Derita Fariz sang Justice Colaborator Kasus Korupsi Pasar Manggisan.
Justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Ia seorang terdakwa yang ingin bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana korupsi, namun bertepuk sebelah tangan. Kejaksaan Negeri Jember tak tertarik untuk menyetujui statusnya sebagai Justice Colaborator.
Xposfile – Jember
Beberapa bulan terkahir, publik Jember telah banyak disuguhi berita tentang kasus korupsi Pasar Manggisan. Beberapa hari kedepan, tahapan sidangnya sudah akan memasuki tahapan pembacaan pledoi dari para terdakwa. Salah satunya adalah dari terdakwa M.Fariz Nur Hidayat, seorang pemuda yang sedang berada dipuncak mimpi suksesnya dalam menjalani kariernya di sebuah Perusahaan Konstruksi yang sedang naik daun dengan gaji 5juta rupiah perbulan.
Dengan berbekal ilmu tehnis Konstruksi, Fariz termasuk pemuda yang beruntung bisa mendapatkan pekerjaan. Ia mengais rejeki dengan bekerja kepada Ir. Irawan Sugeng Widodo (Dodik) direktur PT. Maksi Solusi Enjinering, ia bekerja demi masa depannya untuk menafkahi keluarga kecilnya, seorang istri dan seorang bayi usia setahun yang masih lucu-lucunya.
Namun siapa sangka, dirinya harus merasakan dinginnya terali besi atas perbuatan melawan hukum yang didakwakan kepadanya meski menurutnya perbuatan tersebut bukanlah tangggung jawabnya sebagai karyawan. Tak tanggung-tanggung dakwaan jaksa kepada pemuda ini, 7 Tahun 6 bulan penjara plus denda 300 juta subsidair 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 90.238.257.
Mimpi meraih suksespun berubah seketika. Kini ia sedang berjuang mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya ditengah realitas hukum yang masih compang camping. Modal utamanya hanya kejujuran, keterbukaan dan keberaniannya mengungkap semua yang diketahuinya.
Keberaniannya menceritakan perannya sebagai karyawan perusahaan konstruksi yang punya kedekatan dengan Bupati Jember Faida, justru menarik perhatian dari politisi DPRD Jember yang kala itu sedang menjalankan Hak Angket untuk menyelidiki kasus-kasus korupsi di Kabupaten Jember.
Akhirnya, dengan dukungan Panitia Hak Angket, LPSK tertarik untuk menyetujui permohonan perlindungan dan sekaligus merekomendasikan Fariz sebagai Justice Colaborator kepada Kejaksaan Negeri Jember. Bahkan, LPSK juga berkirim surat kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (JAMWAS) untuk meng-atensi kasus-kasus proyek Revitalisasi Pasar Tradisional untuk Anggaran 2018 di Kabupaten Jember. Tetapi, sayangnya, Kejaksaan Negeri Jember mengabaikan rekomendasi LPSK dan mendakwa Fariz dengan dakwaan yang sama dengan dakwaaan kepada Direktur perusahaan tempatnya bekerja.
Berikut ungkapan keluh kesah Fariz dari dalam LAPAS Kelas IIA Jember yang diterima Xposfile dari Maya istrinya, kemarin 20 Agustus 2020.
Saya M. Fariz Nur Hidayat, lahir di Jember 13 Oktober 1990. Tulisan saya ini saya tulis didalam Lapas kelas IIA Kabupaten Jember sebagai terdakwa Kasus Tipikor Pasar Manggisan Jember. Saya hanyalah seorang karyawan dari sebuah perusahaan bernama PT. Maksi Solusi Enjinering dengan direktur bernama Ir. Irawan Sugeng Widodo (Dodik), yang juga merupakan terdakwa dari kasus Tipikor Pasar Manggisan Jember.
