Ada Udang dibalik Jabatan PLt ?
Fenomena kebijakan kepegawaian di Pemkab Jember tak henti-hentinya membuat heboh. Penyebabnya klasik, selalu berulang dan konsisten “Nabrak Aturan”, sehingga memunculkan keyakinan aneh terhadap “kebenaran baru absolut”.
Masih segar dalam ingatan publik ketika Bupati Hendy Siswanto baru menjabat tak lebih dari 2 minggu, tepatnya pada 12 Maret 2021, tiba-tiba menunjuk lebih dari 631 pejabat Pelaksana tugas, bahkan termasuk status Sekda Mirfano yang berubah menjadi menjadi Pj Sekda. Namun, terakhir malah tidak diakui oleh Kepala BKPSDM Sukowinarno bahwa Sekda pernah berstatus Plt atau Pj. Padahal, statemen Bupati Hendy Siswanto yang dikutip oleh banyak media pada kisaran waktu 12 Maret 2021, jelas menyebutkan adanya perubahan status Sekda.
Tak hanya dari berita berdasar statmen lisan Bupati yang menyebutkan perubahan status Sekda, publik Jember juga mengetahui perubahan status sekda melalui beberapa dokumen yang beredar diruang publik. Keduanya menunjukkan bahwa perubahan status Sekda adalah benar adanya.
Lalu entah apa penyebabnya, diberbagai kesempatan, Kepala BKPSDM berani menyebutkan hal yang berbeda dengan statmen Bupati. bahwa status Sekda Mirfano tidak pernah berubah menjadi PLt maupun Pj. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan statmen Bupati. Anehnya, pernyataan berbeda antara Bupati dengan bawahannya yang membingungkan publik seperti itu samasekali tidak ada pihak berwenang yang mau meluruskan termasuk dari pihak DPRD Jember. Faktanya, posisi Kepala BKPSDM masih aman-aman saja, dan tetap dijabat oleh Sukowinarno. Bahkan ada kesan, yang bersangkutan malah mendapat keuntungan dengan mendapat tugas tambahan menjadi plt Kepala Dinas Pendidikan.
Sejak era Bupati Hendy Siswanto, ada beberapa OPD yang sampai sekarang masih dijabat oleh pejabat berstatus Plt. mulai dari Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan RSD dr Soebandi.
Faktanya, sampai sekarang, Kepala Dinas Kesehatan belum pernah diduduki pejabat definitive. Mulai Maret sampai oktober 2021 Plt Kepala Dinas Kesehatan dijabat oleh dr. Wiwik Supartiwi, selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan. Kemudian mulai Oktober 2021 sampai sekarang September 2022, kurang lebih 11 (sebelas) bulan masih tetap dijabat oleh pejabat berstatus PLt, yaitu dr. lilik Lailiyah. Pertanyaannya, ditengah ribuan SDM yang ada, tidak adakah pejabat yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pejabat definitif ? Mengapa DPRD diam ? Kemana KASN ?
Dengan Kondisi tersebut, ada beberapa hal yang perlu untuk dicermati sbb ;
- Sesuai Ketentuan peraturan perundangan sebagaimana dituangkan dalam SE Kepala BKN nomor 1 Tahun 2021 menetapkan lama jabatan Plt maksimal adalah 2 (dua) kali 3 (tiga) bulan. Ketika saat ini pejabat plt telah menjabat lebih dari 11 bulan, entah berapa kali surat tugas perpanjangan jabatan plt diterbitkan. Dari kebijakan ini, nampak jelas telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Bagaimanakah fungsi pengawasan internal APIP/Inspektorat ? Bagaimanakah pengawasan politik DPRD ? Bagaimanakah pengawasan fungsional KASN, Gubernur, Kemendagri ? Apa perlu menunggu pengawasan model rakyat dengan mensegel kantor pejabat yang dianggap tidak sesuai regulasi seperti yang pernah terjadi di era Bupati Faida?
- Dinas Kesehatan adalah OPD dengan anggaran, kewenangan, ruang lingkup layanan dan SDM super besar. Dengan status Plt Kepala Dinas Kesehatan artinya kewenangan mutlak ada di tangan Bupati selaku PPK, sementara Plt Kepala Dinas hanyalah pelaksana mandate dengan kewenangan terbatas. Apakah motif Bupati Hendy Siswanto melakukan ini ? Adakah motif mengambil untung dari posisi kewenangan Plt yang serba lemah ini ?
