LATAR BELAKANG BERDIRINYA PERSADA AGUNG
Persaudaraan Antar Guru Ngaji (Persada Agung) dirintis oleh KH. MA Saiful Ridjal bin Abdul Chalim Shiddiq atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Saif, pada tanggal 15 Sya’ban 1422 H (01 November 2001) di Kabupaten Bondowoso-Jawa Timur. Persada Agung diharapkan menjadi sebuah wadah silaturahmi antar sesama Guru Ngaji. Melalui silaturahmi yang terorganisir, diharapkan Guru Ngaji dapat melakukan ta’awun (tolong menolong) antar sesamanya dalam rangka mengoptimalkan usaha-usahanya meng-qur’aniyah-kan masyarakat.
Ide berdirinya Persada Agung dilatarbelakangi oleh beragamnya fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat, yaitu fenomena rapuh dan tumpulnya berbagai organisasi massa besar Islam dalam melakukan aktivitas pembinaan umat pada level grassroot. Semakin hari semakin banyak tokoh-tokoh ormas Islam yang elitis berjarak dengan ummat. Tidak sedikit tokoh ormas Islam telah terjebak pada aktivitas struktural-politis. Ormas Islam lebih tampak dalam ritual organisasi an sich (dari konferensi ke konferensi, rapat ke rapat, dan sejenisnya).
Ormas Islam tidak lagi menampakkan peran dalam berbagai potensi guna pembinaan ummat. Organisasi Islam sering terlihat sebagai batu loncatan karir politik. Banyak tokoh elit ormas Islam terlibat secara terbuka sebagai partisan kelompok tertentu. Sementara kerja-kerja pembinaan ummat hanya dilakukan secara seremonial. Disadari atau tidak, telah terjadi pergeseran paradigma, yang awalnya “politik untuk kepentingan dakwah” menjadi “dakwah untuk kepentingan politik”.
Polarisasi tokoh-tokoh Islam dalam blok-blok juga semakin menurunkan kredibilitas lembaga keulama’an. Ulama semestinya menjadi panutan guru masyarakat dan menjadi pengayom bagi semua eksponen masyarakat. Kondisi demikian dikhawatirkan dapat mengantarkan ummat kepada ketidakjelasan orientasi dan sikap keagamaan.
Menurut Gus Saif, “banyaknya ketidakadilan, budaya korupsi yang akut dan munculnya beragam aktivitas keagamaan yang menyimpang, layak dijadikan bahan kesimpulan awal bahwa tidak sedikit ummat sedang kehilangan orientasi sikap keagamaan“.
Hipotesa itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa tegaknya sebuah negara ditentukan oleh empat pilar, yaitu:
- pemimpin yang adil,
- ilmunya para ulama,
- dermawannya orang kaya dan,
- do’anya para dhu’afa.
Maka ketika demoralisasi (penurunan moral) terjadi dalam berbagai sektor kehidupan bangsa, peran keempat pilar tersebut perlu dievaluasi, termasuk para ulamanya.
Sebagai kader salaf, fenomena keummatan mendorong Gus Saif untuk mencari alternatif upaya yang efektif dalam melakukan pembinaan ummat hingga lapisan terbawah. Berdasar hasil evaluasi yang dilakukan, dia berpandangan bahwa sosok Guru Ngaji (orang-orang dengan aktivitasnya mengajar baca tulis Al-Qur’an) merupakan sosok yang masih memiliki genuinitas (keaslian) motivasi dalam melakukan pembinaan ummat.
Guru Ngaji dalam hal ini tersebar merata di setiap pelosok daerah dan bersentuhan langsung dengan lapisan ummat. Mereka secara day-to-day melakukan upaya-upaya pembinaan ummat dalam skala lingkungan kecil yang berada di sekelilingnya. Guru Ngaji relatif belum tersentuh oleh hiruk pikuk gemerlap politik maupun kompetisi struktural. Tanpa menegasikan peran komponen yang lain, Gus Saif berkesimpulan bahwa Guru Ngaji sebenarnya memiliki letak peran sebagai ujung tombak pembinaan ummat.
Guru Ngaji merupakan benteng terakhir dalam mempertahankan moralitas bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Guru Ngaji, merupakan stabilisator dan pelestari terbentuknya peradaban bangsa.
