Mengurai Benang Kusut Penambangan Batu Kapur Gunung Sadeng Puger
Pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, dapatlah kiranya digunakan sebagai acuan perijinan pemanfaatan penambangan Batu Kapur di Gunung Sadeng Puger, yang perijinannya sudah beralih kepada pemerintahan pusat.
Sedangkan perijinannya dibagi menjadi dua tahap, yakni WIUP (Wilayah Ijin Usaha Penambangan) dan IUP (Ijin Usaha Penambangan), yang urutannya harusnya bermula dari pengajuan pengusaha pertambangan melalui rekomendasi Bupati kepada Gubernur dan selanjutnya Gubernur kepada Kementerian. Jadi tidak ujuk – ujuk datang dari pusat, lalu sudah menganggap punya hak melakukan penambangan. Seperti isu yang berkembang selama ini, di Kawasan Gunung Sadeng Puger, terdapat beberapa pengusaha yang hanya berbekal WIUP, lantas serta merta menklaim luasan lahan sebagaimana tercantum dalam WIUP yang dikantonginya, sudah bisa diakui sebagai hak kelolanya.
Tentu, perihal perijinan ini menimbulkan konflik aturan yang dapat memicu konflik antar pengusaha pemilik Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dikantongi pengusaha lainnya. Kabarnya, ada sekira 24 Pengusaha yang sudah mengantongi HPL, tetapi kegiatan penambangannya terhambat belum dimilikinya IUP.
Sementara, ada pengusaha yang tiba – tiba datang mengklaim sejumlah lahan, dengan hanya mengantongi WIUP. Terlebih dibalik pengusaha itu terindikasi ada back-up pejabat tertentu, yang katanya punya kekuasaan. Fakta ini tentu saja, harus dibuktikan kebenarannya, namun info yang berkembang juga tidak bisa diabaikan.
Akibat dari konflik berkepanjangan itu membuat Kabupaten Jember tidak mempunyai kejelasan kontribusi pengelolaan tambang Gunung Sadeng terhadap PAD. Gunung Sadeng seluas 252 Ha yang seharusnya bisa memberikan PAD milyaran. Kabarnya di era Bupati Jalal malah pernah ditetapkan PAD sebesar 500 Milyar. Kini, kontribusi pengelolaan Penambangan Gunung Sadeng semakin tidak jelas.
Dalam rapat dengar pendapat di DPRD Jember beberapa waktu yang lalu, Dinas Pendapatan Daerah Pemkab Jember menjelaskan tentang kontribusi Gunung Sadeng. Dari target 600 jt, per Nopember 2020 sudah masuk 809 jt, 134 persen dari target. Sedang menurut versi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemkab Jember, data yang ada di Disperindag pendapatan pajak Gunung Sadeng sekira 785 Juta.
Untuk meningkatkan PAD, di Era Bupati MZA Djalal, tahun 2013 ada upaya mensertifikatkan Gunung Sadeng. Luasan Gunung Sadeng sekira 300 Ha telah diajukan sertifikasi. Pada tahun 2015, telah terbit 190 Ha. Sedangkan sisanya tidak bisa diterbitkan, karena sudah ada sertifikat yang terbit atas nama perorangan. Juga terjadi pemanfaatan seperti yang dilakukan PT Gunung Klabat Citra Abadi, PT Imasco dan PT Kurnia. Sementara, berdasarkan keterangan DKLH Kabupaten Jember, perihal perijinan Gunung Sadeng, daerah hanya memproses UKL UPL nya, yang secara rutin diminta melaporkan
Dalam forum yang sama, Ketua Asosiasi Tambang Gunung Sadeng Jember Ihwan Kusaeri menjelaskan ada 11 pengusaha tambang aktif, 13 pengusaha belum bisa membayar pajak.
Pasca perubahan kewenangan perijinan dari Pemerintah Kabupaten dialihkan kepada Pemerintah Propinsi, sebagaimana diatur dalam UU 23 2014, menyebabkan Pengusaha tambang kian kelimpungan. Dampaknya bukan saja tak bisa bayar pajak daerah, Sumbangan terhadap masyarakat sekitar tambang sekalipun nyaris habis.
Pihak penambang, bukan tak mengurus ijin, pengusaha sudah proaktif megurus Ijin langsung ke menteri kehutanan, ijin dikeluarkan tetapi tidak bisa mengelola, meski proses ijin sudah dilalui sesuai amanat UU. Malahan Duit penambang milyaran ngendon di bank jatim sebagai jaminan pemulihan dampak lingkungan, manakala sudah tidak menambang.
Peralihan perijinan dan Terbitnya Perbup 23/ 2014, tentang pajak daerah, justru jadi perdebatan. Terlebih, selama pemerintahan Bupati Faida, pengusaha tambang malah mengalami kesulitan untuk mendapatkan rekomendasi perijinan. Sebelum tahun 2000, hanya ada 9 perusahaan, 3 perusahaan mengajukan sertifikat seluas 72 ha, terbit 31 desember 1999. Periode 2000 – 2013, sebelum perijinan ke propinsi Gunung Sadeng sudah penuh ijin.
Sekira September 2013, terbit sertifikat atas nama pemkab Jember, Sedangkan amanat Perbup, persyaratan perijinan harus ada rekomendasi pemilik tanah, dalam hal ini pemkab jember.
Akibat dari sulitnya perijinan pertambangan sehingga menyebabkan banyak perusahaan tumbang karena tak bisa mengurus ijin. Namun anehnya, terasa ada ketidak adilan dan diskriminasi perlakuan terhadap perusahaan. Faktanya, terdapat 3 perusahaan yang tergabung dalam Imasco Grup bisa terbit rekomendasi di Tahun 2020.
Untuk itu diperlukan langkah – langkah yang lebih jelas, tegas dan berkeadilan. Dan kami menganggap bahwa dipandang perlu :
- Pemerintahan Kabupaten Jember membentuk tim khusus untuk menertibkan aktivitas penambangan di Gunung Sadeng Puger.
- DPRD Jember dipandang perlu membentuk Panitia Khusus dalam menangani Asset milik Pemerintah Kabupaten Jember, agar terhindar dari kemungkinan terjadinya “bancakan” oleh para pelaku yang hanya akan mengeruk keuntungan dari Asset milik Pemkab Jember.
Jember, 28 Oktober 2021
TRAPP (Transparansi dan Akuntabilitas Partisipasi Publik)
Miftahul Rahman