Saya hanya seorang karyawan yang hanya dibayar atas pekerjaan yang saya kerjakan sebagai karyawan PT Maksi Solusi Enjinering sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta ru[iah) setiap bulannya. Itu saja, tidak ada selain itu. Apalagi menikmati hasil korupsi keuangan Negara seperti yang didakwakan.
Saya adalah tulang punggung keluarga, saya juga kepala keluarga dimana saya meninggalkan anak saya yang masih berusia 1 tahun.
Awal mula saya ditetapkan sebagai tersangka yaitu pada tanggal 23 Januari 2020. Saya menerima surat panggilan dari Kejaksaan Jember sebanyak 2 kali. Panggilan pertama saya hadir sebagai saksi dan tidak ada penahanan. Lalu panggilan kedua saya kembali hadir, status saya masih sebagai saksi, tetapi kemudian oleh Jaksa ditetapkan menjadi tersangka dan langsung dilakukan penahanan.
Ketika saya bertanya kepada Jaksa (saat itu adalah Pak Totok Walidi), mengapa saya dijadikan tersangka ? “ Karena tidak dapat menunjukkan SPK sebagai Karyawan “ kata jaksa kala itu. Mendengar alasan itu, saya berusaha menelpon pimpinan saya saat itu yaitu Pak Dodik untuk konfirmasi, tetapi tidak diangkat oleh pimpinan saya. Sampai akhirnya saya dibawa ke Lapas Kelas IIA Jember hingga saat ini.
Sebetulnya, semula saya bekerja pada perusahaan milik kakak Ipar Pak Dodik, yakni dr. Benny dan istrinya yang bernama Lies Herawati (Direktur) dari PT Medisain Dadi Sempurna. Dan sebagai karyawan, saya mengetahui bahwa dr. Benny dan Ibu Lies Herawati sudah lama kenal dengan Bu Faida (sebelum menjadi Bupati Jember), yaitu sejak mengerjakan proyek RS.Bina Sehat dan RS. Al – Huda sekitar tahun 2012.
Saya juga mengetahui, bahwa sejak Bu Faida menjadi Bupati Jember, Pak Dodik, dr Benny dan Bu Lies Herawati juga telah memperoleh proyek perencanaan dari Bupati Jember diantaranya: Perubahan Masterplan dan Perencanaan Gedung Rawat Jalan 4 lantai RSD Soebandi.
Kemudian pada tahun 2016, Pak Dodik mendirikan perusahaan yaitu PT. MAKSI SOLUSI ENJINERING dan pada tahun itu juga, atas ijin pimpinan PT. Medisain Dadi Sempurna saya diminta bergabung dalam perusahaan milik Pak Dodik ( PT Maksi Solusi Enjinering ) sebagai karyawan.
Perlu saya ceritakan suasana psikologis saya saat awal-awal menghuni Lapas, banyak sekali Intimidasi bahkan tekanan psikologis yang saya rasakan. Semua petugas dan penghuni Lapas seolah-olah menganggap saya sebagai Koruptor Kakap. Mereka mengira ;
- Fariz adalah teman dekat bupati,
- Fariz adalah orang kepercayaan bupati,
- Fariz adalah pengusaha yang mendapat mega proyek di Jember dari Bupati,dll
Setelah sekitar sebulan saya jalani kehidupan di Lapas dengan berbagai teror psikis yang saya rasakan, saya kemudian terdorong untuk memberanikan diri untuk mengajukan surat perlindungan kepada LPSK dan mengajukan diri sebagai Justice Colaborator. Saya akan bercerita apa adanya. Saya tidak akan menutup-nutupi apa yang saya tahu dan saya alami. Saya tidak akan membuat cerita atau pengakuan fiktif. Semuanya akan saya ungkap apa adanya.
Atas permohonan itu, LPSK pada 16 April 2020 menyetujui permohonan saya untuk mendapatkan perlindungan dan sekaligus merekomendasikan saya sebagai Justice Colaborator (JC) kepada Kejaksaan. Dan ternyata rekomendasi LPSK diabaikan oleh kejaksaan dengan alasan Bahwa Fariz adalah pelaku utama.