Guru Ngaji bukan saja peletak dasar pemahaman keagamaan pada generasi penerus bangsa tetapi juga sosok yang penting dalam meredam setiap gejolak sosial.
Guru Ngaji juga berperan dalam mempertahankan jati diri bangsa dari infiltrasi (serangan) budaya asing.
Artinya Guru Ngaji bukan saja ujung tombak dakwah bagi ummat Islam, tetapi juga komponen penting dalam perspektif perkembangan peradaban bangsa.
Sayangnya peran signifikan Guru Ngaji dalam perjalanan sejarah bangsa kurang mendapat perlakuan yang semestinya. Perlakuan dalam level kebijakan publik (perhatian negara) maupun dalam internal strata sosial keagamaan, Islam tentunya.
Guru Ngaji sering ditempatkan sebagai lapisan kedua dalam strata sosial keagamaan. Seakan-akan Guru Ngaji tidak lebih berjasa dibanding komponen penggerak dakwah yang lain. Dalam perspektif kebijakan publik dan kemasyarakatan, Guru Ngaji lebih di tempatkan dalam strata sosial pinggiran. Bahkan dijadikan sebagai obyek santunan karena kemampuan secara ekonomi berada pada level bawah.
Perlakuan terhadap Guru Ngaji tidak sebanding dengan kontribusinya dalam membentuk sikap dasar ummat dalam beragama. Sumber daya manusia di lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah pun tidak sedikit merupakan output didikan Guru Ngaji. Bahkan mayoritas tokoh agama, tokoh masyarakat dan pejabat, pada pada mulanya juga hasil didikan Guru Ngaji.
Melihat situasi demikian, Gus Saif tergerak untuk melakukan pendekatan kepada berbagai pihak termasuk para pembuat kebijakan. Gerakannya diawali dengan menyampaikan saran kepada pemerintah Kabupaten Bondowoso tepat satu tahun setelah terpilih menjadi ketua PCNU Bondowoso, supaya menempatkan Guru Ngaji dalam posisi setara ditengah tengah masyarakat. Pembuat kebijakan juga didorong untuk melakukan pemberdayaan terhadap Guru Ngaji. Misalnya, memberikan program-program stimulus bagi perekonomian Guru Ngaji. Pemberdayaan melalui kebijakan publik diharapkan dapat meringankan beban Guru Ngaji dalam melaksanakan aktivitasnya.
Sarannya ternyata diterima secara tidak sejalan dengan gagasan awal. Perhatian pemerintah Bondowoso terhadap Guru Ngaji malah diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif. Kalau dinilai secara nominal, sangat rendah. Kategorisasi serta mekanisme penyaluran dana insentif dianggap dapat merusak mentalitas Guru Ngaji. Tidak sedikit kemudian Guru Ngaji “dadakan” muncul untuk didata supaya mendapat suntikan dana insentif. Penyaluran dilakukan di kantor kecamatan setempat sampai menimbulkan antrian panjang. Sehingga Guru Ngaji terkesan sebagai masyarakat miskin sedang menunggu jatah jaminan sosial.
Gus Saif lebih menekankan adanya capacity building (pembangunan kapasitas) dalam bentuk penguatan kelembagaan. Diharapkan melalui sebuah wadah, Guru Ngaji mampu menyelesaikan problematikanya sendiri, lebih terorganisir dan mampu membangun budaya ta’awun (tolong menolong dan kerjasama). Wadah tersebut juga dapat digunakan sebagai sarana silaturahmi, tukar pengalaman-pengetahuan, saling mengeksplorasi potensi serta merumuskan jalan keluar problematika yang dihadapi dalam usaha-usaha meng-qur’aniyah-kan masyarakat. Termasuk penguatan ekonomi sebagai penopang aktivitasnya dan pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.
Pola insentif sekilas nampak sebagai solusi ekonomi, namun kebijakan pola insentif akan dapat merusak motivasi. Selanjutnya tidak lebih akan menempatkan Guru Ngaji sebagai objek santunan. Melalui pola insentif, Guru Ngaji telah diperkenalkan budaya konsumtif. Padahal sebelumnya sangat lekat dengan budaya inovatif dan produktif. Kebijakan insentif oleh Gus Siaf dipandang sebagai racun yang dapat mematikan spirit Guru Ngaji. Pola insentif dipandang dapat menumpulkan kreativitas. Guru Ngaji diposisikan sebagai subordinat, bukan ditempatkan setara dengan komponen bangsa. Khususnya sebagai pendidik yang memiliki kontribusi besar dalam sistem pendidikan secara nasional.
