BerandaLaporan KhususDerita Nelayan Puger. Sulit Beli Solar di SPDN, Nelayan Terpaksa Beli Dari...

Derita Nelayan Puger. Sulit Beli Solar di SPDN, Nelayan Terpaksa Beli Dari Tengkulak

Jember, Xposfile – Kesulitan mendapatkan bahan bakar jenis Solar bersubsidi untuk bekal melaut bagi para nelayan Puger, dibenarkan oleh Petugas Operator SPDN Puger, Faitoni. 

“Memang kondisi saat ini langka di SPDN. Tapi Kalau tidak bisa bagi, kita arahkan (para nelayan) ke SPBU,” kata Faitoni saat dikonfirmasi di SPDN TPI Puger, Minggu (5/9/2021) sore.

Diakui oleh Faitoni, nelayan memang banyak yang beli ke tengkulak. Karena tidak harus antri dan membayar belakangan. 

“Sehingga jika nelayan itu tidak bisa beli ke SPBU. Kita arahkan nelayan sendiri ambil ke SPDN. Untuk yang antri ini nelayan sendiri kok. Tapi alasan SPBU tidak melayani pembelian nelayan, saya tidak paham,” katanya.

Namun lebih jauh Faitoni menyampaikan, dulu pembelian BBM solar bagi nelayan di SPBU lancar dan tidak masalah. 

“Pembagian kita enak kok, dulu juga bisa kok ke SPBU. Tapi sekarang tidak boleh, ya tidak tahu,” katanya.

Terkait surat rekom yang harus dimiliki nelayan untuk membeli BBM solar ke SPDN ataupun ke SPBU. Faitoni mengatakan, memang harus ada sebagai syarat pembelian BBM bersubsidi. 

“Untuk pembelian ke SPDN memang harus punya rekom, yakni menjelaskan punya surat kapal. Kalau belum punya, dari pelabuhan ada keringanan. Yakni Harus punya surat Pacak (Izin membuat Kapal) yang rekomendasinya harus tanda tangan dari Kantor Desa, Kantor Kecamatan, tukang bikin perahu, dan pemilik perahu. Baru nanti pelabuhan bisa mengeluarkan Surat Pacak itu,” jelasnya.

Dengan surat rekom tersebut, nelayan sebenarnya sudah bisa membeli ke SPBU. 

“Tapi jika tidak diterima. Ya harus ke SPDN lagi. Tapi kondisi keterbatasan stok saat ini, yang membuat terjadinya kelangkaan. Sehingga mau tidak mau harus berbagi antar nelayan. Agar semua dapat. Cukup atau tidak pokok rata,” ujarnya.

Secara rinci terkait pembagian BBM solar bagi nelayan, Faitoni menjelaskan, untuk perahu besar sesuai surat rekom.

“Per satu kerja 200 liter. Tapi agar cukup dan rata kita kasih 100 liter. Untuk kapal sekoci (kapal besar), yang kerjanya dari 4 sampai 5 hari, dan butuh 400 liter, kita juga pangkas agar bisa dibagi ke perahu-perahu yang lain,” tandasnya.

Menurut Faitoni. Langkanya BBM jenis solar karena kondisi keterbatasan stok. Pengiriman per hari sebanyak 16 ribu liter tidak cukup memenuhi kebutuhan para nelayan.

“Karena SPDN dalam satu bulan ada kuotanya. Pengiriman itu kan 16 ribu liter. Pengiriman untuk awal bulan bisa tiap hari,” jelasnya.

SPDN di TPI Puger, lanjutnya, hanya mendapat stok BBM Solar 200 ribu liter sebulan.

“Tapi itu kan dibagi, per hari 16 ribu liter. Penjualan los per. Stok kita (200 ribu liter sebulan), bisa cukup untuk 14-15 harian,” katanya.

Dengan harga sesuai harga subsidi, per liter Rp 5.150, Fatoni menampik tudingan pihaknya lebih mengutamakan melayani tengkulak daripada nelayan yang lebih membutuhkan.

“Itu tidak benar, untuk pembelian ke tengkulak (pengecer). Kita prioritaskan nelayan,” katanya.

Nelayan banyak yang membeli dari tengkulak, karena selain enggan mengantri di SPDN, di tengkulak ada fasilitas pembelian dengan membayar belakangan.

“Nelayan juga punya banyak tanggungan ke tengkulak. Memang mereka beli ke tengkulak. Tapi kita tidak jual ke tengkulak saja, kita memang ngasih ke tengkulak dan menjualnya ke nelayan,” katanya.

Namun demikian, lanjutnya, tidak semua nelayan membeli dari tengkulak.

“Tapi nelayan yang tidak punya tanggungan ke tengkulak, belinya langsung ke saya (SPDN). Bahkan jatah tengkulak kita juga bagi rata kok, sama dengan nelayan. Misal punya banyak nelayan, tidak kita kasih lebih dari 300 liter, bisa 200 an. Apalagi sekarang solar susah,” tandasnya.

Antri Panjang Beli Solar di SPDN, Atau Beli Di Tengkulak

Kesulitan untuk membeli BBM jenis solar di SPDN (Stasiun Pengisian BBM Khusus Nelayan) mengharuskan nelayan harus rela antri berjam-jam. Seperti diakui oleh nelayan bernama Hariadi, menurutnya, untuk pembelian BBM solar di SPDN, harus berbagi dengan tengkulak atau pengecer yang juga ikut antri bersama dengan para nelayan.

