Jember, Xposfile – Nasib bandara notohadinegoro diatas lahan PTPN yang tak kunjung “sukses” diera kepemimpinan 3 Bupati sebelum ini, sepertinya segera akan mendapatkan angin segar.
Wakil Ketua DPRD Jember, Ahmad Halim, mengaku akan mengusulkan kepada Bupati Jember untuk membeli lahan milik PTPN seluas 120 Ha yang saat ini digunakan oleh Pemkab Jember sebagai bandara dengan konsep Kerja Sama dengan PTPN sebagai pemilik lahan.
“Bandara ini kan sampai saat ini status kepemilikannya masih milik PTPN, masih status kerja sama, artinya menggantung. Sama-sama tidak bisa mengklaim” ujar Halim mengawali pembicaraan dengan Xposfile di Kantor DPC Gerindra Jember pada Kamis siang 2/12/2021.
Wakil Ketua DPRD yang juga sebagai Ketua DPC Gerindra Jember itu menyebutkan, ada beberapa opsi yang memungkinkan untuk bisa menyelesaikan status Bandara.
“Pertama adalah tukar guling dengan tanah Pemda, dan yang kedua adalah dengan dibeli secara langsung melalui APBD” jelasnya.
Dengan dibelinya lahan tersebut dari PTPN, lanjutnya, akan menyelesaikan persoalan status bandara yang menjadi kendala selama ini.
“Itu akan resmi jadi milik pemerintah daerah. Mau dikembangkan seperti apa kedepannya, dengan begitu ada kejelasan status hukumnya sehingga tidak lagi perlu khawatir masuk ke ranah hukum” katanya.
Tanpa kepastian status kepemilikan, pengembangan bandara notohadinegoro tidak mungkin bisa optimal.
“Karena sampai dengan saat ini ketika kita akan mengembangkan pasti akan jadi temuan oleh BPK” sambungnya.
Seperti diketahui sebelumnya, sebagaimana yang telah dirilis koran Tempo terbitan, 24 NOVEMBER 2011 https://koran.tempo.co/amp/nusa/255880/bandara-notohadinegoro-jember-mangkrak
Sejak diresmikan pada 2008, hanya maskapai penerbangan PT Aero Express International (PT AEI) yang memanfaatkannya. Namun, karena sepi penumpang, pengoperasian hanya berlangsung tiga bulan. Beberapa tahun terakhir malah digunakan sebagai tempat olahraga paralayang serta arena balapan burung dara dan balap sepeda motor.
Kerja sama Pemerintah Kabupaten Jember dengan PT AEI bahkan memunculkan kasus korupsi. Kepala Dinas Perhubungan Jember Sunarsono, mantan Direktur Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember Syafril Jaya, dan Direktur Utama PT AEI Raymont Mailangkai dijadikan tersangka.
Kejaksaan Agung, yang melakukan penanganan awal kasus tersebut, menaksir kerugian negara sekitar Rp 5 miliar dalam sewa-menyewa pesawat dengan PT AEI, yang dananya berasal dari PDP. Kasus tersebut pada 2009 dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jember.
“Awal minggu depan, para tersangka akan kami periksa lagi,” ujar Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jember Kliwon Sugiyanta. Kliwon menargetkan penyidikan rampung November ini, sambil menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
Keyakinan Ahmad Halim untuk menyelesaikan status hukum kepemilikan bandara dengan cara membeli lahan PTPN tersebut didasari dengan adanya yurisprudensi konsep pembelian lahan seperti yang telah dilakukan oleh Pemkab Banyuwangi dan juga telah dicontohkan oleh Bupati (almarhum) Samsul Hadi Siswoyo dalam pembelian gedung eks BHS di depan alun-alun Jember.
“Kenapa Banyuwangi bisa melakukan itu sementara Jember tidak, tentu ini perlu ada kajian khusus” ujarnya.
Menurutnya, Pemkab lain yang pernah melakukan pembelian tanah PTP itu adalah Pemkab Banyuwangi yang membeli lahan untuk bandara seharga 94 miliar dengan luas 269 hektar.
“Bandara Jember dengan luas 120 ha, estimasinya berkisar antara 30 atau 40 miliar dan itu pun bisa dilakukan pembayaran pertahun tidak harus satu kali bayar. Bagaimana kemampuan APBD untuk membeli aset tersebut menjadi milik daerah yang perlu kita kembangkan bersama” tegasnya.
Atas dasar manfaat yang lebih luas serta pentingnya kepastian hukum terhadap kepemilikan Bandara yang telah menyita milyaran rupiah dana APBD sejak era Bupati Samsul Hadi Siswoyo sampai dengan Bupati sekarang, menjadikan Ahmad Halim selaku Wakil Ketua DPRD Jember merasa terpanggil untuk serius mengawal investasi yang telah dikeluarkan oleh Pemkab Jember sejak 2003.
“DPRD akan berupaya mendorong eksekutif agar melakukan pembelian tersebut karena lebih besar manfaatnya. Insya Allah kemampuan APBD kita mampu dan itu pun tidak harus bayar sekali, namun bisa dicicil sampai 3 tahun” pungkasnya.
Penelusuran xposfile, Bandara Notohadinegoro adalah sebuah bandar udara yang terletak di Desa Wirowongso, Kecamatan Ajung yang berjarak sekitar 7 (tujuh) kilometer dari pusat kota Jember. Bandara ini dioperasikan oleh Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Jember dan memiliki panjang landasan pacu 1.560 meter.