Fenomena kebijakan insentif nampaknya semakin dijadikan model bagi daerah-daerah lain dalam memperlakukan Guru Ngaji. Belum lagi munculnya fenomena bentuk teror dan eksperimentasi politik yang diarahkan kepada Guru Ngaji . Misalnya upaya eksploitasi massa dalam dukung mendukung kandidat kepala daerah, semakin hari semakin marak. Bentuk-bentuk tindak kriminal dan pencitraan negatif terhadap Guru Ngaji, sebagaimana fenomena kasus santet di Banyuwangi juga belum sepenuhnya hilang.
Beragam fenomena yang membelit harus segera jalan keluar. Formulasi untuk menyelesaikan berbagai problematika, baik berupa problem ekonomi, problem perlindungan hukum maupun perlindungan dari bentuk bentuk eksploitasi politik harus segera ditemukan. Melalui formulasi tersebut (apapun bentuknya) diharapkan benteng lapis terakhir dakwah, moralitas dan jati diri bangsa bernama Guru Ngaji akan dapat dilestarikan bahkan ditumbuh kembangkan. dicarikan
Sebagai upaya awal mempertahankan keaslian motivasi dengan tradisi Thoriqoh Salafus Shalih-nya, Gus Saif menghimpun berbagai kalangan (umumnya kalangan muda) untuk bersama-sama menggagas terbentuknya wadah silaturakhim bagi Guru Ngaji. Melalui proses dialektika yang cukup panjang lahirlah wadah silaturakhim bagi Guru Ngaji yang kemudian diberi nama Persada Agung (Persaudaraan Antar Guru Ngaji).
SEJARAH PERKEMBANGAN PERSADA AGUNG
Sejarah perkembangan Persada Agung dibagi kedalam tiga periodisasi:
- Periode gagasan dilakukan pada awal tahun 2001 hingga November 2001
- Periode penegasan keberadaan dilakukan sejak tahun 2002 hingga akhir tahun 2003
- Periode institusionalisasi, dilakukan sejak awal tahun 2004 hingga sekarang. Periodisasi tersebut didasarkan pada fase fase penting yang menjadi tonggak perkembangan Persada Agung.
PERIODE GAGASAN (awal tahun sampai November 2001).
Periode ini diwarnai diskusi antara Gus Saif dengan beberapa kader muda (HMI, PMII, kalangan muda NU, alumni muda Pondok Pesantren Sidogiri). Dalam diskusi-diskusi tersebut membicarakan seputar keberadaan sebagai benteng terakhir pertahanan ummat dan formulasi yang tepat dalam melestarikan keberadaan Guru Ngaji Diskusi diarahkan pada pencarian solusi atas tumpulnya ormas keIslaman (NU, Muhammadiyah, HMI, PMI) yang dinilai tidak lagi memiliki daya dobrak psikologis yang mewadahi dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan ummat.
Apalagi semenjak tahun 1990-an, ormas-ormas Islam yang memiliki basis massa besar seperti NU dan Muhammadiyah telah banyak berkonsentrasi dalam ijtihad politik. Ormas besar Islam yang dikenal banyak melahirkan pemikir-pemikir pembaharu, dalam membentuk sistem sosial masyarakat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan dan kemoderenan, malah banyak dimanjakan kompetisi politik. Mereka lebih banyak mengasah skill politik dan menjadi pengagum tokoh ketimbang mengkritisi pemikirannya dan kemudian dioperasionalkan dalam pengembangan masyarakat madani.
Berangkat dari diskusi-diskusi yang inten mencoba memotret adanya kecenderungan dijadikannya basis massa ummat sebagai sarana eksploitasi politik. Atas nama ummat, para “tokoh agama politisi” lebih mampu mengkonsolidasi aset-aset pembangunan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Sementara yang senantiasa committed dalam pembinaan dan pemberdayaan ummat justru terpinggirkan, bahkan terkena imbas citra buruk dari perilaku politik para “tokoh agama politisi”. Budaya korupsi, sebagaimana sinyalemen Mundzar Fahman, juga banyak dilakukan oleh orang-orang yang terlanjur dipersepsikan sebagai kyai.
