Polemik tentang surat Gubernur Jawa Timur tanggal 7 Juli 2020 yang secara tegas menyebutkan Faida layak dipecat sebagai Bupati Jember dan sempat membuat tensi politik Jember cenderung memanas, mendapat tanggapan dari Pejabat Pemerintahan Provinsi.
Disela-sela kunjungan Gubernur Jatim Khofifah Parawansa di Jember, Kepala Inspektorat Provinsi Jawa Timur Helmy Perdana Putra bersedia diwawancarai sejumlah awak media tentang persoalan Kabupaten Jember.
Helmy menampik tuduhan kelompok pendukung Faida tentang bocornya rekomendasi Gubernur, “Surat itu bukan bocor. Kalau ibu (gubernur) belum ngeluarkan sudah keluar, itu (bisa disebut) bocor. Itu enggak. Karena surat itu sudah (keluar bulan) Juli yang lalu” jelasnya pada sejumlah awak media di lobby gedung Bank Indonesia Jember Minggu siang 15 November 2020.
“Kalau itu harus dikonsumsi masyarakat, ya tidak apa apa, karena sudah keluar” tegasnya.
Helmy menambahkan, sejak ditunjuknya PLt Bupati, pemerintah Provinsi bersama Kementrian Dalam Negeri begerak menyelesaikan permasalahan Kabupaten Jember. “Tugasnya Inspektorat waktu itu adalah mengawal Rekomnya Mendagri untuk mengembalikan KSOTK, SK-SK dan mutasi-mutasi hasil temuan (pelanggaran) Irjen Kemendagri” tambahnya
“Plt itu (Kiayi Muqiet) melaksanakan tugasnya. Ia menyelesaikan apa yang belum diselesaikan oleh Bupati (Faida)” terangnya.
Ketika ditanyakan tentang pelaksanaan mutasi tersebut dilakukan bertepatan dengan tahapan Pilkada, Helmy tegas menolaknya ”Tidak ada kaitannya dengan Pilkada. Karena waktunya yang ada cuma itu, bertepatan dengan Pilkada, jadi bukan di pas-paskan” ujarnya.
Sanksi pemecatan Bupati merupakan wewenang Mendagri. “Ini masalahnya, belum ada jawaban apapun. Ibu (Gubernur) sudah memberikan bola itu ke Mendagri. Apa yang direkomendasi Mendagri sudah ditindaklajuti oleh Ibu, suruh kasih sanksi pemberhentian hak keuangan sudah, itu semua perintah dari sana,” pungkas Helmy.
Pernyataan Helmy ini dengan tegas membantah statmen dari kelompok pendukung Faida yang menganggap surat tersebut bersifat rahasia. Bahkan diberitakan oleh salah satu media online di Jember, langkah Plt Kiayi Muqiet melantik dan mengembalikan posisi 367 pejabat dilaporkan ke Baswaslu Jember karena diduga melanggar UU Pilkada.
Sebelumnya, seperti dilansir Nusadaily.com, Ketua LSM Gagak Hitam, Abdul Haris Afianto alias Alvin menyebut penyebarluasan surat Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang berisi rekomendasi pemecatan Bupati Jember Faida membuat resah masyarakat.
Dia merasa kesal dengan para pihak, termasuk DPRD yang justru memperbesar ukuran salinan surat untuk dipajang dalam bentuk baliho. Alvin menganggap surat Gubernur bukan konsumsi publik.
“Saya pertanyakan yang masang katanya salah seorang anggota Dewan atau kelembagaan? Sangat disayangkan DPRD membuat resah masyarakat. Kalau pribadi, ada apa kok sampai mempublikasi rahasia negara?,” ketus Alvin.
Alvin terlihat bersama puluhan orang anggotanya berseragam serba hitam mendatangi lokasi baliho yang berada di depan Gedung DPRD.
“Orang Jember tidak suka kerusuhan. Tapi, jangan coba-coba membuat kerusuhan di kabupaten Jember, terutama untuk Pilkada ini,” ucap pria yang juga Ketua KONI Jember itu.
Sebagai informasi untuk diingat kembali, pemeriksaan Inspektorat menyimpulkan Faida mengingkari sumpah janji jabatan yang diatur dalam Pasal 67 huruf b, dan sanksi pemecatan sesuai Pasal 78 ayat (2) huruf d UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bukti pelanggaran diuraikan berawal dari selama 7 bulan Faida tidak pernah menjalankan intruksi pemulihan struktur birokrasi Pemkab Jember, terhitung sejak tanggal 11 Nopember 2019 seiring surat Mendagri nomor: 700/ 12429/ SJ, yang kemudian diperjelas oleh Gubernur dalam layang resmi nomor: 131/ 25434/ 011.2/ 2019 tanggal 12 Desember 2019. Faida disebut tidak beritikad baik dan sengaja membiarkan masalah birokrasi berikut penempatan pejabat yang ilegal.
Pelanggaran berikutnya, selama 4 tahun berturut-turut APBD mengalami keterlambatan pengesahan. Bahkan, paling parah APBD tahun 2020 tidak terselesaikan meski sebanyak 5 kali difasilitasi oleh Pemprov Maupun yang dengan Kemendagri.
Faida tidak memberi keputusan kepada tim anggaran Pemkab, padahal telah diutus menghadiri rapat bersama dengan DPRD untuk melanjutkan pembahasan rancangan Perda APBD di Kantor Bakorwil V tanggal 25 Juni 2020. Justru yang dipilih tetap memakai Perbup APBD dengan keterbatasan pemakaian anggaran hanya untuk kebutuhan wajib, mengikat, dan mendesak.
Namun, temuan inspektorat menunjukkan bukti realisasi anggaran justru menyimpang dari ketentuan. Diantaranya pencairan bansos beasiswa pada 15 Mei senilai Rp2,8 miliar; dan 18 Mei senilai Rp3 miliar. Selain itu, pencairan duit negara secara ilegal untuk pembelian komputer senilai Rp201 juta, dan pengadaan alat studio visual yang menelan anggaran Rp116 juta.
Inspektorat menegaskan, Faida menabrak Pasal 107 ayat (2), Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) PP nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah serta Permendagri nomor 33 tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2020.
Pelanggaran Faida bertambah dengan tidak pernah hadir untuk wajib menjawab interpelasi maupun hak angket dari DPRD Jember. Mangkirnya Faida yang disertai melarang pejabat bawahannya hadir ke parlemen disebut menyalahi Pasal 207 ayat (1) dan ayat (2) UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Reporter : Kustiono Musri