- Anehnya Sekretaris Daerah selaku PyB, Pejabat di lingkungan Dinas Kesehatan selaku obyek kebijakan dan juga Inspektorat selaku APIP semua kompak mendiamkan kebijakan aneh tersebut, dimana letak dedikasi ketaatan dan kepatuhan kepada ketentuan perundangan ?
- Akhir tahun 2021 telah ditetapkan beberapa Kepala OPD hasil open bidding, Namun posisi jabatan Kepala Dinas Kesehatan tidak termasuk jabatan kosong yang dibuka lowongannya untuk diisi melalui open bidding, mengapa bisa begitu ?
Kedua, Pejabat Plt Kepala Dinas Pendidikan. Sejak Bambang Hariyono Pensiun Februari 2022 dari Kepala Dinas Pendidikan, ditunjuk pejabat Plt Sukowinarno. Sekarang sudah menjabat sebagai Plt selama 7 (tujuh) bulan, artinya sudah 2 (dua) kali perpanjangan, semoga tidak lupa membuat Surat Tugas perpanjangan.
Tentang Plt Kepala Dinas Pendidikan ini ada beberapa catatan menarik yaitu :
- Ketentuan peraturan perundangan sebagaimana dituangkan dalam SE Kepala BKN nomor 1 Tahun 2021 menetapkan lama jabatan Plt maksimal adalah 2 (dua) kali 3 (tiga) bulan ? Dengan saat ini pejabat plt telah menjabat 7 (tujuh) bulan, maka berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sekali lagi …. Bagaimanakah fungsi pengawasan internal APIP/Inspektorat ? Bagaimanakah pengawasan politik DPRD ? Bagaimanakah pengawasan fungsional KASN, Gubernur, Kemendagri ? Apa menunggu pengawasan model rakyat dengan mensegel kantor pejabat yang dianggap tidak sesuai regulasi seperti era Bupati Faida?
- Dinas Pendidikan adalah OPD dengan anggaran, kewenangan, ruang lingkup layanan dan SDM terbesar. Dengan status Plt Kepala Dinas Kesehatan artinya kewenangan mutlak di tangan Bupati selaku PPK, sementara Plt Kepala Dinas hanyalah pelaksana mandat dengan kewenangan terbatas. Apakah motif Bupati Hendy Siswanto melakukan ini ? Adakah motif mengambil untung dari posisi kewenangan Plt yang serba lemah ini ? Dengan jumlah SDM lebih dari 10 ribu Pegawai maka Dinas Pendidikan adalah obyek gemuk yang seksi bagi bisnis kekuasaan diantaranya seperti jual beras melalaui KJHS. Entah kebetulan atau memang ada kaitannya, program jual beras kepada pegawai tersebut, terjadi saat posisi Plt Kepala dinas Pendidikan dijabat oleh orang sama dengan sekretaris koperasi yang menawarkan beras yakni Sukowinarno.
Ketiga, Pejabat Plt Direktur RSD dr. Soebandi. Fenomena makin aneh ditunjukkan dalam penunjukkan jabatan Plt Direktur RSD dr Soebandi. Hari ini Plt Direktur adalah dr. Hendro Soelistijono yang merupakan mantan Direktur RSD dr Soebandi dan secara definitive telah dimutasi sebagai Asisten Sekda bidang Perekonomian dan pembangunan. Fenomena mutasi dr. Hendro sebagai Asisten namun tetap merangkap jabatan selaku plt Direktur RSD dr. Soebandi makin menguatkan dugaan bahwa ada strategi ambil untung dalam setiap kebijakan Plt Kepala OPD atau instansi di lingkungan Pemkab Jember.