Memiliki areal seluas 120 hektare, dan merupakan bandara umum sipil pertama di Indonesia yang dibangun sendiri oleh pemerintah kabupaten setempat, yaitu Pemerintah Kabupaten Jember dengan kekuatan APBD Kabupaten.
Bandara ini diprakarsai dan dibangun di era pemerintahan Bupati Samsul Hadi Siswoyo. Pembangunan dimulai pada tahun 2003 yang telah dianggarkan sejak tahun 2001 dengan menggunakan dana APBD sebesar Rp30 Miliar. Bandara ini diresmikan pada tahun 2005 dengan panjang landasan pacu masih 1.200 meter.
Mengutip berita Tempo tanggal 12 September 2012, https://nasional.tempo.co/read/428995/lapangan-terbang-jember-kembali-mangkrak/full&view=ok
Lapangan Terbang Notohadinegoro diresmikan tahun 2005 oleh (mantan-koreksi red) presiden waktu itu, K.H. Abdurrahman Wahid. Ditandai dengan penerbangan uji coba dari Bandara Juanda Surabaya. Sejumlah pejabat, di antaranya Hatta Rajasa yang saat itu masih menjabat Menteri Perhubungan, anggota DPR-RI Adjie Massaid, tercatat ikut dalam penerbangan tersebut.
Namun, pengoperasiannya baru bisa dilakukan pada tahun 2008. Saat itu, Bupati Jember MZA Djalal mengupayakan Bandara Notohadinegoro dapat dilayani penerbangan yang menghubungkannya dengan Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo
Upaya tersebut ternyata hanya bisa bertahan selama tiga bulan saja, yakni sejak 29 Agustus 2008 hingga 14 November 2008. Maskapai penerbangan yang dioperasikan PT Aero Ekspress Internasional tak mampu meneruskan operasional karena jumlah penumpang yang tidak sebanding dengan biaya operasional.
Pemerintah Kabupaten Jember pun merugi. Bahkan, muncul kasus korupsi karena terjadi penyalahgunaan dana operasional lapangan terbang senilai Rp 5,7 miliar.
Berikutnya, pada 17 April 2012, fasilitas lapangan terbang tersebut digunakan sebagai tempat pendidikan penerbangan dan diresmikan Bupati Jember, M.Z.A. Djalal. Sebab, lapangan terbang tersebut telah mangkrak selama lima tahun. Peralatan pendukung pendidikan diangkut dari Surabaya untuk ditempatkan di sebuah gedung milik Lapangan Terbang Notohadinegoro. Sebanyak 55 orang taruna jurusan teknik pesawat udara sempat menjalani pendidikan.
Saat ini Dinas Perhubungan kembali berupaya untuk memanfaatkan kembali lapangan terbang yang dibangun dengan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2003-2008 senilai Rp 30 miliar itu. Di antaranya melakukan lobi dengan sejumlah maskapai penerbangan. Dinas Perhubungan juga sedang melobi Kementerian Perhubungan. “Sesuai peruntukannya, lapangan terbang ini harus bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik,” ucap Djuwarto.
IZIN OPERASIONAL MATI
November 2019, 2 tahun lalu, publik Jember dikagetkan dengan berita matinya izin operasional bandara sejak maret 2018.
Seperti telah dirilis Merdeka.com yang terbit 19 November 2019, https://www.merdeka.com/uang/cerita-di-balik-izin-operasional-bandara-jember-yang-telah-habis-setahun-lebih.html
Sidak Komisi C ini untuk mengonfirmasi informasi tentang maskapai Citilink yang memutuskan untuk tidak lagi terbang dari dan ke Bandara Notohadinegoro Jember, sejak 14 November 2019 lalu. Keputusan Citilink ini, disebut-sebut terkait dengan sepinya penumpang yang naik pesawat dari dan ke bandara yang beroperasi sejak Juli 2014 ini.
“Tadi kita tanya, bukan karena itu (sepinya penumpang). Karena untuk occupancy (jumlah, red) penumpang mulai membaik. Tetapi ternyata ada hal prinsip yang kami temukan, yakni izin operasional dari Bandara itu (Notohadinegoro), sudah tidak berlaku sejak Maret 2018,” ujar David.
Dengan berhentinya Citilink menerbangi Bandara Notohadinegoro, maka maskapai penerbangan yang datang dan berangkat dari Jember kini tersisa hanya Wings Air. Maskapai ini, juga sejak Januari 2019 lalu, mengurangi frekuensi penerbangannya. Dari semula setiap hari menjadi hanya empat hari dalam seminggu. Yakni setiap hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu.
Citilink terhitung baru seumur jagung beroperasi di Bandara Notohadinegoro, yakni sejak 1 April 2019 lalu. Citilink melanjutkan rute yang sebelumnya diterbangi induknya, Garuda Indonesia yang menerbangi rute Jember-Surabaya sejak 16 Juli 2014.
Citilink menggunakan pesawat jenis ATR 72-600 dengan kapasitas 70 penumpang. Semula, frekuensi penerbangan Garuda setiap hari. Belakangan, karena sepi, Garuda menguranginya menjadi hanya empat kali dalam seminggu sejak Januari 2019. Penerbangan Garuda di Jember akhirnya benar-benar dihentikan sejak Maret 2019.
Pewarta : Kustiono Musri