Gus Saif alias KH. Saiful Ridjal memandang citra buruk yang diarahkan kepada lembaga-lembaga ke-ummatan sebenarnya tidak menggambarkan perilaku obyektif keseluruhan ummat. Citra buruk justru dipicu oleh orang orang yang sebenarnya tidak memiliki investasi dalam pembinaan ummat. Akan tetapi telah diuntungkan oleh pencitraan bahwa mereka merupakan tokoh-tokoh ummat.
Pencitraan negatif yang sudah terlanjur melekat dan diarahkan kepada ummat harus diluruskan. Harus dibuat batasan tegas antara potensi dan pembina ummat yang sebenarnya oknum. Dengan demikian ummat pada lapisan bawah tidak dibodohi.
Dari diskusi kemudian berkembang menjadi sebuah dialektika yang akhirnya lebih diarahkan pada upaya mengidentifikasi potensi ummat yang masih benar-benar steril. Dan secara konsisten melakukan pembinaan ummat pada lapisan grassroot. Akhirnya ketemulah Guru Ngaji sebagai potensi ummat yang masih steril dan komitmennya dalam pembinaan ummat tidak diragukan lagi. Bahkan semenjak pertama Islam diperkenalkan di bumi Nusantara ini.
Peran Guru Ngaji tidak sebatas pada pembinaan ummat, tetapi juga pada pembentukan, pelestarian dan pertahanan peradaban yang kini disebut Indonesia.
Dialektika dan diskusi juga menyoroti keberadaan Guru Ngaji yang tidak pernah sepi dari beragam tantangan. Mulai intimidasi para kolonial Belanda, dijadikannya eksperimentasi politik pada era Orde Baru (sebagaimana kasus santet Banyuwangi), maupun pencitraan buruk oleh beberapa perilaku tindak kriminal yang mengatasnamakan Guru Ngaji.
Sayangnya potensi ummat bernama Guru Ngaji ini tidak memiliki kekuatan kelembagaan yang mampu melindungi dirinya. Lebih parah lagi, mereka dijadikan sebagai objek santunan dalam keberadaan yang terpinggirkan di tengah perkembangan sosial-ekonomi yang berkembang cepat.
Gus Saif memandang perlunya wadah bagi internal untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Berawal dari gagasan diskusi kemudian muncul gagasan pembentukan Asosiasi Guru Ngaji (AGUNG) sebagai wadah silaturakhim Guru Ngaji. Namun nama itu oleh Gus Saif AS dipandang tidak menggambarkan kemuliaan peran para Guru Ngaji. Nama AGUNG kemudian diubah menjadi Persada Agung yang merupakan singkatan dari Persaudaraan Antar Guru Ngaji dengan simbol kubah madinah.
Simbol itu merupakan gambaran semangat Persada Agung yang hendak mewujudkan peradaban madani Indonesia melalui potensi Guru Ngaji. Maka pada pada tanggal 15 Sya’ban 1422 H (01 November 2001 M), Persada Agung dideklarasikan secara sederhana di kediaman Gus Saif, di dusun Gambangan, Desa Tanah Wulan Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso Jawa Timur.
PERIODE PENEGASAN KEBERADAAN (2002-2003 akhir)
Pada periode ini serangkaian kelengkapan organisasi berikut perangkat kepengurusannya mulai dibentuk. Serangkaian sosialisasi dalam rangka pembentukan pengurus pada masing-masing tingkatan (Desa, Kecamatan dan Kabupaten). Pembentukan pengurus koordinator Kecamatan dilakukan melalui dua tahap sosialisasi. Tahap pertama disebut sosialisasi awal (SOSWAL) dengan menghadirkan minimal 2 (dua) orang Guru Ngaji yang berpengaruh pada masing masing desa dalam satu Kecamatan.
SOSWAL mensosialisasikan tentang misi Persada Agung dan perlunya wadah silaturakhim bagi Guru Ngaji. Kedua orang wakil masing-masing desa diharapkan mensosialisasikan Persada Agung kepada Guru Ngaji yang lain dan mendaftar mereka yang berminat menjadi anggota. Pada tahap kedua, dilakukan sosialisasi massal (SOSMAL) yaitu dengan mengundang Guru Ngaji seluruh Kecamatan yang telah mendaftar kepada perwakilan yang sudah diberikan sosialisasi pada tahap pertama. Forum SOSMAL juga dipergunakan untuk membentuk kepengurusan mulai tingkat desa hingga tingkat Kecamatan, berdasarkan aspirasi Guru Ngaji yang hadir. Begitulah sosialisasi dilakukan dari Kecamatan ke Kecamatan yang lain dan akhirnya terbentuk kepengurusan pada tingkat daerah (Kabupaten).