Bentuk Intimidasi yang saya rasakan, tidak hanya sebatas verbal saja tetapi juga dari hal-hal lain seperti :
- Ketika ada penyidikan tambahan dari Kejaksaan Jember, informasi yang saya terima selalu mendadak, sehingga saya tidak memiliki waktu untuk menghubungi atau berkoordinasi dengan Penasihat Hukum (PH) saya.
- Ketika penyidikan tambahan, PH saya selalu dipersulit untuk masuk dan mendampingi saya.
- Pemberitahuan atau informasi apapun dari kejaksaan untuk saya, selalu saya terima terlambat atau mepet sekali dengan jadwal yang diagendakan oleh kejaksaan.
Salah satu contohnya yaitu, ketika sidang pertama tanggl 02 Juni 2020, saya tidak mendapatkan informasi apapun dari kejaksaan sehingga saya ditegur oleh Majelis Hakim. Bahwa untuk sidang berikutnya, PH harus hadir di pengadilan Tipikor Surabaya dan mendaftarkan berkas-berkas ke panitera. Hal-hal seperti ini yang juga menganggu psikologis saya untuk dapat menyatakan kejujuran. Saya merasa diperlakukan sangat tidak adil, saya merasa dikucilkan.
Kemudian sidang berlanjut di minggu selanjutnya dan PH saya yaitu pak Cholily dan pak Zainal Abidin sudah bersiap di Pengadilan Tipikor Surabaya, sedangkan PH saya ibu Lutfiah akan mendampingi saya di Lapas selama persidangan. Pada saat Ibu Lutfi akan mendampingi saya, beliau mendapat penolakan dari Lapas karena harus ijin Jaksa dahulu, kemudian beliau ingin bertemu dengan Jaksa yang ada didalam LAPAS untuk minta ijin agar bisa mendampingi saya selama persidangan. Tetapi Jaksa tidak kunjung keluar hingga kurang lebih menunggu 1 jam.
Dari kejadian tersebut, Saya malah ditegur oleh Jaksa tersebut bahwa PH hanya diperkenankan hadir di Pengadilan Surabaya. Padahal menurut saya, seharusnya saya berhak untuk didampingi oleh PH dengan pertimbangan :
- Untuk antisipasi jika ada Intimidasi dan tekanan psikologis selama persidangan berlangsung
- Saya tidak paham bahasa hukum, sehingga banyak bahasa-bahasa hukum yang saya tidak mengerti
Dari hasil pemeriksaan terdakwa Fariz (saya sendiri) dan Terdakwa Dodik (pimpinan saya) di persidangan pengadilan Tipikor Surabaya beberapa waktu lalu, semua yang dituduhkan kepada saya sudah dijawab semua oleh Pimpinan saya yaitu pak Dodik, antara lain :
- Pak Dodik mengakui, bahwa Fariz adalah karyawannya di PT. Maksi Solusi Enjinering
- Pak Dodik mengakui, bahwa Fariz hanya mendapat gaji setiap bulan dengan cara ditransfer oleh pak Dodik ke rekening masing-masing, sama dengan karyawan lainnya.
- Pak Dodik mengakui bahwa semua gambar pekerjaan adalah pak Dodik yang membuat
- Pak Dodik mengakui, bahwa semua hasil pekerjaan telah disetorkan ke rekening Pak Dodik
- Pak Dodik mengakui, bahwa sebelum mengerjakan proyek-proyek Pemkab Jember, ia sudah lama mengenal Bupati Faida, yakni sejak proyek RS. Al-Huda dan RS. Bina Sehat
- Pak Dodik mengakui, bahwa Fariz hanya sebatas sebagai operator ketika beberapa kali diajak ke pendopo untuk memaparkan gambar proyek didepan Bupati Faida dan beberapa pejabat Pemkab lainnya.
