak mampu sedekah, gak tau kumpul wong kang sholeh, wes blas gak onok potongan jadi penghuni surga. 

Duh, milih bahagia dunia angel, milih bahagia akhirat gak memenuhi syarat.

Terusss, haruskah aku pasrah, diam dan putus asa ? Yaaa enggak lah. Iso nang neroko tenan nek ngono.

Aku tetap harus berusaha dan berjuang untuk meraih pilihan kedua dari tiga pilihan sesuai dawuhnya Gus Miek. Aku harus memilih salah satunya. Bahagia Dunia atau Bahagia Akhirat. Dengan syarat, harus realistis dan tahu diri.

Akhirnya, logikaku menyimpulkan, pilihannya ternyata hanya tinggal satu. Yakni memilih untuk bisa bahagia didunia saja. Apapun caranya, wajib diperjuangkan.

Soal apakah nanti aku diberi belaskasihNya untuk mendapatkan kesempatan bahagia di akhirat, selain hanya bisa berharap untuk mendapat syafaat Nabi Muhammad SAW, tidak ada daya dan upaya yang patut kulakukan kecuali hanya sekedar berupaya agar tidak pernah memasuki wilayah HAK PREROGATIF sang MAHA PENGASIH DAN MAHA PENYAYANG. 

Biarlah Sang Maha yang akan menentukan dimana kelak ruhku berada, di neraka atau surga NYA. Modalku hanya satu, yakni kalimat 

 لا إله إلا الله محمد رسول الله

Lalu, bagaimana cara berjuang meraih bahagia dunia ? Beruntung, Tuhan menuntun jalan pikiranku untuk bisa menemukan bentuk perjuangan yang harus kulakukan. Dan ternyata, logikanya sangat sederhana, meski bisa dipastikan akan berat untuk menjalaninya. 

Selain bermodalkan keyakinan bahwa semua atas kehendakNya, berikutnya cukup dengan berjuang merubah mindset tentang kriteria bahagia. 

Bahwa bahagia dunia itu ternyata tidak harus KAYA
Bahwa bahagia dunia itu ternyata tidak harus Punya Pangkat
Bahwa bahagia dunia itu ternyata tidak harus meniru gaya hidup orang lain.

Setelah mindset berubah, nantinya akan mudah menyadari, bahwa ternyata Allah benar-benar Maha Kasih dan Maha Sayang kepada setiap hambaNya, tak terkecuali kepadaku. 

Bahwa ternyata, semua unsur-unsur kebahagiaan dunia itu sudah ada dan telah, serta selalu disiapkan olehNYA kepada semua hambaNya. 

Hanya karena kurang pandai mensyukuri apa yang sudah ada, maka seolah-olah bahagia dunia masih terasa jauh. Hanya karena otak terlanjur terisi logika dan kriteria keliru, maka bahagia dunia menjadi sesuatu yang seolah sulit terjangkau.

Jadi, kesimpulanku, tugas utama perjuangan dalam meraih bahagia dunia ternyata cukup hanya dengan berjuang sekuat-kuatnya untuk merubah mindset agar bisa selalu dan selalu mensyukuri segala bentuk pemberianNya sampai tidak ada ruang sedikitpun dalam otak kita untuk tidak mengucapkan Alhamdulillah. Bahkan terhadap “musibah” sekalipun.

Khususon ila ruhi Kyai Haji Hamim Thohari Djazuli ….
Al Fatihah……aamiin.

والله أعلم بالصواب

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back To Top