Polemik KSOTK dan Pengembalian Jabatan Jember

Posted on

Polemik KSOTK dan Pengembalian Jabatan Jember

Oleh : Hermanto Rohman, S.Sos., M.PA.,
Pakar Administrasi Negara Universitas Negeri Jember

Polemik ini sebenarnya sudah muncul lama jauh sebelum pilkada, tepatnya setelah muncul Surat Nomer 700/12429/SJ tentang rekomendasi mendagri hasil pemeriksaan khusus atas laporan dugaan mutasi PNS yang menyalahi aturan oleh tim Irjen Kemendagri tertanggal 11 November 2019.

Surat tersebut memerintahkan Gubernur Jawa Timur untuk secara tertulis memerintahkan Bupati mencabut 15 Keputusan Pengangkatan Jabatan dan 1 Keputusan bupati tentang demisioner jabatan serta 1 keputusan pengangkatan kembali pejabat yang dilakukan demisioner, serta segera mengembalikan pejabat sebelum diakukan pengangkatan dalam jabatan pada posisi semula sebelum ditetapkannya keputusan Bupati pada pengangkatan jabatan tertanggal 3 Januari 2018.

Rekomendasi berikutnya adalah mencabut 30 Perbup KSOTK yang ditandatangani dan diundangkan tanggal 3 Januari 2019 dan selanjutnya memberlakukan kembali KSOTK yang di tandatangani dan diundangkan tanggal 1 Desember 2016.
Rekomendasi ini kemudian dikuatkan oleh Surat Gubernur Nomer 131/25434/011.2/2019 yang ditujukan kepada Bupati. Polemik semakin memuncak karena rekomendasi ini tidak dilakukan oleh bupati dan menjadikan DPRD menghentikan pembahasan APBD 2020 karena sandaran anggaran mengacu pada KSOTK yang mana yang dipakai pasca rekomendasi yang beum kunjung dijalankan.

Bahkan tertanggal 1 September 2020 keluar surat mendagri yang salah satu pointnya adalah mengingatkan kesepakatan tertanggal 7 juli 2020 antara bupati, DPRD, dan Mendagri agar pemerintah kabupaten Jember (bupati) menindak lanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan khusus selambat-lambatnya 7 September 2020.
Surat ini terbit setelah bupati melalui gubernur meminta persetujuan pengukuhan pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator dan pejabat pengawas sebanyak 611 orang. Dalam hal keputusan mendagri tidak menyetujui dan menekankan agar bupati menindak lanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan khusus terlebih dahulu dengan pembinaan dan pengawasan Oleh Gubernur Jawa Timur, serta pengawasan juga dapat dilakukan oleh DPRD.

Namun dalam perjalanannya Bupati tetap melakukan mutasi pejabat yang dilakukan berturut turut tertanggal 3 Januari 2020, 6 Januari 2020, dan 7 Januari 2020.

Dengan adanya mutasi pejabat ini Mendagri mengeluarkan surat nomer 800/5072/OTODA yang menegaskan bahwa pelantikan tersebut tidak pernah disampaikan laporannya dan tidak pernah juga ada rekomendasi persetujuan pelantikan dari mendagri. Hal ini dikarenakan Bupati belum menyelesaikan masalah sebagaimana penegasan surat sebelumnya (rekomendasi hasil pemeriksaan) serta masih bermasalah terkait dengan KSOTK yang dijadikan acuan masih belum selesai diundangkan. Pada surat ini kembali mendagri meminta agar Gubernur melakukan pembinaan dan Pengawasan serta DPRD juga melakukan pengawasan pada pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan merit sistem di Jember.

Puncaknya kemudian pada saat Bupati Cuti Kampanye Pilkada ditunjuk Plt Bupati dalam hal ini adalah Wabup Kiyai Muqiet. Karena penunjukan Plt ini bersamaan dengan pembahasan APBD dan dorongan sebagian besar anggota DPRD dan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan penghambat pembahasan APBD 2020 maupun APBD 2021 maka Plt Bupati berinisiatif dengan melakukan konsultasi dengan DPRD, serta dengan Mendagri di kantor Irjen Kemendagri tertanggal 04 November 2020.

Hasil rapat tersebut adalah pemerintah kabupaten Jember melalui Plt Bupati telah melakukan pemutakhiran data dan menjalankan rekomendasi pemeriksaan khusus yang masih terkatung katung dan tidak dijalankan. Rapat tersebut dihadiri Oleh Tim Inspektorat Jatim, serta Inspektorat Jenderal Kemendagri dan Inspektur Khusus Itjen Kemendagri dan rapat tersebut baru menyatakan bahwa Jember sudah meneyelesaikan polemik KSOTK sebagai dampak dari hasil rekomendasi pemeriksaan khusus yang tidak segera dijalankan bupati.