Gus Saif tampak serius mewujudkan gagasannya itu (mendorong terciptanya wadah silaturahim bagi Guru Ngaji). Tidak jarang dirinya membawa sound system, tikar dan makanan ringan sendiri untuk menyelenggarakan serangkaian sosialisasi. Kegiatan sosialisasi ia lakukan dari kecamatan-kecamatan hingga desa ke desa. Mengingatkan kita pada tipikal aktivis pergerakan “tempoe doeloe”, kenapa sosok seperti Natsir terpaksa membawa peralatan sendiri ketika harus berjuang dengan masyarakat.
Hal itu mencerminkan bahwa seseorang telah sampai pada puncak keresahan masalah keummatan. Sehingga harus terjun langsung mengurusi persoalan teknis dalam membangun wadah silaturakhim bagi Guru Ngaji. Sebuah ilustrasi bahwa bangsa ini telah berada pada spirit perjuangan yang lemah, sehingga sulit ditemukan pekerja pekerja pembaharu yang bersedia secara all out memperjuangkan sebuah ide menjadi kenyataan.
Gus Saif ingin membuktikan sekaligus menyampaikan pesan bahwa menata ummat tidaklah cukup dengan duduk manis dalam singgasana lembaga keulama’an.
Seperti halnya berdiam diri di pesantren maupun elit-elit organisasi keagamaan. Seorang pejuang ummat harus terjun dalam tingkat kesulitan perjuangan level paling bawah sekalipun. Tidak perlu terjebak pada egoisme nama besar, penghargaan publik maupun hilangnya harga diri. Kegigihannya banyak tidak dimengerti oleh publik. Seorang keponakan ulama’ sekelas KH. Achmad Shiddiq, seorang ketua PCNU dan pemimpin pondok pesantren harus (misalnya) mengurusi persoalan teknis dalam sebuah acara.
Akhirnya berbagai pihak mulai terbuka, bahwa kebanyakan tokoh ummat hari ini telah terjebak egoisme dan elitisme, sehingga terbentang jarak yang amat jauh dengan ummatnya. Selaku penggagas, ia juga telah berusaha mengingatkan supaya ummat tidak terjebak “feodalisme berkedok keagamaan” bahkan oleh orang yang sebenarnya tidak memiliki kontribusi dalam pembinaan ummat sekalipun.
Pada periode ini juga diwarnai pertentangan dari sejumlah ormas keagamaan yang menganggap bahwa wadah silaturakhim Guru Ngaji tidak diperlukan. Mengingat telah tersedia lembaga keummatan yang sudah besar. Gus Saif terus meyakinkan bahwa kehadiran Persada Agung justru membantu meringankan beban ormas-ormas besar dalam menata ummat hingga level paling bawah. Sehingga keberadaan wadah silaturakhim bagi Guru Ngaji amat penting bagi perjuangan ummat.
Konsistensinya dalam membentuk wadah silaturakhim membuahkan simpati dan dukungan dari Guru Ngaji. Guru Ngaji mulai menyadari betapa sejak Indonesia merdeka bahkan sebelumnya, mereka belum memiliki wadah yang bisa melindungi dan memperjuangkan mereka dalam usahanya meng-qur’aniyah-kan masyarakat. Bahkan ketika disudutkan dalam kasus santet Banyuwangi, Guru Ngaji juga tidak mendapat pembelaan dan perlindungan yang proporsional.
Kemudian Persada Agung mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Terbukti dengan partisipasi keanggotaan mencapai kisaran 30 sampai dengan 50 orang per desa atau sekitar 300 sampai dengan 500 orang per kecamatan dengan persebaran merata di setiap dusun. Permintaan pembentukan kepengurusan tidak hanya sebatas di Kabupaten Bondowoso, namun juga menyebar di kabupaten kabupaten sekitarnya. Kegiatan Persada Agung dari tingkat desa, kecamatan hingga tingkatan kabupaten juga mulai berjalan secara berkala. Pada saat itulah keberadaan Persada Agung sebagai wadah silaturakhim Guru Ngaji mulai diakui publik.