Setelah beberapa kali sidang, pada persidangan acara penuntutan yaitu pada tanggal 04 Agustsus 2020, akhirnya saya malah dituntut oleh Jaksa dengan tuntutan yang sama persis dengan tuntutan kepada pimpinan perusahaan saya yaitu : 7 Tahun 6 bulan, Denda 300 juta subsidair 3 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 90.238.257 tanggung renteng dengan pak Dodik.
Saya merasa, tuntutan ini sangat Tidak Adil untuk saya.
Saya hanyalah seorang karyawan dari perusahaan milik pak Dodik, yang mendapatkan gaji setiap bulannya sama dengan karyawan yang lain. Dan hal tersebut sudah diakui sendiri oleh Pak Dodik dipersidangan. Didepan Majelis Hakim.
Dalam hati saya bertanya, Apakah karena saya ini hanya rakyat jelata, orang kecil yang tidak memiliki uang banyak sehingga hukum sangat tajam kepada saya dan saya diperlakukan tidak adil ???
Mengapa hukum begitu terasa tumpul untuk kalangan orang-orang berduit ? Salahkah kalau kemudian saya menyimpulkan dari apa yang saya jalani sendiri, orang-orang berduit tersebut kebal terhadap hukum.
Jika saya runtut, Sebetulnya apa masalah Tipikor dari pasar Manggisan ? Ada di titik mana saya merugikan Negara ???
Bahkan ketika Jaksa mendatangkan Saksi ahli di pengadilan Surabaya dan Saksi Ahli tersebut menyebutkan bahwa:
Untuk progress fisik yang dihitung oleh Tim Ahli dari Kejaksaan adalah 67%, sedangkan pencairan yang dilakukan oleh Disperindag hanya 52% dari 55% progress yang dihitung oleh pengawas. Penjelasan diatas adalah untuk pekerjaan Fisik, Sedangkan pekerjaan Perencanaan dan Pengawasan tidak ada masalah dan sudah terselesaikan dengan baik
Kemudian ketika saksi Ahli tersebut ditanya oleh salah satu PH :
Apakah perhitungan kerugian pasar manggisan itu dari Perencanaan ? dijawab TIDAK
Apakah perhitungan kerugian pasar manggisan itu dari Pengawasan ? dijawab TIDAK
Apakah perhitungan kerugian pasar manggisan itu dari Fisik ? dijawab IYA
Dari Fakta persidangan tersebut dan alat bukti yang ada, serta atas pengakuan Pak Dodik, sangat jelas sekali bahwa seharusnya saya tidak ada kaitannya dengan masalah ini, karena sudah diakui oleh pak Dodik bahwa saya hanyalah seorang karyawan. Apalagi saya tidak menikmati apapun seperti yang dituduhkan oleh jaksa kepada saya. Saya merasa menjadi korban konspirasi, saya merasa dijadikan kambing hitam, sebagai korban untuk menutupi sesuatu yang lebih besar.
Lantas kenapa saya ditahan bahkan saya dituntut sangat tinggi ?
Fakta persidangan dan alat bukti yang sudah segudang, seolah tak ada bagi Jaksa. Fakta persidangan dan alat bukti tentang keberadaan saya, keberadaan Fariz yang hanya sebagai karyawan sebuah perusahaan, samasekali tak dianggap oleh Jaksa. Bahkan rekomendasi LPSK untuk saya mendapatkan status sebagai Justice Colaborator juga telah diabaikan oleh Kejaksaan. Lalu, bagaimana kemudian saya bisa menghormati figur-figur “GAGAH” sebagai Jaksa dari Institusi Kejaksaan yang seharusnya saya hormati ? Bagaimana saya bisa punya respect terhadap institusi Kejaksaan yang dibiyai oleh uang rakyat, uang negara ? (*)
================================
Ditulis Oleh : Fariz dari dalam LAPAS Jember.
Redaksi menerima tulisan ini dari Maya, istri Fariz dan telah melakukan editing seperlunya dari tulisan asli untuk keperluan pemberitaan, tanpa merubah substansi.