Masih banyaknya persoalan fakir miskin dan anak terlantar di sekitar kita adalah fakta menyedihkan, bahwa amanat Undang Undang tentang fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara, belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jember.

Diakui atau tidak, masih sering didengar dan ditemukan kejadian di berbagai pelosok wilayah kabupaten Jember tentang keberadaan fakir miskin, lansia, dan anak-anak terlantar yang hidup atas belas kasihan tetangga, para dermawan dan/atau pegiat sosial. Yang terjadi, kebanyakan mereka justru “dipelihara” oleh tetangganya sendiri, bukan dipelihara oleh pejabat atau organ resmi pemerintah daerah ! 

Padahal, masih jelas di-ingatan publik, saat mencalonkan diri di pilkada kemarin, Hendy dengan gagahnya memasang baliho besar di berbagai titik papan reklame berbayar dan bertuliskan Jember Kabupaten Termiskin ke 2 di Jatim. Wes Wayahe Mbenahi Jember.

Namun, meski sudah setahun berjalan, dengan segala fasilitas dan kewenangan yang telah dimilikinya sejak dilantik sebagai Bupati, belum terlihat adanya Political Will atau produk kebijakan dan langkah konkrit dari rezim ini, yang menunjukkan keberpihakannya terhadap ratusan ribu warganya yang berstatus miskin. Setahun pemerintahan Hendy, publik masih sebatas disuguhi adegan-adegan pencitraan dalam acara acara seremonial tanpa bekas.

Apapun alasannya, sepanjang masih bisa menggunakan akal sehat, semua orang pasti sepakat, bahwa persoalan kemiskinan tidak akan pernah bisa selesai hanya dengan retorika seremonial seperti J-HUR Jember Hadir Untuk Rakyat apalagi hanya dengan sekedar memasang baliho lalu rame-rame menggaungkan jargon Jember Kueren.

Fakir miskin dan anak-anak terlantar yang tersebar di seluruh penjuru Jember itu butuh makannya hari ini, bukan besok atau lusa, dan pastinya, bukan menunggu selesainya infrastruktur yang diharapkan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Mereka butuh hadirnya pemerintah dengan sebuah kebijakan strategis dari bupati tentang nasib mereka. Mereka butuh wujud kebijakan konkrit hadirnya pemerintah untuk memelihara mereka sesuai amanat undang-undang. Mereka tidak bisa menunggu multiplier efek dari program pembangunan infrastruktur.

Sebagai pemimpin yang diberi kewenangan mengelola triliunan uang rakyatnya, seharusnya memahami prinsip bahwa, orang miskin terpaksa hutang untuk menyambung hidup, kelas menengah hutang untuk eksistensi kemapanan statusnya, sedang orang kaya hutang untuk mengembangkan usahanya. Artinya, dibutuhkan kepekaan dan keberpihakan dari figur pemimpin yang dipilih oleh rakyat terhadap tiga golongan besar tersebut. Bagaimana mengakomodir dan bersikap welas asih terhadap kepentingan masyarakat miskin, tanpa harus melupakan kepentingan kelas menengah dan kelas atas.

Melihat gebyar kemewahan acara seremonial sepanjang pelaksanaan acara J-HUR ditengah keberadaan 10% warganya yang tergolong miskin, mengingatkan kita pada lagu Anak Singkong yang bercerita tentang Singkong dan Keju. 

Data BPS menyebutkan, Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Jember pada bulan Maret 2021 mencapai 257,09 ribu jiwa. Kalaupun ada beberapa orang diantara ratusan ribu orang itu yang sengaja dihadirkan di hadapan Bupati untuk menerima bantuan yang kemudian di blow-up dan dipamerkan ke ruang publik, hal itu justru semakin menunjukkan minimnya empati dari rezim ini terhadap keberadaan Fakir Miskin itu sendiri. Seremonial seperti itu justru mengesankan adanya upaya untuk meng-kapitalisasi Kemiskinan demi pencitraan diri sang pemimpin. Persis seperti yang pernah dilakukannya pada pilkada kemarin dengan memasang baliho Jember Kabupaten Termiskin ke 2 di Jatim. Hanya sekedar pasang baliho, lalu selesai sudah.

Dengan viralnya anggaran 3,7 Miliar untuk renovasi Pendopo, yang hanya untuk keset saja sampai menghabiskan anggaran 79 Juta, untuk kolam renang dan kolam ikan masing-masing 102 juta dan juga  kabar sebelumnya tentang rehab Gedung Lapangan Golf yang dengan entengnya diberi anggaran 5 miliar. Kebijakan ini sangat kontras dan menyinggung rasa keadilan bagi 257,09 ribu jiwa warga Jember berkategori miskin.

Terlebih kemudian bupati dengan vulgar bicara didepan publik, “Saya memang suka yang mewah-mewah”. Waooow…. sepertinya Hendy lupa, bahwa dia sedang bicara sebagai bupatinya warga Jember. Bukan lagi bicara sebagai salah satu orang terkaya di Jember. Hendy mungkin sudah lupa bagaimana perasaan orang miskin. Bisa jadi karena Hendy sudah terlalu lama menjadi orang super kaya dengan lingkungannya yang hedonis.

Beruntung mayoritas warga miskin itu tergolong kelompok yang buta politik. Andai saja mereka melek politik, maka mereka akan memahami benar tentang hak-haknya sebagai sesama warga negara dan sesama warga Jember yang seharusnya punya hak yang sama untuk bisa ikut menikmati 4 Triliun lebih uang APBD.

Coba bandingkan anggaran untuk pencitraan kemewahan materi dengan anggaran untuk Lansia dan Anak Terlantar di 31 Kecamatan, 248 Desa/Kelurahan se Kabupaten Jember di Dinas Sosial. 

DI tahun 2022 ini, anggaran program Pengadaan sembako bantuan untuk anak terlantar hanya dianggarkan 89,7 juta. Dan satu lagi program Pengadaan bantuan sembako untuk anak / balita / bayi terlantar dianggarkan 82,685 juta rupiah saja. Anggaran untuk dua program bagi anak terlantar se kabupaten tersebut nilainya setara dengan nilai anggaran untuk membangun kolam ikan atau kolam renang Pendopo.

Belanja Peralatan makan dan Sembako Lansia Terlantar se kabupaten Jember dianggarkan senilai 468,5 juta rupiah. Cukup besar sepertinya, tetapi masih kalah jauh dengan anggaran untuk gedung Golf yang sampai 5 Miliar. 

Membaca judul programnya, sepertinya Dinas Sosial hanya akan memberi bantuan peralatan makan dan sembako kepada lansia terlantar. Bukan menganggarkan biaya permakanan seperti era awal pemerintahan Bupati Faida. Lalu, mungkinkah lansia yang sudah terlantar itu bisa memasak sendiri dengan bantuan peralatan masak dan sembako yang nantinya akan diterima dari Pemerintah ? Sepertinya perlu ada penyempurnaan pemikiran. Apalagi bagi lansia yang tak lagi bisa beraktivitas.

Lalu, pertanyaannya. Apa maksud dan tujuan sebenarnya dari Haji Hendy Siswanto saat itu rela membuang uang puluhan juta hanya untuk memasang baliho bertuliskan “Jember Kabupaten Termiskin ke 2 di Jatim. Wes Wayahe Mbenahi Jember” ?

Oleh : Kustiono Musri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back To Top