PERIODE INSTITUSIONALISASI (awal 2004 sampai sekarang)
Salah satu syarat terbentuknya masyarakat madani adalah adanya kemandirian rakyat. Masyarakat madani tidak cukup dikonsepsikan di tingkat elit sekelas Jakarta, namun harus bekerjasama dengan operator-operator kultur, dalam hal ini Guru Ngaji. Pada awal tahun 2004, Gus Saif memaparkan pemikiran tentang penyelamatan moral dan peradaban bangsa melalui figur Guru Ngaji.
Pada saat menjelang pemilu, para tokoh agama telah banyak terjebak pada afiliasi politik praktis ataupun beragam “feodalisme berkedok keagamaan”. Sulit ditemukan tipikal pejuang yang semata-mata mentasyarufkan waktu, energi dan hartanya untuk perjuangan ummat. Belum ada yang ikut berjuang bersama-sama elemen masyarakat terbawah. Upaya membangun wadah keberadaan Guru Ngaji sebagai stabilisator peradaban bangsa, perlu didukung semua pihak.
Banyaknya desakan berbagai pihak supaya Persada Agung dikembangkan di daerah lain, maka dibentuklah tim yang bertugas merevisi Anggaran Dasar Persada Agung. Bersama tim dan Pengurus Pusat yang telah terbentuk, yaitu
- Mohammad Haikal ‘Aza’im (cucu kiai Achmad Shiddiq, yang kemudian menjadi ketua umum Persada Agung Daerah-Jember) dan
- Mohammad Sholahudin (Gus Didin putra Gus Saif) sebagai ketua Persada Agung Bondowoso. Kurang lebih 14 hari, Anggaran Dasar rampung direvisi dan selanjutnya di taschieh (diverifikasikan) kepada Dewan Pendiri.
Selesainya kegiatan revisi seiring dengan datangnya dukungan dari KH. Mochammad Syawqi Abdul Chalim Shiddiq (kakak kandung Gus Saif). Dia dikenal sebagai salah satu tokoh senior penggerak semaan Al-Qur’an Mantab dan Dzikrul Ghofilin.
Sebagai bentuk respon dari aspirasi berbagai daerah, Persada Agung kemudian mendaftarkan diri menjadi ormas yang anggotanya meliputi Guru Ngaji seluruh Indonesia. Sebagai ketua umum KH.Saiful RIdjal dan KH. M. Syawqi sebagai ketua dewan pendiri. Persada Agung tidak hanya berkembang di kawasan Tapal Kuda, tetapi juga menyusul berdiri Korwil Kalimantan Timur dan Korwil Jakarta.
Melihat kronologi di atas, berdirinya Persada Agung dilatarbelakangi oleh:
- Adanya kecenderungan elitisisme para tokoh ormas keagamaan mulai terjebak pada politik praktis. Dampak jurang pemisah antara pimpinan elit dengan lapisan ummat terbawah semakin dalam. Potensi energi ummat lebih banyak tersedot pada aktivitas konsolidasi politik, sehingga pembinaan ummat pada level terbawah menjadi tercecer.
- Adanya kecenderungan pragmatisme orang-orang yang ditokohkan dalam struktur keagamaan yang menyebabkan polarisasi potensi ummat yang disebabkan oleh magnitude politik. Akibatnya terjadi krisis panutan dan keteladanan sehingga terdapat indikasi disorientasi perjuangan ummat.
- Diantara potensi ummat, Guru Ngaji merupakan potensi terdepan dalam pembinaan ummat, dan dianggap masih memelihara genuinitas (keaslian) motivasi perjuangan. Signifikansi peran sosial Guru Ngaji tidak hanya mengajarkan membaca tulis Al Qur’an, akan tetapi juga memiliki kontribusi penting dalam membentuk, melestarikan bahkan mempertahankan peradaban bangsa. Sayangnya potensi besar itu tidak mendapatkan perlakukan yang proporsional di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Beragam upaya eksperimentasi politik tidak jarang diarahkan kepadanya dan lebih parahnya lagi sering dijadikan sebagai objek santunan.