Pasca rapat tersebut berikutnya yang bisa dilakukan adalah pemerintah daerah bisa mengajukan KSOTK Baru 2020 untuk mendapatkan persetujuan mendagri sebagai dasar penataan organisasi berikutnya. Sepertinya ini juga sudah dilakukan oleh Plt Bupati dan sudah ada persetujuan dari mendagri untuk diundangkan KSOTK baru 2020. Namun karena masa tugas sebagai Plt habis maka keputusan ini ada di Bupati yang aktif kembali setelah cuti kampanye dan faktanya itu tidak dilakukan saat ini.

Dengan melihat runtutan peristiwa tersebut, maka memahaminya mari kita kembali dengan mendasarkan pada ketentuan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU No 9 tahun 2015 tentang perubahan kedua UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah.

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, disebutkan Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan namun penetapan kebijakan daerah tersebut wajib berpedoman pada norma, standart, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat ( Pasal 17 ayat 1 dan 2). Kebijakan daerah yang dibuat jika tidak berpedoman norma, standart, prosedur dan kriteria yang berlaku maka pemerintah pusat membatalkan kebijakan daerah yang dimaksud ( Pasal 17 ayat 3).

Penyusunan KSOTK dan kebijakan mutasi pejabat merupakan kewenangan pemerintah daerah. Namun jika di dalam perjalanannya terjadi masalah sebagaimana yang terjadi di Jember berdasarkan pengaduan masyarakat maka pemerintah pusat melalui mendagri bisa melakukan pemeriksaan dan tentunya kaidah pemeriksaan berpedoman norma, standart, prosedur dan kriteria yang berlaku dan jika kemudian ditemukan menyalahi maka kebijakan tersebut dibatalkan.

Dalam kasus Jember temuan mendagri melalui pemeriksaan khusus terdapat beberapa norma dan ketentuan yang dilanggar terkait KSOTK yaitu PP No 18 tahun 2016 tentang perangkat daerah, Permendagri No 35 tahun 2016 tentang Analisa Jabatan, Permendagri No 99 tahun 2018 tentang Pembinaan dan Penataan Perangkat Daerah dan parahnya lagi KSOTK tersebut disusun tampa konsultasi dengan pemerintahan provinsi Jawa Timur sehingga menimbukan masalah dan direkomendasikan untuk di cabut. Sedangkan untuk pengangkatan jabatan hasil pemeriksaan ditemukan pelanggaran UU No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, PP No 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS, PP No 48 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif ke Pejabat Pemerintahan, PP No 13 Tahun 2002Tentang Pengangkatan PNS daam Jabatan Struktural, lampiran 1 Keputusan Kepala BKN No 13 tahun 2002 yang menjadikan proses pengangkatan secara norma dan prosedur menyaahi sehingga peru dibatakan dan dikembaikan ke posisi semula.

Jika melihat proses tersebut maka hasil rekomendasi mendagri yang memerintahkan bupati mencabut dan membatalkan keputusannya dalam bentuk Perbup SOTK. Dalam posisi ini jika mengacu pada UU No 23 tahun 2014 maka piihannya ada dua bagi Bupati yaitu sejak surat tersebut diterima maka paling lama 7 hari harus menghentikan (mencabut) perkada tersebut atau mengajukan keberatan kepada mendagri paling lama 14 hari sejak keputusan pembatalan (mencabut) diterima bupati (Pasal 251 ayat 6 dan ayat 8). Namun kasus di Jember ini berlarut larut dan jika dilihat dari fakta posisi Bupati tidak juga mencabut maupun mengajukan keberatan.

Jika dalam perjalanan polemik kemudian Kiyai Muqiet yang saat itu sebagai Plt bupati kemudian menjalankan Rekomendasi (perintah) mendagri maka ini merupakan bentuk kepemimpinan kiyai yang problem solving sekaligus kenegarawan karena taat norma, standart, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahannya.

Pertanyaannya apakah kiyai Muqiet dengan jabatan sebagai Plt Bupati telah melampaui kewenangannya?.

Jika mengacu pada UU No 9 tahun 2015 tentang perubahan kedua UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pada pasal 66 ayat 1 point c disebutkan wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara. Jadi apa yang dilakukan oleh Kiyai Muqiet sebagai Plt Bupati tidak melampau kewenangannya apalagi apa yang dilakukan juga sudah dikonsultasikan dengan instansi vertikal diatasnya termasuk kepada kemendagri dan sebagai tindaklanjut menjalankan perintah mendagri.

Persoalan kemudian jika ada individu yang dirugikan atas kebijakan Plt Bupati saat itu maka bisa melakukan langkah hukum melalui PTUN dan biasanya adalah pihak yang dirugikan dan merupakan obyek putusan kebijakan Plt Bupati. Maka tidak menemukan nalarnya kalau bupati justru yang merasa dirugikan, karena mestinya pihak yang dirugikan adalah individu (pejabat) OPD yang dikembalikan jabatannya.

Oleh :
Hermanto Rohman, S.Sos., M.PA.
Pakar Administrasi Negara 
Universitas Negeri Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.