“Kami kesulitan untuk mendapatkan BBM Solar, karena pihak SPDN hanya melayani (mendahulukan) untuk tengkulak atau pedagang eceran dengan membawa jerigen,” kata Hariadi saat ditemui wartawan di TPI Puger Minggu (5/9/2021) sore. 

Ditambah lagi, lanjutnya, nelayan diharuskan melampirkan surat rekom untuk membeli BBM solar di SPDN.

“Untuk membeli juga harus ada rekom (surat izin membeli BBM khusus nelayan). Sedangkan rekomnya kalau diurusi berbelit-belit, nelayan sendiri masyarakat awam,” katanya.

Saat sudah mendapat surat rekom, kata pria yang sudah 10 tahun lebih berprofesi sebagai nelayan ini, untuk pembelian BBM solar masih harus dibatasi 100 liter untuk masing-masing nelayan.

“Padahal kebutuhan kita bisa lebih, minimal 200 liter. Sehingga kita kesulitan, padahal kebutuhan nelayan ini kan lebih. 100 liter itu hanya cukup untuk berangkat saja. Lah kalau kita di tengah laut bagaimana mau pulang?”  ucapnya.

Hariadi menceritakan pengalaman rekannya sesama nelayan yang kehabisan solar di tengah laut.

“Ya karena kehabisan BBM, untung ada jukung (kapal nelayan kecil) yang lewat dan minta bantuan. Akhirnya dibantu dapat BBM, Alhamdulillah bisa pulang. Lah kalau gak bisa pulang bagaimana,” ungkapnya.

Kesulitan nelayan untuk mendapatkan solar ini diperparah dengan dugaan permainan oknum-oknum tidak bertanggung jawab. SPDN yang didirikan khusus untuk melayani nelayan, realitasnya ternyata tidak hanya melayani nelayan.

“Tapi anehnya, para tengkulak itu ada yang tidak punya kapal dan ada yang punya kapal tapi tidak semua tengkulak. Akhirnya, karena beli di SPDN dibatasi maksimal 100 liter, sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM solar. Ya terpaksa membeli dari tengkulak, yang harganya lebih dari harga normal. Untuk harga normal Rp 5.150, karena dapat subsidi,” jelasnya.

Ketika nelayan harus membeli BBM solar ke tengkulak atau pengecer, maka harganya akan berbeda dari harga normal.

“Biasanya dari Rp 7 ribu sampai 9 ribu per liternya. Tapi karena butuh ya kita ambil dan beli dari tengkulak itu,” katanya.

Bisa dibayangkan bagaimana kesulitan kami sebagai nelayan, lanjutnya, “Apalagi saat ini musim panen ikan, kita butuh BBM untuk melaut” keluhnya.

Ia meyayangkan keberadaan SPDN yang seharusnya memudahkan nelayan memenuhi kebutuhannya, namun faktanya, nelayan masih kesulitan mendapatkan bahan bakar yang sudah berlangsung sebulan belakangan,

“Sejak tanggal 1 Agustus 2021 kemarin. Dijanjikan tanggal 2 September ini normal. Ternyata tidak. Kita berharap pemerintah paham kondisi ini, Pemerintah, TPI, ataupun juga KUD (Koperasi Unit Desa),” harapnya.

“Sekarang buat apa ada SPDN itu, kalau tidak bisa memenuhi kebutuhan nelayan untuk melaut. Kan abal-abal itu berarti,” ucapnya jengkel.

Terkait surat rekom untuk membeli BBM Solar di SPDN, Hariadi juga berharap agar lebih mudah mengurusnya. 

“Tolong dipermudah ngurusnya. Dulu ada kartu nelayan. Lah ngapain tidak itu saja dipakai, kan katanya bantu nelayan terkait kebutuhan melaut juga. Kan cukup punya kartu nelayan sebagai bukti kalau yang beli BBM nelayan,” ucapnya.

Senada dengan Hariadi, nelayan lainnya Jamadi juga merasakan hal yang sama. Dirinya juga terpaksa membeli BBM solar dari tengkulak dengan harga yang dianggap tidak wajar.

“Karena sulitnya mencari solar, dengan terpaksa kita beli eceran. Tidak langsung ke SPDN. Per liter kita kena Rp 8 ribu. Padahal kebutuhan kita, kapal besar 200 liter kurang lebih. Kapal jukung (kecil, red), itu bisa sampai 20 literan. Kondisi ini mencekik kita,” ungkapnya.

Jamadi mengaku kesal dengan kondisi sulitnya mendapatkan solar justru disaat sedang terjadi musim ikan.

“Padahal kita kan ada POM (SPDN) khusus nelayan itu. Tapi stoknya tidak mencukupi, itu pun BBMnya subsidi. Tapi terpaksa beli dari tengkulak. Per liter Rp 8 ribu. Carinya juga sulit, dari desa ke desa. Ke Pom mini itu,” sambungnya.

Cara belinya juga harus antri dari pagi sampai sore. 

“Tadi pagi kita beli, dari pukul 7 pagi sampai jam 11 siang. Bahkan ada yang sampai sore. Bahkan anehnya, kalau beli harus ada surat izin atau rekom. Padahal kita kan sudah punya kartu nelayan,” katanya.

Surat izin yang dimaksud, kata Jamadi untuk membeli BBM solar di SPDN.

“Surat izin itu kita pakai beli ke SPDN, juga bisa ke Pom (SPBU) Puger yang di pinggir jalan itu. Tapi ya gitu, kadang bisa, kadang tidak. Dibatasi,” pungkasnya.

Pewarta : Kustiono Musri