MOTIVASI PENDIRIAN PERSADA AGUNG
Ilustrasi motivasi berdirinya Persada Agung dapat kita lihat dalam mukadimah Anggaran Dasar Persada Agung sebagai berikut:
- Apabila ditinjau dari tindak langkahnya Guru Ngaji merupakan orang yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, mengikuti Sunnah Rasul Saw. al-Amin, melaksanakan thoriqoh salafus sholih ala Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan teguh pendirian. Mereka merupakan pribadi yang mulia sebagaimana Hadist Rasulullah Saw “Khoirukum Man Ta’allamal Qur’aana Wa ‘Allamahu’ yang artinya “sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”.
- Al-Qur’an juga memerintahkan supaya beberapa orang dalam suatu golongan mendalami Dinul Islam untuk memberi peringatan kepada kaumnya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Surah At Taubah:122). Peran mendalami dan memberi peringatan kepada sebahagian golongan yang lain itulah yang dilakukan Guru Ngaji. Namun peran mulia itu belum ditempatkan dalam struktur sosial secara adil sehingga masih dianggap sebagai kelompok pinggiran.
- Sejarah membuktikan bahwa keberadaan Guru Ngaji di Indonesia merupakan salah satu pilar penting peradaban Islam sekaligus peradaban Indonesia. Guru Ngaji selama ini memiliki kontribusi cukup besar bagi pembentukan, perbaikan, pembinaan dan pembangunan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Namun hingga hari ini Guru Ngaji belum memperoleh perlakuan yang adil dalam kebijakan publik.
- Kenyataan bahwa hari ini dan masa yang akan datang yang menjadi ancaman adalah masalah tegaknya moralitas dan nilai nilai Robbani. Keberadaan Guru Ngaji perlu terus dipertahankan, bahkan sangat perlu ditingkatkan peranannya dalam membangun Insan Kamil.
- Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut diperlukan ikatan antar Guru Ngaji yang kuat dalam suatu organisasi yang memiliki visi khidmah. Antar Guru Ngaji perlu mengikatkan diri dalam jalinan yang kuat dan kokoh guna mewujudkan khidmah lil ummah secara optimal. “Kebenaran yang tidak terorganisir dengan baik akan mampu dikalahkan kebatilan yang terorganisir”. Sebab berjama’ah itu merupakan rahmat.
Melalui mukadimah Anggaran Dasar Persada Agung kesimpulan motivasi didirikannya Persada Agung adalah :
- Untuk melestarikan bahkan mengembangkan tradisi thoriqoh salafunas sholih. Guru Ngaji dipandang sebagai ujung tombak pembinaan ummat, masih konsisten dalam berpegang teguh pada Al-Quran mengikuti Sunnah Rasul Saw. al-Amin dan melaksanakan thoriqoh salafus sholih ala Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tradisi thoriqoh salafus sholih merupakan tradisi orang orang sholih terdahulu. Disamping sangat konsisten dalam melaksanakan hal-hal wajib, juga sangat rajin dalam memperbanyak amalan sunnah. Pentingnya mengikuti tradisi thoriqoh salafus sholih didasarkan atas peringatan sebuah hadits (maqola) yang menyatakan kejayaan ummat akan dapat diraih jika mengikuti prestasi orang-orang sholih terdahulu.
- Guru Ngaji tidak hanya berperan dalam membentuk sikap hidup dengan menanamkan moralitas agama. Namun juga berperan penting dalam membentuk, mempertahankan dan melestarikan peradaban bangsa. Terutama aspek moralitas dan kepribadian bangsa. Keberadaan Guru Ngaji perlu dipertahankan, bukan saja untuk kepentingan ummat Islam. Namun juga dalam rangka mempertahankan peradaban bangsa. Sayangnya Guru Ngaji masih ditempatkan sebagai kelompok pinggiran dalam struktur sosial kemasyarakatan.
- Untuk tetap mempertahankan keberadaan dengan segala tradisi thoriqoh salafus sholih-nya maka dibentuklah wadah sebagai sarana silaturakhim Guru Ngaji. Melalui wadah silaturakhim tersebut diharapkan antar Guru Ngaji terjadi ta’awun (tolong menolong) dalam merumuskan solusi atas problematika yang dihadapi dalam usaha meng-qur’aniyah-kan masyarakat.
Sumber : Judul Buku “Guru Ngaji, Masyarakat dan Pemimpin Yang Baik (Menuju Reformasi Kultural)” ditulis oleh Abdul Rahman. Penerbit LISANTARA. Cetakan Pertama Tahun 2007.
Pewarta : Kustiono Musri