Secara sederhana, bisa dipahami bahwa posisi Plt adalah ketiadaan wewenang, perannya hanyalah pelaksana tugas rutin tanpa kewenangan keputusan strategis yang memberikan arah kebijakan dan keputusan atas semua upaya mensukseskan misi keberadaan RSD dr Soebandi. Oleh karenanya setiap jabatan mensyaratkan kompetensi untuk mendukung pelaksanaan kewenangan demi suksesnya misi tugas dan tanggungjawab jabatannya. Lalu ketika seseorang yang telah diakui kompetensinya secara legal formal dimutasi dan hanya diposisikan sebagai Plt Direktur RSD dr Soebandi, maka jangan salahkan kalau kemudian muncul “dugaan liar” bahwa ada UDANG DIBALIK REMPEYEK !!!,
Lalu siapakah penikmat rempeyek udangnya. Pola strategi inilah juga yang diduga dimainkan dalam semua kebijakan penunjukkan Plt. Sehingga bisa dima’fumi ketika di awal Pemerintahan Bupati Hendy Siswanto semua jabatan struktural di Plt-kan dengan alasan, kondisi extra ordinary alias darurat. Suatu klaim yang tidak memiliki argument apapun. Baik argument hukum, argument politik, argument administrasi maupun argument sosial. Jauh dari ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan perundangan dan yang jelas sangat kental dugaan adanya kepentingan tertentu, contohnya proyek multiyears dilaksanakan tanpa landasan RPJMD dan RKPD.
Saat itu, kondisinya ditamsilkan bahwa Jember sedang dalam keadaan darurat sehingga khomer alias miras yang harampun boleh diminum dan menjadi halal. Dalil yang secara serampangan diterapkan tanpa ada keputusan dari para pihak yang kompeten dan berwenang memutuskan, diklaim sepihak oleh para pembela penguasa secara membabi buta seolah menjadi kebenaran baru yang absolut yang wajib diikuti oleh semua pihak tanpa perlu syarat lagi.
Malang benar nasibmu Jember. Maka dengan klaim darurat sepihak sehingga khomer menjadi halal, maka para pengambil keputusan yang mabuk membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan pemerintahan daerah, akibatnya kita semua menikmati situasi Jember dalam posisi yang serba dilematis, bagaikan dalam dongeng Petruk dadi ratu yang hobby nya mabuk untuk menikmati lezatnya kekuasaannya.
Keempat, yang paling gress adalah kebijakan mem-Plt-kan Sekretaris Daerah.
Terhadap kebijakan ini, yang pertama yang perlu diberikan catatan adalah diduga bahwa kebijakan Bupati Hendy Siswanto terhadap pengangkatan Sekretaris Daerah dari awal masa pemerintahannya konsisten melanggar ketentuan peraturan perundangan. Pada 12 Maret 2021 pasca pengundangan Peraturan Bupati nomor 1 Tahun 2021 tentang KSOTK Sekretariat Daerah Bupati Hendy Siswanto kepada media menyatakan bahwa Mirfano diangkat dengan status Pj Sekda. Namun statemen Bupati ini, seperti telah dijelaskan diatas, pada akhirnya dimentahkan oleh banyak pihak dalam lingkaran kekuasaanya diantaranya oleh Kepala BKPSDM Sukowinarno bahwa Mirfano tidak pernah berstatus Plt atau Pj.
Diduga, karena semua pihak tahu bahwa pengangkatan sebagai Pj Sekda pada saat itu tanpa melalui persetujuan Gubernur maka dibuatlah alibi baru sebagaimana dikemukakan oleh Sukowinarno, yang lalu memiliki beberapa implikasi serius yaitu :
- Menyebut Mirfano tidak pernah berstatus sebagai Pj Sekda setelah pengundangan Perbup nomor 1 Tahun 2021 tentang KSOTK Sekretariat Daerah. Statmen tersebut memunculkan pertanyaan formasi jabatan berdasar Perbup KSOTK mana Mirfano bertugas , berperan dan bertanggungjawab ? Karena semua tugas, wewenang dan tanggungjawab jabatan Sekretaris Daerah yang amat penting, berdampak luas dan berpengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan daerah semuanya wajib berlandaskan pada ketentuan yang secara legal formal dapat dipertanggungjawabkan. Penyebutan tersebut menunjukkan bahwa pejabat setingkat kepala BKPSDM secara sengaja bermain-main dengan ketentuan perundangan yang menjadi bidang kompetensi dan tanggungjawabnya.
- Telah terjadi ketidakpastian hukum karena setelah pengundangan Perbup nomor 1 Tahun 2021 maka formasi jabatan Mirfano atas dasar Perbup tentang KSOTK yang diundangkan 3 Desember 2016 tidak lagi berlaku. Mirfano harus bertugas, berwenang dan bertanggung jawab berdasar Perbup nomor 1 Tahun 2021 tentang KSOTK Sekretariat Daerah yang diundangkan 8 Maret 2021. Menyebutkan bahwa Mirfano bisa bertugas, berwenang dan bertanggungjawab berlandaskan Perbup selain nomor 1 Tahun 2021 untuk menjalankan tugas, kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana produk Perbup nomor 1 Tahun 2021 adalah suatu tindakan yang tidak memiliki landasan argument dari segi apapun, dan hal tersebut telah membuat ketidakpastian hukum posisi jabatan Mirfano mulai 9 Maret 2021 sampai mengambil MPP pada 15 September 2022.
- Karena posisi jabatan yang memiliki dampak ketidakpastian hukum adalah jabatan Sekretaris Daerah yang memegang kewenangan kunci dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yaitu sebagai PyB, sebagai Ketua TAPD, sebagai pejabat yang mengundangkan produk hukum Pemkab Jember, sebagai Pengelola BMD, dan sebagai Ketua TPK ASN maka hal tersebut membawa implikasi hebat diantaranya adalah : dugaan ketidakabsahan APBD 2021 dan 2022, dugaan ketidakabsahan semua jabatan di lingkungan pemerintah Kabupaten Jember, dugaan ketidakabsahan semua produk hukum Pemkab Jember mulai 9 Maret 2021, ketidakabsahan semua transaksi yang bersumber dari dana APBD dan semua konsekuensi yang bersumber dari ketidakabsahan jabatan Sekretaris Daerah.
Nah, atas semua hal yang telah digambarkan tersebut diatas, lalu pada tanggal 15 September 2022 Bupati Hendy Siswanto mengulangi lagi manuver nya dengan menerbitkan surat Perintah Pelaksana Tugas sebagai Sekretaris Daerah kepada Arief Tyahyono.
Kebijakan yang juga tidak memiliki landasan hukum, dan otomatis juga akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Konsistensi kebijakan ini tentu memiliki maksud dan tujuan. Publikpun akan mudah mengkaitkan dengan kondisi saat ini Pemkab Jember bersama DPRD sedang membahas KUA PPAS dan Rancangan P-APBD. Sebuah proses penting yang membutuhkan kehadiran secara legal formal seorang yang berposisi sebagai Sekretaris Daerah.
Andai secara normal bersedia taat dan patuh pada ketentuan peraturan perundangan maka acuannya adalah Perpres 3 tahun 2018, maka Bupati semestinya mengangkat Plh Sekda untuk waktu sampai 7 (tujuh) hari dan mengusulkan permohonan persetujuan Pj Sekda kepada Gubernur dan setelah Pj Sekda dilantik dan memegang SK maka pembahasan Rancangan PAPBD dilanjutkan. Tindakan ini akan memberikan posisi yang aman, nyaman dan berkekuatan hukum bagi semua pihak. Namun, bisa jadi karena pengalaman melanggar hukum dan mengabaikan regulasi telah dilalui secara mulus maka apa yang pernah dilakukan menjadi yurisprudensi tindakan ngawur berikutnya.
Pertanyaannya adalah : Mengapa tindakan-tindakan mengabaikan regulasi menjadi trademark Pemerintahan Bupati Hendy Siswanto ? Apa karena semua pihak yang berwenang dan berkompeten membiarkan, mendukung atau abai atas tugas dan tanggung jawabnya ?
Duh sia-sia rasanya petinggi-petinggi dan orang-orang pusat di institusi penting Negeri ini menyusun ketentuan perundangan yang rumit dan mahal. Ternyata implementasinya justru dilecehkan oleh pejabat didaerah yang dalam sumpah nya menyebut : “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban saya sebagai bupati …… dan menjalankan Undang-undang dan peraturanya dengan selurus-lurusnya …… “.
wallahu a’lam bishawab
Super sekali cak Kus